Surabaya (Antara Jatim) - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jawa Timur menyebutkan Kota Surabaya berada di urutan pertama untuk kategori kota terlapor dan pelapor dengan pelbagai kasus di Jawa Timur.

"Laporan yang disampaikan kepada kami dengan pelbagai cara yakni ada yang melalui surat, datang langsung, `email` dan sebagainya," kata Kepala Ombudsman RI Jawa Timur Agus Widiarta saat menggelar jumpa pers di kantor ORI Jatim di Surabaya, Rabu.

Total laporan yang masuk ke Ombudsman di seluruh Jawa Timur ada 345 laporan.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 196 laporan selesai diproses dan 149 laporan masih dalam proses.

Berdasarkan kota pelapor, Surabaya menempati urutan pertama dengan 168 pelapor, Sidoarjo 35 pelapor, Kota Malang 16 pelapor, Gresik 10 pelapor, Kediri 11 pelapor, disusul Kabupaten Pasuruan enam pelapor, Kota Pasuruan enam pelapor, Gresik 10, Bangkalan enam pelapor, Probolinggo lima pelapor, Tuban tujuh pelapor dan Jombang delapan pelapor.

Sedangkan berdasarkan kota terlapor, Surabaya masih menempati urutan pertama yaitu 164 kasus, kemudian Sidoarjo 27 kasus, disusul Kota Malang 13 kasus, Gresik 14 kasus, Probolinggo lima kasus, Kediri empat kasus, Mojokerto tiga kasus, Tuban delapan kasus dan Pasuruan delapan kasus.

Dari sekian laporan tersebut, lanjut Agus, maka sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 37/2008, Ombudsman RI melakukan pemeriksaan dan menindaklanjuti dugaan mal-administrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah.

"Selanjutnya Ombudsman melakukan upaya pencegahan terhadap dugaan mal-administrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik," katanya.

Berdasarkan aturan tersebut, Ombudsman RI-pun merilis laporan kerjanya di bidang penyelesaian atas laporan yang diterimanya serta melakukan upaya pencegahan.

Disebutkan Agus, berdasarkan dugaan terjadinya mal-administrasi, penundaan layanan yang berlarut-larut di Jawa Timur menempati urutan pertama yaitu 84 kasus (24 persen).

Disusul laporan tidak memberikan layanan meliputi 75 kasus (22 persen), penyimpangan prosedur (25 kasus/tujuh persen), penyalahgunaan wewenang (62 kasus/18 persen).

"Kemudian tidak kompeten 65 kasus, pungli 20 kasus, diskriminasi enam laporan, tidak patut ada tiga dan konflik kepentingan ada empat. Total ada 345 laporan yang masuk ke Ombudsman," kata Agus.

Selanjutnya berdasarkan subtansi laporan, masalah pertanahan menempati urutan tertinggi yaitu 80 kasus.

Disusul masalah kepolisian mencapai 58 laporan, administrasi kependudukan (33 kasus), pendidikan (27 kasus), perizinan (20 kasus), ketenagakerjaan (18 kasus).

"Masalah peradilan ada 28 laporan, serta masalah agama hingga urusan haji. Total ada 29 laporan terkait masalah substansi laporannya," kata Agus.

Berdasarkan instansi, pemerintah kabupaten/kota menjadi tokoh utama sebagai terlapor dengan 75 kasus.

Kemudian wilayah kelurahan mencapai 29 kasus, desa (30 kasus), kepolisian resort (25 kasus), kartor pertanahan (27 kasus), BUMN/BUMD (20 kasus), pengadilan negeri (11 kasus), kejaksaan negeri (10 kasus), dan instansi lainnya, seperti pemerintah provinsi, sekolah negeri dan lain sebagainya.

"Berdasarkan mekanisme penyelesaian yang dilakukan Ombudsman, dari sekian laporan itu, ada 54 kasus yang tidak ditemukan adanya mal-administrasi, bukan wewenang ada 42 kasus, tidak melengkapi data 19 kasus, klarifikasi tertulis 18 kasus, mediasi 18 kasus, klarifikasi dan sebagainya," kata Agus. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017