Tidak dipungkiri, bencana sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di era sekarang ini, mulai bencana banjir, tanah longsor, tak terkecuali bencana gempa seperti yang baru melanda Aceh.
Bagi sebagian masyarakat, bencana tetaplah bencana, sebab membawa penderitaan dengan hilangnya harta benda, bahkan hilangnya jiwa sanak saudara yang tertimpa bencana.
Akan tetapi menghadapi bencana dengan tangguh itulah yang harus menjadi bekal masyarakat, juga berbagai pihak lainnya termasuk Pemerintah.
Sebut saja bencana banjir luapan Bengawan Solo yang biasa melanda daerah hilir, Jawa Timur, juga banjir lainnya yang melanda berbagai daerah di Tanah Air, bukanlah kejadian bencana yang datang dengan tiba-tiba.
Dengan adanya berbagai disiplin ilmu yang ada kehadiran berbagai bencana termasuk banjir sudah bisa diperhitungkan secara matang, sehingga berbagai persiapan bisa dilakukan masyarakat juga Pemerintah.
Sebagaimana disampaikan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro Andik Sudjarwo bahwa curah hujan yang terjadi di berbagai daerah di Jawa Timur, juga daerah setempat selama November-Desember, ekstrem.
Curah hujan hujan ekstrem itu dengan mengacu prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Karangploso, Malang, bahwa curah hujan yang terjadi selama dua bulan itu berpotensi menimbulkan banjir juga tanah longsor.
Terbukti sungai terpanjang di Jawa itu, telah menimbulkan banjir di sepanjang daerah hilir, Jawa Timur, mulai Bojonegoro sampai Gresik, juga di Solo, Jawa Tengah.
Dengan demikian menghadapi bencana tidaklah harus kemudian menjadi meratap, apalagi kemudian masyarakat lainnya ikut-ikutan "mengamini" dengan membuka posko penggalangan dana di tepi jalan.
Mengantisipasi maraknya penggalangan dana di tepi jalan raya itu Bupati Bojonegoro Suyoto mengeluarkan larangan penggalangan dana dari masyarakat di tepi jalan raya dengan alasan mendorong tumbuhnya mental peminta.
"Kita harus melakukan revolusi mental dengan tidak menjadi peminta-minta," katanya menegaskan.
Akan tetapi datangnya bencana justru bisa menjadi berkah tersendiri, sebagaimana layaknya sebuah perubahan yang harus bisa diantisipasi menjadi kegiatan ekonomi masyarakat.
"Kalau tidak banjir justru di "arep-arep" (ditunggu-tunggu), sebab lumpur Bengawan Solo membawa kesuburan bagi pohon belimbing," kata Kepala Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro Moch. Syaifi.
Alhasil, objek wisata kebun belimbing yang memperoleh penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur, sebagai objek wisata buatan terbaik se-Jatim pada 2015 tetap melayani pengunjung."Pengunjungnya waktu banjir ribuan sampai lokasi kebun belimbing tidak muat, sebab pengunjung selain ingin memetik belimbing juga melihat banjir," ucap Syafii.
Di era dulu warga Rawa Jabung, Lamongan, yang menjadi langganan genangan banjir Bengawan Solo dengan jangka waktu bisa berbulan-bulan sebelum ada pengaman tanggul tidak mempermasalahkan banjir.
Begitu banjir datang pekerjaan masyarakat yang biasanya bertani beralih bekerja mencari ikan dan kehidupan sehari-harinya mereka dengan memanfaatkan transportasi perahu.
Bahkan, warga memiliki tempat tidur yang bisa naik turun menyesuaikan dengan tingginya genangan air, sekaligus memanfaatkan atap rumah menjadi dapur.
Bagi mereka banjir luapan Bengawan Solo hanyalah kejadian biasa yang harus dilewati tanpa harus "lebay" seolah-olah menjadi orang yang paling menderita.
Dalam hal ini Palang Merah Indonesia (PMI) Bojonegoro bekerja sama dengan Federtasi Palang Merah Internasional dengan perusahaan asuransi di Swis, memberi pelatihan warga terdampak banjir dalam menghadapi banjir.
Program menghadapi banjir berbasis masyarakat itu dikembangkan bagi wara Desa Tulungrejo, Trucuk, dan Sumbangtimun, Kecamatan Trucuk, Bojonegoro selama 2016.
"Tujuannya agar masyarakat bisa menghadapi bencana banjir secara mandiri, mulai menyiapkan lokasi pengungsian, juga berbagai keperluan lainnya termasuk kegiatan ekonomi tanpa harus mengantungkan pihak lain," ucap Sekretaris PMI Bojonegoro Sukoha Widodo. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
Bagi sebagian masyarakat, bencana tetaplah bencana, sebab membawa penderitaan dengan hilangnya harta benda, bahkan hilangnya jiwa sanak saudara yang tertimpa bencana.
Akan tetapi menghadapi bencana dengan tangguh itulah yang harus menjadi bekal masyarakat, juga berbagai pihak lainnya termasuk Pemerintah.
Sebut saja bencana banjir luapan Bengawan Solo yang biasa melanda daerah hilir, Jawa Timur, juga banjir lainnya yang melanda berbagai daerah di Tanah Air, bukanlah kejadian bencana yang datang dengan tiba-tiba.
Dengan adanya berbagai disiplin ilmu yang ada kehadiran berbagai bencana termasuk banjir sudah bisa diperhitungkan secara matang, sehingga berbagai persiapan bisa dilakukan masyarakat juga Pemerintah.
Sebagaimana disampaikan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro Andik Sudjarwo bahwa curah hujan yang terjadi di berbagai daerah di Jawa Timur, juga daerah setempat selama November-Desember, ekstrem.
Curah hujan hujan ekstrem itu dengan mengacu prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Karangploso, Malang, bahwa curah hujan yang terjadi selama dua bulan itu berpotensi menimbulkan banjir juga tanah longsor.
Terbukti sungai terpanjang di Jawa itu, telah menimbulkan banjir di sepanjang daerah hilir, Jawa Timur, mulai Bojonegoro sampai Gresik, juga di Solo, Jawa Tengah.
Dengan demikian menghadapi bencana tidaklah harus kemudian menjadi meratap, apalagi kemudian masyarakat lainnya ikut-ikutan "mengamini" dengan membuka posko penggalangan dana di tepi jalan.
Mengantisipasi maraknya penggalangan dana di tepi jalan raya itu Bupati Bojonegoro Suyoto mengeluarkan larangan penggalangan dana dari masyarakat di tepi jalan raya dengan alasan mendorong tumbuhnya mental peminta.
"Kita harus melakukan revolusi mental dengan tidak menjadi peminta-minta," katanya menegaskan.
Akan tetapi datangnya bencana justru bisa menjadi berkah tersendiri, sebagaimana layaknya sebuah perubahan yang harus bisa diantisipasi menjadi kegiatan ekonomi masyarakat.
"Kalau tidak banjir justru di "arep-arep" (ditunggu-tunggu), sebab lumpur Bengawan Solo membawa kesuburan bagi pohon belimbing," kata Kepala Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro Moch. Syaifi.
Alhasil, objek wisata kebun belimbing yang memperoleh penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur, sebagai objek wisata buatan terbaik se-Jatim pada 2015 tetap melayani pengunjung."Pengunjungnya waktu banjir ribuan sampai lokasi kebun belimbing tidak muat, sebab pengunjung selain ingin memetik belimbing juga melihat banjir," ucap Syafii.
Di era dulu warga Rawa Jabung, Lamongan, yang menjadi langganan genangan banjir Bengawan Solo dengan jangka waktu bisa berbulan-bulan sebelum ada pengaman tanggul tidak mempermasalahkan banjir.
Begitu banjir datang pekerjaan masyarakat yang biasanya bertani beralih bekerja mencari ikan dan kehidupan sehari-harinya mereka dengan memanfaatkan transportasi perahu.
Bahkan, warga memiliki tempat tidur yang bisa naik turun menyesuaikan dengan tingginya genangan air, sekaligus memanfaatkan atap rumah menjadi dapur.
Bagi mereka banjir luapan Bengawan Solo hanyalah kejadian biasa yang harus dilewati tanpa harus "lebay" seolah-olah menjadi orang yang paling menderita.
Dalam hal ini Palang Merah Indonesia (PMI) Bojonegoro bekerja sama dengan Federtasi Palang Merah Internasional dengan perusahaan asuransi di Swis, memberi pelatihan warga terdampak banjir dalam menghadapi banjir.
Program menghadapi banjir berbasis masyarakat itu dikembangkan bagi wara Desa Tulungrejo, Trucuk, dan Sumbangtimun, Kecamatan Trucuk, Bojonegoro selama 2016.
"Tujuannya agar masyarakat bisa menghadapi bencana banjir secara mandiri, mulai menyiapkan lokasi pengungsian, juga berbagai keperluan lainnya termasuk kegiatan ekonomi tanpa harus mengantungkan pihak lain," ucap Sekretaris PMI Bojonegoro Sukoha Widodo. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016