Seorang teman, Maman S Mahayana, yang lama tinggal di Korea Selatan bercerita bagaimana masyarakat di tempatnya tinggal terheran-heran dengan ritual puasa.
"Haaa... tidak makan dan tidak minum seharian? Apa tidak mati?" Begitu reaksi sejumah orang Korea saat mengetahui Maman berpuasa, namun tetap bisa beraktivitas seperti biasa dengan mengajar di kampus.
Dengan santai, dosen FIB Universitas Indonesia (UI) itu menunjukkan bahwa dirinya sehat-sehat saja, meskipun tidak makan dan minum seharian.
Kekagetan orang Korea itu memang beralasan apabila kita menyandarkan hidup dan segala persoalannya beradasarkan sebab akibat. Kita bisa hidup dan bergerak karena asupan energi dari makanan dan minuman yang cukup. Kita bisa sukses karena usaha lahir semata.
Tapi, jika berpikir lebih dalam, semua hukum sebab akibat di dunia itu hakikatnya berjalan atas kehendak Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalau Allah berkehendak, maka Dia bisa mengubah hukum sebab akibat itu dengan sangat mudah. Orang yang tidak makan seharian seharusnya loyo, namun tidak demikian saat orang berpuasa, karena menjalankan perintah Allah.
Seacara hakiki, puasa adalah bagaimana kita menahan diri dari hal-hal yang di luar puasa boleh dilakukan, namun saat Ramadhan justru diharamkan, seperti makan dan minum atau behubungan suami istri di siang hari.
Dr Sutejo, dalam disertasinya tentang Syaikh Siti Jenar mengungkapkan bahwa puasa hakiki adalah puasa dengan menahan hati dari menyembah, memuji, memuja dan mencari sesuatu yang "ghairullah" (selain Allah).
Dengan demikian puasa menjadi madrasah bagi setiap manusia untuk meniadakan watak dzalim dalam dirinya serta semua hal yang bersumber dari nafsu. Puasa melatih manusia untuk membersihkan hati karena yang menjadi tautan satu-satunya hanyalah Allah penguasa alam semesta dan seisinya.
Selamat berpuasa, semoga kita mampu menyelami kedalaman hakikat puasa untuk kemudian "lahir" kembali menjadi manusia fitri. Aamiiinn.... (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
"Haaa... tidak makan dan tidak minum seharian? Apa tidak mati?" Begitu reaksi sejumah orang Korea saat mengetahui Maman berpuasa, namun tetap bisa beraktivitas seperti biasa dengan mengajar di kampus.
Dengan santai, dosen FIB Universitas Indonesia (UI) itu menunjukkan bahwa dirinya sehat-sehat saja, meskipun tidak makan dan minum seharian.
Kekagetan orang Korea itu memang beralasan apabila kita menyandarkan hidup dan segala persoalannya beradasarkan sebab akibat. Kita bisa hidup dan bergerak karena asupan energi dari makanan dan minuman yang cukup. Kita bisa sukses karena usaha lahir semata.
Tapi, jika berpikir lebih dalam, semua hukum sebab akibat di dunia itu hakikatnya berjalan atas kehendak Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalau Allah berkehendak, maka Dia bisa mengubah hukum sebab akibat itu dengan sangat mudah. Orang yang tidak makan seharian seharusnya loyo, namun tidak demikian saat orang berpuasa, karena menjalankan perintah Allah.
Seacara hakiki, puasa adalah bagaimana kita menahan diri dari hal-hal yang di luar puasa boleh dilakukan, namun saat Ramadhan justru diharamkan, seperti makan dan minum atau behubungan suami istri di siang hari.
Dr Sutejo, dalam disertasinya tentang Syaikh Siti Jenar mengungkapkan bahwa puasa hakiki adalah puasa dengan menahan hati dari menyembah, memuji, memuja dan mencari sesuatu yang "ghairullah" (selain Allah).
Dengan demikian puasa menjadi madrasah bagi setiap manusia untuk meniadakan watak dzalim dalam dirinya serta semua hal yang bersumber dari nafsu. Puasa melatih manusia untuk membersihkan hati karena yang menjadi tautan satu-satunya hanyalah Allah penguasa alam semesta dan seisinya.
Selamat berpuasa, semoga kita mampu menyelami kedalaman hakikat puasa untuk kemudian "lahir" kembali menjadi manusia fitri. Aamiiinn.... (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017