Sudah jadi tradisi setiap bulan suci Ramadhan, di mana umat Muslim menjalankan ibadah puasa, maka "ritual" berbuka bersama alias "bukber" mewarnai selama sebulan ibadah wajib itu.

Berbagai kalangan tidak hanya komunitas masyarakat mulai tingkat bawah,  keluarga, rukun tetangga (RT) maupun alumni/angkatan (sekolah, kuliah), teman sekerja/kantor, klub, organisasi saja, namun juga merambah kalangan pemerintahan (eksekutif, legeslatif, yufikatif).

Inti dari bukber sebenarnya adalah menjalin silaturahim dan mengaktulisasi diri. Namun, bagi kalangan tertentu, khususnya pemerintahan atau kalangan perpolitikan, bukber syarat makna, tidak sekadar hanya berbuka bersama mencicipi kudapan khas Ramadhan seperti kolak, kurma maupun es buah,  tapi urusan lobi-lobi politik pun terjalin.

Usai mendengarkan tauziah dari ustad maupun kiai bahwa pejabat itu harus amanah, tidak korupsi, jujur mengutamakan kepentingan rakyat/umum ketimbang kepentingan pribadi maupun keluarga, dilanjutkan menyantap takjil dan Shalat Magrib berjamaah. Usai acara inti yaitu berbuka bersama,  di sela berbuka inilah justru "acara utama" dimulai  lobi-lobi  politik.

Sementara kalangan masyarakat umum hingga pebisnis, justru bukber benar-benar dimanfaatkan untuk silaturahim sesama maupun dengan kaum dhuafa, walaupun ada kalanya di antara mereka untuk pencitraan diri. Bahkan kalangan non-Muslim juga sebagian di antaranya turut acara bukber ini.

Beberapa tokoh keturunan Tionghoa, misalnya, "membuka" Kelenteng atau Vihara untuk kegiatan bukber. Mereka berbaur bersama warga sekitar yang menjalankan ibadah puasa untuk bersama-sama berbuka puasa di tempat ibadah mereka, tanpa rekayasa alias murni dari sanubari kelompok atau komunitas non-Muslim tersebut.

Begitu juga mereka yang beragama Kristen Katolik maupun Protestan, di waktu tertentu membuka tempat ibadahnya (halaman gereja) untuk bersama-sama umat Muslim mendengarkan tauziah dan dilanjutkan bukber. Tanpa ikatan maupun janji-janji tertentu, tulus melaksanakan atas dasar kebersamaan.

Toleransi dan kebersamaan itu yang "menasbihkan" bahwa Bangsa Indonesia itu beragam, berbagai agama pemeluknya, beratus-ratus suku bangsa, bahasa, di mana keberagaman itu terbingkai dalam Bhineka Tunggalika, berbeda-beda namun satu, Bangsa Indonesia yang berdasarkabn falsafah Pancasila memaknai perdebadaan itu dengan arif bahwa kita semua bersaudara.

Indahnya keberagaman itu yang ada upaya dikoyak oleh kalangan tertentu. Mereka itu-lah yang tidak sadar bahwa Indonesia luas, beragam, berbeda-beda, namun bersaudara. Mereka itulah yang "bukber"-nya menyimpang. "Kita adalah Pacasilais". (*)

Pewarta: Chandra Hamdani Noer

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017