Jember (Antarajatim) - Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej) memberikan rekomendasi tentang penguatan dan penegasan sistem presidensial di Indonesia dan hal itu disampaikan dalam "Focus Group Discussion" di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis sore.

Dalam kegiatan diskusi bertema "Penegasan dan Penguatan Sistem Presidensial" tersebut juga hadir tiga anggota Badan Pengkajian MPR RI yakni M.Sarmudji dari Fraksi Golkar, Anna Muawannah dari Fraksi PKB dan Capy. Djoni Rolindrawan dari Fraksi Hanura, serta Bupati Jember Faida.

"Ada enam rekomendasi yang kami sampaikan untuk penguatan sistem pemerintahan presidensial dalam menghadapi tantangan saat ini karena sistem tersebut lebih cocok diterapkan di Indonesia," kata Direktur Puskapsi Fakultas Hukum Unej Dr Bayu Anggono di sela-sela kegiatan "Focus Group Discussion" di Jember.

Ia mengatakan rekomendasi pertama yakni kerjasama antar partai politik dalam mengusung calon Presiden dan calon Wakil Presiden di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden harus didorong menuju model kerja sama yang memperkuat sistem pemerintahan presidensial. 

"Pengusulan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden oleh gabungan partai politik harus diarahkan untuk membentuk kerja sama permanen dari partai politik atau gabungan partai politik yang kemudian akan menyederhanakan sistem kepartaian sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945," tuturnya.

Kedua, multipartai ekstrem (jumlah partai sangat banyak) perlu segera didorong menjadi multipartai sederhana, terutama jumlah partai di parlemen dengan menerapkan ambang batas kursi di parlemen (parliamentary threshold) secara konsisten dan menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden. 

"Selanjutnya desain institusi parlemen, rancangan kelembagaan parlemen diarahkan untuk menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di parlemen, seperti pengurangan jumlah fraksi dan efektivitas koalisi, agar proses-proses politik di parlemen menjadi lebih sederhana dan efisien," ujarnya.

Penyederhanaan jumlah fraksi di parlemen melalui pengetatan persyaratan ambang batas pembentukan fraksi, regulasi koalisi parlemen diarahkan ke dua blok politik (pendukung dan oposisi).

Rekomendasi keempat yakni kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk UU tertentu, sedangkan Presiden berhak dan dapat memajukan rancangan undang-undang.

"Kami juga mengajukan penataan ulang sistem legislasi, presiden sebagai kepala pemerintahan menjalankan fungsi-fungsi eksekutif seperti mengajukan RUU atau veto kepada legislatif, membuat perintah-perintah eksekutif (executive orders), menyusun kabinet, melaksanakan pemerintahan," katanya.

Ia mengatakan Presiden dalam sistem presidensial bukanlah pemegang kekuasaan legislatif karena Presiden adalah kepala pemerintahan (eksekutif), meskipun ia dapat diberi hak tertentu di bidang tersebut seperti mengajukan rancangan undang-undang dan mengundangkan produk legislatif. 

"Menurut kami, sistem presidensial menempatkan presiden dalam dua kedudukan dan fungsi, yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Perlunya diatur secara jelas dan tegas dalam UUD 1945 tentang macam-macam kewenangan Presiden di bidang penyelenggaraan pemerintahan yang tidak memerlukan persetujuan DPR," katanya menambahkan.

Sementara anggota Badan Pengkajian MPR M. Sarmudji mengatakan pihaknya turun ke daerah-daerah seperti di Kabupaten Jember untuk melakukan serap aspirasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

"Kami memiliki tugas mengkaji sistem ketatanegaraan, UUD 1945 dan pelaksanaannya, sehingga kami harapkan dari FGD ini ada masukan dari pihak akademisi Unej terkait dengan sistem presidensial yang diterapkan di negara kita," tuturnya.(*)

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017