Jakarta (Antara) - Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menginginkan agar kuota pengiriman perawat dan tenaga kesehatan ke Jepang ditambah lantaran kinerja tenaga kesehatan Indonesia sangat memuaskan pengguna dibandingkan Filipina dan Vietnam.
Kepala BNP2TKI Nusron Wahid dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Minggu, mengatakan, pengiriman perawat, carewalker dan caregiver merupakan pelaksanaan dari Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) yang ditandatangani pada tahun 2007, antara pemerintah RI dan Jepang.
Bentuk kerja samanya adalah semua barang dan jasa bebas masuk ke Indonesia, sebaliknya Indonesia bebas mengirimkan perawat dan tenaga kesehatan ke Jepang.
Menurut Nusron, akibat kerja sama ini Indonesia kehilangan potensi pendapatan bea masuk barang kurang lebih sekitar Rp1 triliun hingga Rp1,5 triliun.
"Harusnya kita bisa mengirim perawat yang banyak. Namun dalam praktiknya penggunanya terbatas hanya sekitar 500 perawat per tahun. Idealnya agar seimbang dengan remitansi yang masuk ke Indonesia minimal 2.000 perawat," kata Nusron dalam rapat terbatas persiapan evaluasi 10 tahun IJEPA, di Osaka, Jepang, Minggu.
Selama kunjungan di Osaka Jepang selama tiga hari, yakni sejak Jumat (12/5) hingga Minggu (14/5), Nusron bersama tim BNP2TKI, Kemenlu dan KJRI Osaka melakukan pertemuan intensif dengan The Overseas Human Resources and Industry Development Assosiation (HIDA), Japan International Corporation of Welfare Services dan para pengguna tenaga kerja Indonesia yang tergabung dalam Japan Indonesia Bisnis Assosiation (JIBA).
Menurut Nusron, tingkat kepuasan pengguna baik rumah sakit maupun panti lanjut usia di Jepang sangat tinggi.
"Kualitas bagus. Pelanggan puas. Kemudahan sudah dikasih. Tapi, herannya pihak Jepang yang kurang atraktif," ujarnya.
Salah satu yang menghambat perawat Indonesia dibanding Filipina dan Vietnam adalah kemampuan bahasa Jepang. Vietnam dan Filipina sebelum berangkat sudah mempunyai kemampuan bahasa Jepang level N2. Sehingga lulus tes langsung bisa bekerja, sementara dari Indonesia, baru N4.
"Sampai Jepang masih harus kursus dulu selama enam bulan di Jepang untuk bisa sampai level N3. Dimana, enam bulan di Jepang hanya latihan bahasa untuk N3. Setelah baru bekerja," kata Nusron.
Setelah setahun, tambah dia, ujian lagi ke level N2, baru setara dengan Vietnam. Kalau orang Indonesia tidak segera ditingkatkan kemampuan bahasanya maka bisa kalah kompetitif.
"Kami akan genjot dan kerja sama dengan stikes di Indonesia agar mempersiapkan diri lebih dini, demikian Nusron Wahid.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
Kepala BNP2TKI Nusron Wahid dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Minggu, mengatakan, pengiriman perawat, carewalker dan caregiver merupakan pelaksanaan dari Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) yang ditandatangani pada tahun 2007, antara pemerintah RI dan Jepang.
Bentuk kerja samanya adalah semua barang dan jasa bebas masuk ke Indonesia, sebaliknya Indonesia bebas mengirimkan perawat dan tenaga kesehatan ke Jepang.
Menurut Nusron, akibat kerja sama ini Indonesia kehilangan potensi pendapatan bea masuk barang kurang lebih sekitar Rp1 triliun hingga Rp1,5 triliun.
"Harusnya kita bisa mengirim perawat yang banyak. Namun dalam praktiknya penggunanya terbatas hanya sekitar 500 perawat per tahun. Idealnya agar seimbang dengan remitansi yang masuk ke Indonesia minimal 2.000 perawat," kata Nusron dalam rapat terbatas persiapan evaluasi 10 tahun IJEPA, di Osaka, Jepang, Minggu.
Selama kunjungan di Osaka Jepang selama tiga hari, yakni sejak Jumat (12/5) hingga Minggu (14/5), Nusron bersama tim BNP2TKI, Kemenlu dan KJRI Osaka melakukan pertemuan intensif dengan The Overseas Human Resources and Industry Development Assosiation (HIDA), Japan International Corporation of Welfare Services dan para pengguna tenaga kerja Indonesia yang tergabung dalam Japan Indonesia Bisnis Assosiation (JIBA).
Menurut Nusron, tingkat kepuasan pengguna baik rumah sakit maupun panti lanjut usia di Jepang sangat tinggi.
"Kualitas bagus. Pelanggan puas. Kemudahan sudah dikasih. Tapi, herannya pihak Jepang yang kurang atraktif," ujarnya.
Salah satu yang menghambat perawat Indonesia dibanding Filipina dan Vietnam adalah kemampuan bahasa Jepang. Vietnam dan Filipina sebelum berangkat sudah mempunyai kemampuan bahasa Jepang level N2. Sehingga lulus tes langsung bisa bekerja, sementara dari Indonesia, baru N4.
"Sampai Jepang masih harus kursus dulu selama enam bulan di Jepang untuk bisa sampai level N3. Dimana, enam bulan di Jepang hanya latihan bahasa untuk N3. Setelah baru bekerja," kata Nusron.
Setelah setahun, tambah dia, ujian lagi ke level N2, baru setara dengan Vietnam. Kalau orang Indonesia tidak segera ditingkatkan kemampuan bahasanya maka bisa kalah kompetitif.
"Kami akan genjot dan kerja sama dengan stikes di Indonesia agar mempersiapkan diri lebih dini, demikian Nusron Wahid.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017