Tulungagung (Antara Jatim) - Sejumlah nelayan di kawasan pesisir Teluk Popoh, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur mengeluhkan tangkapan ikan mereka yang turun drastis dampak cuaca ekstrem/buruk yang terjadi selama kurun setahun terakhir.
"Badai di tengah laut dan gelombang tinggi selama beberapa pekan membuat kami memilih tidak melaut dulu," kata Sutrisno, nelayan di Pantai Sidem Teluk Popoh, Tulungagung, Rabu.
Ia mengatakan, hampir semua nelayan di kawasan Pantai Sidem maupun Popoh memilih istirahat.
Sutrisno sendiri mengaku sempat nekat melaut dua hari terakhir karena cuaca yang mulai cerah, namun tangkapan juga belum banyak seperti biasanya.
"Hanya dapat dua keranjang tidak penuh. Tapi lumayan untuk ongkos melaut sehari dan ganti lelah," katanya.
Saat kondisi cuaca cerah, tutur Sutrisno dan nelayan lain, rata-rata nelayan bisa mendapat tangkapan ikan hingga 5-6 keranjang sekali melaut. kalau kapal besar jenis slerek bisa lebih banyak lagi," katanya.
Nelayan di Pantai Popoh mengaku biaya operasional setiap melaut bisa mencapai Rp2,5 juta.
Asumsi operasional itu menurut nelayan untuk biaya bahan bakar, perawatan mesin, kuli nelayan dan lainnya.
"Banyak tekor atau ruginya kalau tangkapan ikannya turun seperti ini. Sebab hasilnya minus dari biaya operasional," tutur nelayan lain bernama Yadi.
Ia mengatakan nelayan menggunakan jaring tidak sebanyak nelayan ikan besar.
Sebab, kata Yadi, nelayan ikan jarring harus memperhitungkan biaya pengeluaran serta hasil setiap melautnya, mengingat dalam oeprasional mereka melibatkan beberapa kuli nelayan yang biasanya dibayar Rp50 ribu sekali melaut.
"Kuli nelayan itu yang menarik jaring. Biasanya, setiap melaut kuli nelayan ada 30 orang," katanya.
Yadi mengatakan, keluhan serupa dirasakan nelayan kapal besar dimana akhir-akhir ini hasil tangkapan turun drastis.
Menurut Sutrisno maupun Yadi, biasanya memasuki bulan Maret-Mei sudah mulai banyak ikan, terutama ikan layur namun kondisi yang ada sekarang sebaliknya.
"Ini sudah berlangsung hingga setahun karena cuaca ektrem seperti ini yang membuat badai serta gelombang cukup tinggi," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
"Badai di tengah laut dan gelombang tinggi selama beberapa pekan membuat kami memilih tidak melaut dulu," kata Sutrisno, nelayan di Pantai Sidem Teluk Popoh, Tulungagung, Rabu.
Ia mengatakan, hampir semua nelayan di kawasan Pantai Sidem maupun Popoh memilih istirahat.
Sutrisno sendiri mengaku sempat nekat melaut dua hari terakhir karena cuaca yang mulai cerah, namun tangkapan juga belum banyak seperti biasanya.
"Hanya dapat dua keranjang tidak penuh. Tapi lumayan untuk ongkos melaut sehari dan ganti lelah," katanya.
Saat kondisi cuaca cerah, tutur Sutrisno dan nelayan lain, rata-rata nelayan bisa mendapat tangkapan ikan hingga 5-6 keranjang sekali melaut. kalau kapal besar jenis slerek bisa lebih banyak lagi," katanya.
Nelayan di Pantai Popoh mengaku biaya operasional setiap melaut bisa mencapai Rp2,5 juta.
Asumsi operasional itu menurut nelayan untuk biaya bahan bakar, perawatan mesin, kuli nelayan dan lainnya.
"Banyak tekor atau ruginya kalau tangkapan ikannya turun seperti ini. Sebab hasilnya minus dari biaya operasional," tutur nelayan lain bernama Yadi.
Ia mengatakan nelayan menggunakan jaring tidak sebanyak nelayan ikan besar.
Sebab, kata Yadi, nelayan ikan jarring harus memperhitungkan biaya pengeluaran serta hasil setiap melautnya, mengingat dalam oeprasional mereka melibatkan beberapa kuli nelayan yang biasanya dibayar Rp50 ribu sekali melaut.
"Kuli nelayan itu yang menarik jaring. Biasanya, setiap melaut kuli nelayan ada 30 orang," katanya.
Yadi mengatakan, keluhan serupa dirasakan nelayan kapal besar dimana akhir-akhir ini hasil tangkapan turun drastis.
Menurut Sutrisno maupun Yadi, biasanya memasuki bulan Maret-Mei sudah mulai banyak ikan, terutama ikan layur namun kondisi yang ada sekarang sebaliknya.
"Ini sudah berlangsung hingga setahun karena cuaca ektrem seperti ini yang membuat badai serta gelombang cukup tinggi," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017