Di sekitar kawasan menuju lokasi ini terlihat sederhana, seperti pada gambaran umumnya perkampungan di sejumlah desa, yakni keberadaan rumah yang jarak pagarnya agak jauh dengan halaman rumah, kemudian di tengahnya ada pepohonan rindang.

Jalan utama beraspal yang ada di luar pagar rumah juga tidak lebar, hanya cukup dilalui dua mobil jenis MPV yang berlawanan arah, lahan-lahan di wilayah itu juga masih asri dengan banyaknya petak-petak persawahan.

Kawasan itu bernama Desa Lingsar, Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat. Di desa itu terdapat pura atau tempat ibadah yang mampu mengajarkan kerukunan umat beragama kepada siapa pun yang berkunjung, dan disebut Pura Lingsar.

Di lokasi pura tidak hanya ada tempat ibadah umat Hindu, melainkan berdekatan dengan umat Islam yang hanya dipisah oleh petak-petak lahan berdekatan.
 
Secara tatak letak, petak depan atau gapura pintu masuk Pura Lingsar terdapat dua kolam di sisi kiri dan kanan, yang konon sebagai tanda kesejukkan wilayah itu.

Di sekitar kawasan pura juga ada kolam lain yang dibangun untuk menghormati Dewa Whisnu dengan luas 6.230 meter persegi, dan bernama Telaga Ageng yang dihuni oleh ikan, dan jika tidak dipanggil keluar tidak akan menampakkan diri. 

Menurut warga setempat wisatawan harus melemparkan telur ayam rebus agar ikan-ikan itu keluar, dan di Telaga Ageng mempunyai 9 pancuran yang airnya akan memancar ke dalam kolam.

Konon kata warga, setiap pengunjung yang melempar koin ke dalam kolam akan mendapatkan kemudahan rejeki dari Tuhan, sehingga di dasar kolam terlihat banyak uang koin yang berserakan, yang sebelumnya dilempar pengunjung. 

Masuk ke gapura kedua Pura Lingsar terlihat lokasi sembahyang umat Hindu lengkap dengan sejumlah atributnya.

Berikutnya di pojok kanan terdapat pintu masuk kecil seukuran tubuh manusia yang didalamnya terdapat mushollah atau tempat sholat umat Islam, dan disampingnya ada air wudhu langsung bersumber dari laut, dan konon juga mampu membuat awet muda bagi pengunjung yang berwudhu di lokasi itu.

Pemandangan setiap harinya di lokasi itu terlihat aktivitas religi umat Islam dan Hindu menjalankan ibadahnya masing-masing secara berbarengan.

Meski demikian, tidak ada gesekan antara keduanya, dan juga tidak terlihat saling mendominasi, hal itu bahkan sudah berjalan sejak dulu, tepatnya tahun 1741.

Berdasarkan literatur sejarah wilayah setempat, Pura Lingsar adalah pura terbesar di Lombok. Dibangun Raja Anak Agung Ketut Karangasem sejak 1741, dan dianggap warga setempat sebagai pura yang paling suci di wilayah Lombok. 

Nilai-nilai toleransi antaragama Hindu dan Islam Wetu Telu memang sudah ada sejak dulu di kawasan yang terbagi menjadi dua itu, yakni bagian utara pura Hindu bernama Gaduh, dan di bagian selatan pura Weku Telu bernama Kemaliq.

Warga sekitar mengakui, sejak dulu tidak ada gesekan antarumat beragama atau suku di lokasi desa setempat, bahkan ketika adanya perayaan keagamaan warga juga saling mendatangi pura yang memiliki luasan lahan mencapai 26 hektare tersebut.

"Di sini betul-betul menunjukkan harmonisasi antaragama Islam dan Hindu. Sehingga ritual dua agama tersebut kadang berjalan berdampingan tanpa terjadi gesekan," kata Fajaruddin, pemandu wisata yang telah lalu lalang mengantarkan wisatawan mendatangi lokasi itu.

Ia mengatakan, ada ritual tertentu yang selalu dilakukan orang luar daerah ke tempat itu, yakni menghitung batu-batuan di lokasi pura, dan apabila hasil hitungannya menunjukkan angka genap, maka orang tersebut akan beruntung, namun apabila ganjil diminta bersabar.

"Wisatawan luar, biasanya menghitung batu-batu di lokasi pura, dan kalau hasilnya genap akan sukses, kalau tidak maka sama harus sabar," tutur Fajarudin, sambil menunjuk lokasi bebatuan yang biasanya dihitung wisatawan.

Setiap wisatawan atau warga yang mendatangi lokasi itu diwajibkan menggunakan selendang kuning yang disediakan di depan gapura sebelum masuk tempat ibadah, hal itu sebagai tanda penghormatan.

"Ini adalah kultur lokal, sebagai simbol menjaga kesucian pura, sehingga setiap pengunjung diharuskan untuk selendang kuning," ucapnya.

Kendati selalu digunakan untuk beribadah dua agama yang berbeda, Fajaruddin mengaku tidak ada kegaduhan antarakeduanya hingga saat ini, bahkan persaudaraannya semakin kuat.

Ritual "Perang"
Fajaruddin mengaku, dalam setahun sekali ada upacara yang dianggapnya cukup unik dengan melibatkan dua umat beragama tersebut, yakni Hindu dan Islam dan diberinama ritual Perang Topat. 

Ritual perang tersebut merupakan bagian dari simbol kerukunan umat beragama di wilayah itu. Namun jangan disangka perang itu adalah saling menyerang, melainkan perang menggunakan "topat" atau istilah lain dari ketupat yang dilemparkan kepada sesama temannya. 

"Maksud dari perang ini adalah sebagai tanda bersyukur atas rejeki yang selalu dilimpahkan Tuhan. Perang Topat biasanya dilakukan sebelum musim tanam pagi dan sesudah musim penghujan," ujarnya.

Untuk menuju lokasi ini bisa dilakukan dengan menumpang angkutan umum dari terminal Bertais menuju Narmada dengan ongkos sekitar Rp5.000, lalu menuju Pura dengan ongkos yang sama.

Namun demikian, ada juga beberapa agen perjalanan yang menawarkan paket mulai bandara setempat menuju bebeberpa destinasi wisata di wilayah Lombok, dan Pura Lingsar menjadi bagian jujugan wajib agen tersebut.(*)
Video oleh: Abdul Malik

Pewarta: A Malik Ibrahim

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017