Situbondo (Antara Jatim) - Panitia kerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Situbondo, Jawa Timur memanggil dan minta penjelasan kepada pihak eksekutif terkait adanya indikasi kebocoran dana pasien yang menggunakan surat pernyataan miskin (SPM) hasil audit BPK RI perwakilan Jatim.

"Dalam agenda pertama Panja membahas hasil audit BPK RI dan pada Selasa (10/1) kemarin kami sudah minta penjelasan kepada Sekretaris Daerah (Sekda) Situbondo Syaifullah dan juga dihadiri oleh beberapa kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD)," kata Ketua Panja DPRD Situbondo, Narwiyoto di Situbondo, Rabu.

Ia mengatakan Sekda diberikan porsi memberikan penjelasan lebih pada pertemuan tersebut, akan tetapi panitia kerja DPRD mengaku masih belum puas dengan apa yang telah disampaikan oleh pemerintah ketika menjelaskan tentang kebijakan perubahan tarif dari tarif INA-CBG's ke tarif Perda Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Kelas III serta Perbup Nomor 33 tahun 2015 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Non Kelas III.

Perubahan tarif itu, katanya, dapat menimbulkan kerugian keuangan daerah, tetapi pihak eksekutif justru berpendapat sebaliknya dengan melakukan perubahan tidak menimbulkan kerugian keuangan negara.

"INA-CBG's merupakan tarif pembayaran dengan sistem paket berdasarkan penyakit yang diderita oleh pasien yang menggunakan surat pernyataan miskin (SPM) saat berobat ke RSUD Abdoerrahem Situbondo dan sudah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan," ucapnya, menjelaskan.

Menurut Narwiyoto, berdasarkan uji petik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia perwakilan Jawa Timur, perubahan tarif tersebut mengakibatkan pembengkakan anggaran.

Ia mencontohkan ketika disebutkan pasien inisial AB karena menggunakan tarif peraturan daerah (Perda) klaim biaya pengobatannya  mencapai Rp31 juta lebih sedangkan jika menggunakan tarif INA-CBG's biaya yang dihabiskan AB hanya Rp8 juta atau selisih lebih murah hingga Rp22 juta.

"Ada 13 pasein yang dijadikan sampel oleh BPK dan dari jumlah itu kerugian uang kas daerah karena perubahan pola klaim mencapai Rp63 juta. Sedangkan pemerintah tetap mengatakan tidak ada kerugian uang negara hal ini bertolak belakang dengan penghitungan BPK dengan Pemkab," paparnya.

Sementara Wakil Bupati Situbondo Yoyok Mulyadi mengatakan, tim tindak lanjut dari eksekutif sudah memberikan penjelasan apa adanya dan ia minta kepada panitia kerja DPRD untuk mempelajarinya.

"Jika ada yang belum dipahami dari penjelasan tersebut dia meminta agar menanyakan langsung kepada BPK," katanya.

Sebelumnya, Narwiyoto menyatakan bahwa BPK RI Jatim telah menemukan adanya pasien pengguna surat pernyataan miskin yang diduga fiktif dan berdasarkan hasil uji petik BPK menemukan 88 pasien pengguna SPM yang tidak diketahui keberadaannya (fiktif) di RSUD Abdoerrahem Situbondo.

Dari 88 pasien pengguna SPM yang diduga fiktif tersebut terdiri dari 66 pasien SPM pada 2015 dan 22 pasien SPM 2016, dari hasil temuan BPK terkait pasien SPM diduga fiktif tersebut hanya sampel di enam Kecamatan.

"Dari hasil audit BPK tentunya ada indikasi kebocoran penggunaan dana SPM dan berpotensi merugikan keuangan Negara. Dan dari hasil audit BPK selain ditemukan selisih klaim pembayaran pasien SPM pada 2016 karena adanya perubahan pembiayaan juga ditemukan pasien SPM fiktif," tuturnya. (*)

Pewarta: Novi Husdinariyanto

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017