Situbondo (Antara Jatim) - Ketua Komisi I DPRD Situbondo Abdur Rachman menilai wajar reaksi kepala desa memilih mengembalikan berkas program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) atau Prona ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) karena khawatir terjerat hukum.
"Karena tidak seluruhnya biaya program PTSL/Prona ditanggung oleh pemerintah, sehingga kami mendukung kepastian besarannya biaya yang harus ditanggung pemohon pembuatan sertifikat," katanya di Situbondo, Jawa Timur, Sabtu.
Menurutnya, selama ini tidak ada masalah dengan program PTSL/Prona, dan persoalan mulai mencuat seolah-olah setelah adanya tim Saber Pungli. Oleh karena itu BPN bersama pemerintah daerah harus membuat juklak dan juknis pembiayaan program pembuatan sertifikat tanah tersebut agar tidak ada masalah dikemudian hari yang dapat menjerat kepala desa.
Program PTSL/Prona secara massal ini, katanya, dinilai bagus karena dapat membantu masyarakat, akan tetapi bila program itu tidak didukung juklak dan juknis administratif maka program tersebut tidak akan berjalan dengan baik.
"Selain akan menimbulkan ketakutan bagi kepala desa juga bisa berpotensi adanya penyalahgunaan, terlebih beberapa waktu lalu tim Saber Pungli melakukan operasi tangkap tangan atau OTT terhadap salah satu kepala desa yang menarik biaya kepada pemohon," paparnya.
Ia menyarankan, bila kepala desa tetap diberi kewenangan menentukan biaya PTSL sendiri, sebaiknya kepala desa menentukan besaran biaya berdasarkan kesepakatan bersama pemohon.
Agar program PTSL/Prona tidak terbengkalai, lanjut dia, BPN mestinya mengeluarkan surat edaran dan menetapkan besarnya biaya yang harus ditanggung pemohon. Sehingga dengan demikian para kepala desa akan merasa tenang menjalankan program tersebut karena tak khawatir terkena OTT atau dipidanakan.
Sebelumnya, Sejumlah perwakilan kepala desa mendatangi kantor BPN Situbondo dan menyerahkan berkas program PTSL/Prona karena tidak ada kejelasan penarikan pembiayaan di desa.
"Kami mewakili teman-teman Kades yang lain menolak sementara program PTSL atau Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) Tahun Anggaran 2017. Karena kami khawatir disalahkan ketika meminta pembiayaan kepada pemohon," kata Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) Kabupaten Situbondo, H Juharto.
Ia mengemukakan, kedatangan sejumlah perwakilan kepala desa ke kantor BPN meminta penjelas terkait penarikan kewajaran pembiayaan PTSL terhadap pemohon, dan karena belum ada kejelasan berkas PTSL tersebut langsung diserahkan.
Sejauh ini, katanya, pelaksanaan sosialisasi yang dilakukan oleh petugas BPN untuk masalah pendanaan banyak kendala diantaranya pembiayaan pra PTSL/ Prona (sebelum pelaksanaan pembuatan sertifikat) banyak persoalan.
"Sebenarnya program PTSL dari Pemerintah Pusat ini sangat bagus, akan tetapi ini apabila kepala desa melakukan penarikan biaya maka akan menjadi masalah bagi Kades dan tentu menyalahi aturan yang ada," katanya.
Ia menambahkan, para kepala desa setempat siap mengawal dan melaksanakan program PTSL/Prona itu namun perlu ada aturan yang mengatur penarikan biaya sehingga tidak ada permasalahan dikemudian hari.
Sementara Ketua Panitia Ajudikasi PTSL/Prona BPN Situbondo Kuntarto mengatakan, pihaknya telah melaksanakan sesuai mekanisme mulai proses penyuluhan dan pengukuran serta pemeriksaan hingga penertiban sertifikat.
Ia menjelaskan bahwa tidak ada ketentuan atau aturan pembiayaan bagi pemohon PTSL, tetapi pemohon hanya dibebani biaya materai dan patok.
"Ada tujuh item yang biayanya gratis dan ditanggung APBN dan langsung ditangani pihak BPN, yaitu penyuluhan, pengumpulan data yuridis, pengukuran, sidang panitia, pengesahan, penerbitan sertifikat serta penyerahan sertifikat.
Dari data kantor BPN Situbondo pada 2017 program PTSL/Prona tercatat ada 42 desa yang tersebar di 13 kecamatan yang melaksanakan, dengan total bidang tanah sebanyak 13.400 serta sebanyak 100 bidang untuk lintas sektor UKM. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
"Karena tidak seluruhnya biaya program PTSL/Prona ditanggung oleh pemerintah, sehingga kami mendukung kepastian besarannya biaya yang harus ditanggung pemohon pembuatan sertifikat," katanya di Situbondo, Jawa Timur, Sabtu.
Menurutnya, selama ini tidak ada masalah dengan program PTSL/Prona, dan persoalan mulai mencuat seolah-olah setelah adanya tim Saber Pungli. Oleh karena itu BPN bersama pemerintah daerah harus membuat juklak dan juknis pembiayaan program pembuatan sertifikat tanah tersebut agar tidak ada masalah dikemudian hari yang dapat menjerat kepala desa.
Program PTSL/Prona secara massal ini, katanya, dinilai bagus karena dapat membantu masyarakat, akan tetapi bila program itu tidak didukung juklak dan juknis administratif maka program tersebut tidak akan berjalan dengan baik.
"Selain akan menimbulkan ketakutan bagi kepala desa juga bisa berpotensi adanya penyalahgunaan, terlebih beberapa waktu lalu tim Saber Pungli melakukan operasi tangkap tangan atau OTT terhadap salah satu kepala desa yang menarik biaya kepada pemohon," paparnya.
Ia menyarankan, bila kepala desa tetap diberi kewenangan menentukan biaya PTSL sendiri, sebaiknya kepala desa menentukan besaran biaya berdasarkan kesepakatan bersama pemohon.
Agar program PTSL/Prona tidak terbengkalai, lanjut dia, BPN mestinya mengeluarkan surat edaran dan menetapkan besarnya biaya yang harus ditanggung pemohon. Sehingga dengan demikian para kepala desa akan merasa tenang menjalankan program tersebut karena tak khawatir terkena OTT atau dipidanakan.
Sebelumnya, Sejumlah perwakilan kepala desa mendatangi kantor BPN Situbondo dan menyerahkan berkas program PTSL/Prona karena tidak ada kejelasan penarikan pembiayaan di desa.
"Kami mewakili teman-teman Kades yang lain menolak sementara program PTSL atau Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) Tahun Anggaran 2017. Karena kami khawatir disalahkan ketika meminta pembiayaan kepada pemohon," kata Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) Kabupaten Situbondo, H Juharto.
Ia mengemukakan, kedatangan sejumlah perwakilan kepala desa ke kantor BPN meminta penjelas terkait penarikan kewajaran pembiayaan PTSL terhadap pemohon, dan karena belum ada kejelasan berkas PTSL tersebut langsung diserahkan.
Sejauh ini, katanya, pelaksanaan sosialisasi yang dilakukan oleh petugas BPN untuk masalah pendanaan banyak kendala diantaranya pembiayaan pra PTSL/ Prona (sebelum pelaksanaan pembuatan sertifikat) banyak persoalan.
"Sebenarnya program PTSL dari Pemerintah Pusat ini sangat bagus, akan tetapi ini apabila kepala desa melakukan penarikan biaya maka akan menjadi masalah bagi Kades dan tentu menyalahi aturan yang ada," katanya.
Ia menambahkan, para kepala desa setempat siap mengawal dan melaksanakan program PTSL/Prona itu namun perlu ada aturan yang mengatur penarikan biaya sehingga tidak ada permasalahan dikemudian hari.
Sementara Ketua Panitia Ajudikasi PTSL/Prona BPN Situbondo Kuntarto mengatakan, pihaknya telah melaksanakan sesuai mekanisme mulai proses penyuluhan dan pengukuran serta pemeriksaan hingga penertiban sertifikat.
Ia menjelaskan bahwa tidak ada ketentuan atau aturan pembiayaan bagi pemohon PTSL, tetapi pemohon hanya dibebani biaya materai dan patok.
"Ada tujuh item yang biayanya gratis dan ditanggung APBN dan langsung ditangani pihak BPN, yaitu penyuluhan, pengumpulan data yuridis, pengukuran, sidang panitia, pengesahan, penerbitan sertifikat serta penyerahan sertifikat.
Dari data kantor BPN Situbondo pada 2017 program PTSL/Prona tercatat ada 42 desa yang tersebar di 13 kecamatan yang melaksanakan, dengan total bidang tanah sebanyak 13.400 serta sebanyak 100 bidang untuk lintas sektor UKM. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017