Surabaya (Antara Jatim) - Nama Taat Pribadi tiba-tiba menjadi "trending topic" skala nasional setelah Padepokan "Dimas Kanjeng" Probolinggo digerebek aparat penegak hukum pada 6 Juli 2016.
     
Apalagi, penggerebekan padepokan "penggandaan uang" itu dipimpin langsung Wakapolda Jatim dan melibatkan tim gabungan dari TNI dan Polri, sehingga "kesaktian" Taat Pribadi menjadi bahasan.
     
Akhirnya, fenomena "kesaktian" itu terkuat satu demi satu, diantaranya pelibatan sejumlah oknum TNI dan Polri yang disersi dalam barisan "pengawal" sang guru yang sudah "praktek" belasan tahun itu.
     
Tidak hanya itu, uang yang "digandakan" pun tidak sedikit yang palsu, meski ada juga uang yang memang asli dan dipasang di bagian paling atas dan paling bawah dalam satu bendel agar terkesan asli.
     
Lagi, ia juga memanfaatkan tujuh "abah" (guru spiritual) yang merupakan rekaan. Ketujuh abah itu diringkus petugas dari beberapa rumah di Jakarta pada awal November 2016.
     
"Mereka sebenarnya orang biasa, bahkan ada yang kuli bangunan, tapi mereka direkrut untuk seolah-olah menjadi guru spiritual yang dihormati," kata Kasubdit Keamanan Negara Ditreskrimum Polda Jatim AKBP Cecep Ibrahim di Surabaya (7/11).
     
Penangkapan mereka merupakan hasil pendalaman dalam pemeriksaan Taat Pribadi hingga merujuk pada tersangka lain yakni Vijay.
     
Dalam setiap kegiatan, ternyata Taat Pribadi selalu menelepon Vijay, lalu Vijay menghubungi koordinator yang mencarikan abah itu, lalu abah yang disodorkan itu dipilih dan akhirnya koordinator itulah yang merekrut abah itu.
     
Tujuh abah yang dimaksud adalah Marno Sumarno alias Abah Cholil, Atjep alias Abah Kalijogo, Biwa Sutarno alias Abah Karno, Mujang alias Abah Nogosastro, Abdul Karim alias Abah Sulaiman Agung, Ratim alias Abah Abdul Rahman, dan Sadli. Mereka mengenakan jubah hitam yang juga disuruh tersangka.
     
"Peran mereka tergantung permintaan Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Kalau diminta duduk saja ya duduk, kalau diminta menghilang, ya menghilang," katanya.
     
Jadi, para abah itu hanya menerima perintah dan mengikuti saja perintah itu, lalu mereka akan mendapat imbalan Rp4-5 juta, bahkan ada yang diberi Rp20 juta dan "hadiah" umroh.
     
"Saya sendiri nggak tahu apa-apa, karena saya juga sekolah, saya hanya tahu duit. Selama lima bulan, saya sudah tiga kali dipanggil dan diberi amplop berisi uang jutaan," kata Pak Mujang alias Abah Nogosastro.
     
Ia mengaku hanya diberi tasbih dan disuruh duduk untuk menemani Dimas Kanjeng Taat Pribadi. "Saya hanya duduk saja sambil memelintir tasbih," ujarnya sambil mempraktekkan tugasnya.
     
Selain "abah" rekaan itu, Dimas Kanjeng juga memiliki 190 sultan (orang kepercayaan) yang membantu dalam berbagai kegiatan di padepokan, namun sebagian diantara mereka merupakan oknum TNI/Polri.
     
Masalahnya, "kepalsuan" itu tidak banyak diketahui oleh ribuan pengikut padepokan itu, kecuali segelintir orang yang memang dekat, namun mereka-mereka yang "tahu" itu dilarang komentar.
     
Nah, mereka yang ketahuan berkomentar yang mengesankan "bongkar rahasia" akan langsung dibunuh, namun berkat dua kasus pembunuhan itulah yang membuat polisi mempunyai alasan untuk menguak kasus Dimas Kanjeng itu.
     
Kedua korban pembunuhan adalah Abdul Gani dan Ismail Hidayat. Polda Jatim menangani kasus pembunuhan dengan korban Abdul Gani, sedangkan kasus pembunuhan dengan korban Ismail Hidayat ditangani Polres Probolinggo.
     
Ismail Hidayat dibunuh setahun sebelumnya, yakni 2 Februari 2015, sedangkan Abdul Gani dibunuh di Probolinggo pada 13 April 2016. Mayat Abdul Gani ditemukan pada 14 April 2016 di Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah.


Subur karena MVO
     
Selain keduanya, ada banyak orang yang tahu "kepalsuan" padepokan itu, namun mereka umumnya diam, karena tidak ingin mengalami nasib yang sama dengan Ismail Hidayat dan Abdul Gani.
     
"Saya sudah sepuluh tahun masuk padepokan itu dan posisi saya sudah dipercaya di kediaman Dimas Kanjeng Taat Pribadi, tapi karena di kediaman itulah saya menjadi tahu rekayasanya," ujar Su asal Ponorogo.
     
Bahkan, dirinya tidak berani keluar hingga sepuluh tahun, karena keluar dari padepokan itu bukan hal mudah, sebab banyak yang mematai-matai dan risikonya adalah nyawa.
     
"Kalau Bu Marwah (cendekian ICMI Prof Marwah Daud) mau terlibat dan membantu, karena dia memang tidak tahu sendiri tentang rekayasa Dimas Kanjeng, sedang saya justru tahu di depan mata setiap hari. Bisa jadi, dia juga kena sihir," katanya.
     
Akhirnya, Su bisa keluar dari padepokan itu pada tahun 2015, namun ia tidak berani pulang ke rumahnya, karena takut dicari "pengawal" Dimas Kanjeng, terutama "pengawal" yang disebut Sultan itu.
     
"Saya baru menampakkan diri setelah Dimas Kanjeng ditahan polisi, karena saya merasa aman dan mau diminta kesaksian oleh aparat kepolisian, karena dilindungi," ujar Su (17/10).
     
Apalagi, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga turun ke Mapolda Jawa Timur untuk melindungi 14 saksi dalam kasus pembunuhan dan penipuan di Padepokan Dimas Kanjeng itu, meliputi tangan kanan (orang kepercayaan) Taat Pribadi dan keluarganya, baik dari Jatim maupun Makassar.
     
Fenomena yang fantastik dari seorang Taat Pribadi (pimpinan Padepokan "Dimas Kanjeng" Probolinggo) itu juga disoroti psikolog Dr MG Bagus Ani Putra dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
     
Ahli psikologi sosial dari Unair Surabaya itu menilai kondisi masyarakat yang mengalami "materialistic value oriented" (MVO) atau menghargai materi secara berlebihan itulah yang menyuburkan fenomena Dimas Kanjeng.
     
"Itu sebenarnya bukan fenomena baru, namun MVO itu terjadi sejak era industrialisasi atau sekitar tahun 1970-an," ucap dosen Fakultas Psikologi Unair itu kepada Antara di Surabaya (9/10).
     
MVO (nilai-nilai materialistik) itu menggerus nilai-nilai sosial bangsa Indonesia, seperti gotong royong, sukarela (tanpa pamrih), dan "gugur gunung" (kerja bakti bersama).
     
Gantinya, nilai-nilai itu sudah menjadikan materi sebagai ukuran, karena itu fenomena Dimas Kanjeng pun terjadi terus-menerus, meski tidak pernah ada yang terbukti, seperti Uang Logam Bung Karno, Uang Brazil, Peti Nyai Roro Kidul, dan semacamnya.
     
Apalagi, Dimas Kanjeng Taat Pribadi itu menggunakan "mahar" yang sesungguhnya aneh dibandingkan dengan fenomena yang sama sebelumnya. Anehnya, belum pernah ada bukti dan memakai 'mahar' itu tetap saja membutakan masyarakat yang mengalami MVO.
     
Untuk "keluar" dari serangkaian "kebodohan" dengan fenomena MVO itu, Bagus yang pernah menjabat Kepala Humas Unair itu menawarkan solusi berupa masyarakat seharusnya memberikan "social punishment" (sanksi sosial), seperti dikucilkan.
     
"Bukan seperti sekarang yang justru dimaklumi, karena keberadaan Padepokan Dimas Kanjeng yang dimanfaatkan membuka kantin, lahan parkir, menjadi (oknum) petugas pengaman, dan sebagainya, sehingga Dimas Kanjeng merasa benar dan berterima oleh masyarakat," kilahnya.
     
Secara tidak sengaja, sikap berterima dari masyarakat itu justru menjadi legitimasi bagi Dimas Kanjeng, sehingga dia dapat memiliki tiga modal yakni informational power, media sosial, dan kredibilitas internal-eksternal.
     
Modal informational power atau kekuatan informasi adalah informasi yang beredar dari pengikut kepada masyarakat, seperti dia memiliki kehebatan ini-itu, lalu media sosial juga mempromosikan, seperti Youtube.
     
Modal lain, Dimas Kanjeng juga memiliki kredibilitas internal, seperti jubah, celak, berwajah Arab, dan sebagainya, lalu dia juga memiliki kredibilitas eksternal antara lain memajang foto bersama tokoh seperti Dahlan Iskan, Marwah Daud, Jokowi, dan sebagainya.
     
Ya, fenomena Dimas Kanjeng adalah fenomena kita, karena itu penegak hukum, tokoh masyarakat, dan masyarakat harus bersikap, bahkan pendidikan juga harus berbenah, seperti pendidikan agama tidak hanya mengajarkan agama secara normatif, tapi moralitas, seperti ahlak yang "rahmatan lil alamin". (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016