Malang (Antara Jatim) - Program studi (Prodi) D3 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memperkuat kurikulum dan kemitraan dengan berbagai negara agar lulusannya bisa bersaing secara internasional.
Kepala Program Studi D3 Keperawatan UMM Reni Ilmiasih di Malang, Jumat mengatakan penguatan kurikulum tersebut, akan menyentuh beberapa bidang, khususnya tambahan mata kuliah wajib bahasa asing selain Bahasa Inggris yang menjadimenu wajib bagi mahasiswa.
"Selain Bahasa Inggris, ada beberapa bahasa asing sebagai bahasa wajib, yakni Bahasa Jepang dan Bahasa Arab. Ketiga bahasa ini sekarang menjadi program wajib universitas, bahkan ke depan akan menyusul bahasa asing lainnya yang diwajibkan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari," katanya di Malang, Jawa Timur.
Ia mengakui penguatan kurikulum dan program wajib bahasa aisng itu sebagai tindak lanjut dari banyaknya alumni D3 Keperawatan yang saat ini bekerja di sejumlah negara, khususnya Jepang. Selain di Jepang, ada beberapa alumni yang bekerja di Arab Saudi, Taiwan, Australia, dan sejumlah negara lainnya.
Melihat perkembangan tersebut, kata Reni, kurikulum yang diberlakukan saat ini erus diperkuat dengan inovasi baru dan disesuaikan dengan perkembangan agar adik-adik tingkat mereka yang sudah sukses menembus pasar unia bisa mengikuti jejak mereka.
Selain kurikulum, lanjutya, kemitraan dengan berbagai universitas dan lembaga luar negeri juga terus diperkuat. "Yang pasti, kami sudah siap untuk menghasilkan alumni yang bertaraf internasional," ujarnya.
Sebelumnya, dua alumni D3 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) UMM, Sobaruddin Subekti dan Muhammad Fattahu, yang saat ini bekerja sebagai tenaga keperawatan di Jepang membagi ilmunya pada mahasiswa D3 Keperawatan kampus tersebut di sela masa liburannya di Indonesia.
Subekti dan Fattahu merupakan dua dari tujuh alumni D3 Keperawatan UMM yang saat ini bekerja di sejumlah rumah sakit dan lembaga kesehatan di Jepang. Subekti bekerja di Sangenjaya Hospital, sedangkan Fattahu di Central Otaku, keduanya berada di Tokyo. Mereka bekerja di Jepang melalui program kerja sama pemerintah Indonesia dan Jepang.
Bagi Subekti, kualitas lulusan D3 Keperawatan UMM sudah sangat mumpuni untuk bersaing secara profesional dengan lulusan luar negeri. "Pengetahun dan pengalaman yang kami dapat selama kuliah di UMM sudah lebih dari cukup untuk bersaing dengan perawat dari Filipina maupun Jepang sendiri. Kendala kami hanya bahasa saja, dan itu bisa dilatih," kata Subekti saat sharing pengalaman di Auditorium Kampus II UMM belum lama ini.
Pengalaman bekerja di luar negeri bagi mereka cukup mengesankan. Selain merasakan suasana baru dengan budaya dan gaya hidup berbeda, dari sisi pendapatan juga cukup tinggi. Gaji pertama seorang perawat di Negeri Sakura itu bisa mencapai Rp19 juta per bulan, sedangkan biaya hidup berkisar antara Rp8 juta hingga Rp9 juta per bulan.
Bahkan, Subekti digaji sebesar Rp35 juta per bulan karena sudah memperoleh registered number (RN) sebagai perawat profesional. "Perawat yang telah memiliki RN memang digaji dua kali lipat karena dianggap profesional dan sudah bisa menangani pasien secara langsung," terangnya.
RN merupakan sertifikasi nasional bagi perawat di Jepang yang juga diakui secara internasional. Untuk memiliki RN, seorang perawat harus mengikuti ujian keperawatan yang sepenuhnya berbahasa Jepang, bahkan RN juga berlaku bagi perawat yang lulus kuliah di Jepang. Mereka pun tidak mudah untuk lulus ujian dan bisa mendapatkan RN.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
Kepala Program Studi D3 Keperawatan UMM Reni Ilmiasih di Malang, Jumat mengatakan penguatan kurikulum tersebut, akan menyentuh beberapa bidang, khususnya tambahan mata kuliah wajib bahasa asing selain Bahasa Inggris yang menjadimenu wajib bagi mahasiswa.
"Selain Bahasa Inggris, ada beberapa bahasa asing sebagai bahasa wajib, yakni Bahasa Jepang dan Bahasa Arab. Ketiga bahasa ini sekarang menjadi program wajib universitas, bahkan ke depan akan menyusul bahasa asing lainnya yang diwajibkan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari," katanya di Malang, Jawa Timur.
Ia mengakui penguatan kurikulum dan program wajib bahasa aisng itu sebagai tindak lanjut dari banyaknya alumni D3 Keperawatan yang saat ini bekerja di sejumlah negara, khususnya Jepang. Selain di Jepang, ada beberapa alumni yang bekerja di Arab Saudi, Taiwan, Australia, dan sejumlah negara lainnya.
Melihat perkembangan tersebut, kata Reni, kurikulum yang diberlakukan saat ini erus diperkuat dengan inovasi baru dan disesuaikan dengan perkembangan agar adik-adik tingkat mereka yang sudah sukses menembus pasar unia bisa mengikuti jejak mereka.
Selain kurikulum, lanjutya, kemitraan dengan berbagai universitas dan lembaga luar negeri juga terus diperkuat. "Yang pasti, kami sudah siap untuk menghasilkan alumni yang bertaraf internasional," ujarnya.
Sebelumnya, dua alumni D3 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) UMM, Sobaruddin Subekti dan Muhammad Fattahu, yang saat ini bekerja sebagai tenaga keperawatan di Jepang membagi ilmunya pada mahasiswa D3 Keperawatan kampus tersebut di sela masa liburannya di Indonesia.
Subekti dan Fattahu merupakan dua dari tujuh alumni D3 Keperawatan UMM yang saat ini bekerja di sejumlah rumah sakit dan lembaga kesehatan di Jepang. Subekti bekerja di Sangenjaya Hospital, sedangkan Fattahu di Central Otaku, keduanya berada di Tokyo. Mereka bekerja di Jepang melalui program kerja sama pemerintah Indonesia dan Jepang.
Bagi Subekti, kualitas lulusan D3 Keperawatan UMM sudah sangat mumpuni untuk bersaing secara profesional dengan lulusan luar negeri. "Pengetahun dan pengalaman yang kami dapat selama kuliah di UMM sudah lebih dari cukup untuk bersaing dengan perawat dari Filipina maupun Jepang sendiri. Kendala kami hanya bahasa saja, dan itu bisa dilatih," kata Subekti saat sharing pengalaman di Auditorium Kampus II UMM belum lama ini.
Pengalaman bekerja di luar negeri bagi mereka cukup mengesankan. Selain merasakan suasana baru dengan budaya dan gaya hidup berbeda, dari sisi pendapatan juga cukup tinggi. Gaji pertama seorang perawat di Negeri Sakura itu bisa mencapai Rp19 juta per bulan, sedangkan biaya hidup berkisar antara Rp8 juta hingga Rp9 juta per bulan.
Bahkan, Subekti digaji sebesar Rp35 juta per bulan karena sudah memperoleh registered number (RN) sebagai perawat profesional. "Perawat yang telah memiliki RN memang digaji dua kali lipat karena dianggap profesional dan sudah bisa menangani pasien secara langsung," terangnya.
RN merupakan sertifikasi nasional bagi perawat di Jepang yang juga diakui secara internasional. Untuk memiliki RN, seorang perawat harus mengikuti ujian keperawatan yang sepenuhnya berbahasa Jepang, bahkan RN juga berlaku bagi perawat yang lulus kuliah di Jepang. Mereka pun tidak mudah untuk lulus ujian dan bisa mendapatkan RN.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017