Tak perlu atasi persoalan dengan pedang. Cukup berbekal kemauan sekeras baja, otak setajam silet, dan wawasan mendalam tentang manusia membuat orang-orang yang meragukan kita malah akan sangat mungkin menjadi pengikut setia, bahkan pesaing akan menjadi sahabat, serta lawan menjadi kawan.
Begitulah menjadi "Samurai tanpa Pedang". Kita pun melihat sosok nyata itu ada pada diri Jenderal Polisi Tito Karnavian (Kapolri).
Meskipun tidak ditakdirkan sebagai keturunan orang besar bukan berarti tak mempunyai kualitas. "Soal kualitas hidup, kehidupan yang sulit dan tantangan antara tugas, kekuasaan dan kebijaksanaan, menjadi 'pendidikan karakter' terbaik bagi banyak orang," tukas Tito.
Pemimpin sejati tidak "text book thinking", tak main "backing", apalagi main banting. Tidak perlu, sebab banyak persoalan bisa diatasi karena kecermatan mengamati inti masalah dari kehidupan nyata dan fenomena secara langsung. Bukan dari teori-teori di dalam buku.
Nah, ini pemimpin bergaya pemikir kontekstual, pluralis. Kalau belajar memang harus membaca naskah, tapi kalau bertempur dan berkarya orang harus keluar dari naskah. Tito sudah "bertempur" yang membawa berkah.
Lingkungan kehidupan jadi sumber bacaan terlengkap. Kalaupun menemukan beberapa kebenaran tertulis, mestinya kita berupaya memahami dan mendeskripsikannya menjadi filosofi sendiri. Tito bersiteguh dalam filosofi Pancasila, Bhinneka tunggal Ika, dan utamakan Persatuan ketimbang Keunggulan.
Manusia sejati tak mengandalkan silsilah, jabatan, dan kekuasaan. Mereka yang mengandalkan hal-hal ini akan dikuasai pembisik dan orang lain. Manusia sejati berpegang teguh pada kebenaran, pertimbangan keadilan, keharmonisan, dan fleksibilitas dari kelenturan. Dia setia pada integritas dan kebenaran.
Karena, jika soal integritas bisa dikompromikan, kepentingan rakyat dan bangsa akan tergadai. Hati nurani tercederai. Pemimpin harus lebih banyak melihat, mendengar, dan merasakan, merenung, dan membenahi diri.
Pemimpin sejati tak menggunakan pedang untuk memenggal kepala lawan. Dia menggunakan isi kepalanya untuk menanggalkan pedang. Itulah salah satu filosofi penting zaman ini yang penuh makna. Sekali lagi, saya harus sebutkan namanya; Tito.
Samurai tanpa pedang, nampaknya ia memiliki tiga prinsip penting. Pertama, prajurit terbaik tidak pernah menyerang. Bukan manusia kalau tendensinya menyerang, menyakiti dan melukai orang lain.
Kedua, petarung terhebat berhasil tanpa kekerasan. Seperti air yg lunak dan lembut dia selalu memenangkan segalanya dan sampai ketujuannya; pembebasan di lautan lepas.
Ketiga, penakluk terbesar menang tanpa perang. Kemenangan tanpa mengalahkan.
Sesuai dengan program "Promoter" (profesional, modern, dan terpercaya), Polri menunjukan arah pendekatan yang humanis dan dialogis dalam bahasa sederhana lebih pada silaturrahim dengan elemen masyarakat.
Polri telah menunjukan profesionalitasnya, mendorong peran masyarakat turut serta menjaga keamanan lingkungan, ketertiban umum dan menjadikan masyarakat sebagai pilar keamanan dan ketertiban umum (polmas)
Berkat "samurai tanpa pedang" itu pula, aksi massa Islam pada 411 dan 212 dapat berlangsung dengan damai dan superdamai secara nyata (fakta), bahkan dunia terbelalak melihat wajah demokrasi di Indonesia dengan perangkat keamanan yang menyatu dengan rakyat.
Bagaimana tidak, umat Islam yang dimata dunia dianggap radikal, kini opini dan praduga tersebut tidak berlaku untuk umat Islam Indonesia dengan bimbingan ulama Nusantara yang mencintai NKRI.
"Saya menduga 212 dihadiri kalangan malaikat. Buktinya, minta teduh diberi teduh, minta hujan diberi hujan, tujuh juta lebih kumpul dan bubar tanpa musibah, jam 4 sore Monas dan sekitarnya bersih kembali seperti semula. Peristiwa Badar QS Al Anfal 9 terjadi lagi di Monas," kata mantan Ketua Umum PBNU yang juga Watimpres KHA Hasyim Muzadi (Malang, 3/12/2016).
Ini pertanda masyarakat Indonesia semakin dewasa, matang dan cerdas dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Democratic Policing
Pada abad IV SM, Plato sudah memberikan analisis sistematis dan mendalam mengenai demokrasi serta memberikan definisi bahwa demokratis artinya tiap orang bebas menentukan dirinya sendiri. Tidak ada orang lain yang berhak menyuruh kita hidup dengan cara tertentu. Tiap orang bebas berpendapat, dan tiap orang berhak menjalankan hidup yang ia ingini(Politeia 557-b).
Pada institusi otoritas pengendali keamanan, "democratic policing" bukan sekadar kebutuhan sosiologis-politis, tetapi legitimasi tindakan otoritas keamanan itu atas moral (moral dalam tata sosial/ social order).
Situasi ini menghadirkan kesadaran politik kelompok masyarakat sipil untuk menempatkan Polri sebagai institusi negara yang harus bekerja secara profesional.
Salah satu prioritas utama dari tuntutan publik di masa reformasi adalah pemisahan fungsi Polri dari ABRI/TNI melalui pembatasan jelas berdasarkan mandat profesionalisme kerja pertahanan dan keamanan nasional. Tuntutan reformasi total tersebut mensyaratkan perubahan di tingkat sistem, struktur dan kultur institusi Polri.
Tantangan bagi polisi dalam melakukan upaya paksa penegakan hukum pada saat melakukan penangkapan, penahanan, pemeriksaan sesuai dengan aturan yang ada. Tidak boleh melakukan penyiksaan, harus menghormati hak-hak hukum, tidak manipulasi dan tidak ada extra judicial killings. Reformasi Polri yang ideal harus mengacu pada tiga orientasi utama, yaitu prinsip demokrasi, rule of law, dan hak asasi manusia.
Prinsip democratic oversight menegaskan bahwa dalam menjalankan peran dan fungsinya, polisi harus menjunjung tinggi prinsip transparansi, akuntabilitas, responsif, kontrol institusi demokratik yang merupakan representasi kepentingan publik, dan membuka partisipasi masyarakat luas.
Dalam konteks democratic policing paling tidak terdiri dari enam pilar yang saling bergantung, yaitu; kontrol internal institusi keamanan (kepolisian) bersangkutan, kontrol pemerintah/eksekutif, pengawasan parlemen, judicial review, dan pengawasan masyarakat sipil (civil society oversight).
Democratic policing ini mengandaikan adanya suatu sistem akuntabilitas polisi berlapis dengan melibatkan aktor-aktor yang beragam (eksekutif, legislatif, yudikatif, komisi-komisi formal independen, media, dan organisasi masyarakat sipil lainnya) sebagai komplemen dari mekanisme internal kepolisian.
Polisi di negara manapun selalu menghadapi dan menagani permasalahan sosial dengan kewenangan dan pengabdiannya. Selain ancaman dan tekanan yang didapat serta dihadapi, juga dapat menjadi pengawal bagi proses demokrasi dan demokratisasi. Polisi mengancam karena kewenangannya, ia dapat melakukan kekerasan dan pemaksaan atas nama negara
Ideal Polri dalam Demokrasi dapat mengacu dari konsepsi Travis (1998) mengenai Prinsip-Prinsip Pemolisian Demokratis dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Polisi harus bekerja sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu profesional, memahami standar Hak Asasi Manusia, dan bertindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
b. Polisi selaku pemegang amanat masyarakat, hendaknya segala perbuatannya harus profesional, mengacu pada hukum, dan menjunjung nilai-nilai etika dan norma yang berlaku di masyarakat maupun kelembagaan.
c. Polisi harus mempunyai prioritas utama dalam mengamankan dan melindungi kehidupan masyarakat.
d. Polisi senantiasa melayani masyarakat tanpa pamrih dan bertanggung jawab pada masyarakat.
e. Bahwa perlindungan yang diberikan polisi terhadap nyawa dan harta benda adalah fungsi primer dari operasi polisi yang lain.
f. Tindak tanduk polisi harus sesuai dengan martabat manusia serta Hak Asasi Manusia.
g. Dalam pelaksanaan tugasnya polisi hendaknya bersikap netral dan tidak ada sikap diskriminatif.
Dalam upaya terwujudnya democratic policing, sangat bersisian dengan paradigma baru pemolisian di Indonesia, community policing (Polmas), Sabhara Perintis dalam penanganan massa demo, proses penyidikan oleh Reserse, maupun penanganan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 AT. (*)
-------------
*) Penulis adalah Ketua Rumah Keamanan Nasional (Kamnas).
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
Begitulah menjadi "Samurai tanpa Pedang". Kita pun melihat sosok nyata itu ada pada diri Jenderal Polisi Tito Karnavian (Kapolri).
Meskipun tidak ditakdirkan sebagai keturunan orang besar bukan berarti tak mempunyai kualitas. "Soal kualitas hidup, kehidupan yang sulit dan tantangan antara tugas, kekuasaan dan kebijaksanaan, menjadi 'pendidikan karakter' terbaik bagi banyak orang," tukas Tito.
Pemimpin sejati tidak "text book thinking", tak main "backing", apalagi main banting. Tidak perlu, sebab banyak persoalan bisa diatasi karena kecermatan mengamati inti masalah dari kehidupan nyata dan fenomena secara langsung. Bukan dari teori-teori di dalam buku.
Nah, ini pemimpin bergaya pemikir kontekstual, pluralis. Kalau belajar memang harus membaca naskah, tapi kalau bertempur dan berkarya orang harus keluar dari naskah. Tito sudah "bertempur" yang membawa berkah.
Lingkungan kehidupan jadi sumber bacaan terlengkap. Kalaupun menemukan beberapa kebenaran tertulis, mestinya kita berupaya memahami dan mendeskripsikannya menjadi filosofi sendiri. Tito bersiteguh dalam filosofi Pancasila, Bhinneka tunggal Ika, dan utamakan Persatuan ketimbang Keunggulan.
Manusia sejati tak mengandalkan silsilah, jabatan, dan kekuasaan. Mereka yang mengandalkan hal-hal ini akan dikuasai pembisik dan orang lain. Manusia sejati berpegang teguh pada kebenaran, pertimbangan keadilan, keharmonisan, dan fleksibilitas dari kelenturan. Dia setia pada integritas dan kebenaran.
Karena, jika soal integritas bisa dikompromikan, kepentingan rakyat dan bangsa akan tergadai. Hati nurani tercederai. Pemimpin harus lebih banyak melihat, mendengar, dan merasakan, merenung, dan membenahi diri.
Pemimpin sejati tak menggunakan pedang untuk memenggal kepala lawan. Dia menggunakan isi kepalanya untuk menanggalkan pedang. Itulah salah satu filosofi penting zaman ini yang penuh makna. Sekali lagi, saya harus sebutkan namanya; Tito.
Samurai tanpa pedang, nampaknya ia memiliki tiga prinsip penting. Pertama, prajurit terbaik tidak pernah menyerang. Bukan manusia kalau tendensinya menyerang, menyakiti dan melukai orang lain.
Kedua, petarung terhebat berhasil tanpa kekerasan. Seperti air yg lunak dan lembut dia selalu memenangkan segalanya dan sampai ketujuannya; pembebasan di lautan lepas.
Ketiga, penakluk terbesar menang tanpa perang. Kemenangan tanpa mengalahkan.
Sesuai dengan program "Promoter" (profesional, modern, dan terpercaya), Polri menunjukan arah pendekatan yang humanis dan dialogis dalam bahasa sederhana lebih pada silaturrahim dengan elemen masyarakat.
Polri telah menunjukan profesionalitasnya, mendorong peran masyarakat turut serta menjaga keamanan lingkungan, ketertiban umum dan menjadikan masyarakat sebagai pilar keamanan dan ketertiban umum (polmas)
Berkat "samurai tanpa pedang" itu pula, aksi massa Islam pada 411 dan 212 dapat berlangsung dengan damai dan superdamai secara nyata (fakta), bahkan dunia terbelalak melihat wajah demokrasi di Indonesia dengan perangkat keamanan yang menyatu dengan rakyat.
Bagaimana tidak, umat Islam yang dimata dunia dianggap radikal, kini opini dan praduga tersebut tidak berlaku untuk umat Islam Indonesia dengan bimbingan ulama Nusantara yang mencintai NKRI.
"Saya menduga 212 dihadiri kalangan malaikat. Buktinya, minta teduh diberi teduh, minta hujan diberi hujan, tujuh juta lebih kumpul dan bubar tanpa musibah, jam 4 sore Monas dan sekitarnya bersih kembali seperti semula. Peristiwa Badar QS Al Anfal 9 terjadi lagi di Monas," kata mantan Ketua Umum PBNU yang juga Watimpres KHA Hasyim Muzadi (Malang, 3/12/2016).
Ini pertanda masyarakat Indonesia semakin dewasa, matang dan cerdas dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Democratic Policing
Pada abad IV SM, Plato sudah memberikan analisis sistematis dan mendalam mengenai demokrasi serta memberikan definisi bahwa demokratis artinya tiap orang bebas menentukan dirinya sendiri. Tidak ada orang lain yang berhak menyuruh kita hidup dengan cara tertentu. Tiap orang bebas berpendapat, dan tiap orang berhak menjalankan hidup yang ia ingini(Politeia 557-b).
Pada institusi otoritas pengendali keamanan, "democratic policing" bukan sekadar kebutuhan sosiologis-politis, tetapi legitimasi tindakan otoritas keamanan itu atas moral (moral dalam tata sosial/ social order).
Situasi ini menghadirkan kesadaran politik kelompok masyarakat sipil untuk menempatkan Polri sebagai institusi negara yang harus bekerja secara profesional.
Salah satu prioritas utama dari tuntutan publik di masa reformasi adalah pemisahan fungsi Polri dari ABRI/TNI melalui pembatasan jelas berdasarkan mandat profesionalisme kerja pertahanan dan keamanan nasional. Tuntutan reformasi total tersebut mensyaratkan perubahan di tingkat sistem, struktur dan kultur institusi Polri.
Tantangan bagi polisi dalam melakukan upaya paksa penegakan hukum pada saat melakukan penangkapan, penahanan, pemeriksaan sesuai dengan aturan yang ada. Tidak boleh melakukan penyiksaan, harus menghormati hak-hak hukum, tidak manipulasi dan tidak ada extra judicial killings. Reformasi Polri yang ideal harus mengacu pada tiga orientasi utama, yaitu prinsip demokrasi, rule of law, dan hak asasi manusia.
Prinsip democratic oversight menegaskan bahwa dalam menjalankan peran dan fungsinya, polisi harus menjunjung tinggi prinsip transparansi, akuntabilitas, responsif, kontrol institusi demokratik yang merupakan representasi kepentingan publik, dan membuka partisipasi masyarakat luas.
Dalam konteks democratic policing paling tidak terdiri dari enam pilar yang saling bergantung, yaitu; kontrol internal institusi keamanan (kepolisian) bersangkutan, kontrol pemerintah/eksekutif, pengawasan parlemen, judicial review, dan pengawasan masyarakat sipil (civil society oversight).
Democratic policing ini mengandaikan adanya suatu sistem akuntabilitas polisi berlapis dengan melibatkan aktor-aktor yang beragam (eksekutif, legislatif, yudikatif, komisi-komisi formal independen, media, dan organisasi masyarakat sipil lainnya) sebagai komplemen dari mekanisme internal kepolisian.
Polisi di negara manapun selalu menghadapi dan menagani permasalahan sosial dengan kewenangan dan pengabdiannya. Selain ancaman dan tekanan yang didapat serta dihadapi, juga dapat menjadi pengawal bagi proses demokrasi dan demokratisasi. Polisi mengancam karena kewenangannya, ia dapat melakukan kekerasan dan pemaksaan atas nama negara
Ideal Polri dalam Demokrasi dapat mengacu dari konsepsi Travis (1998) mengenai Prinsip-Prinsip Pemolisian Demokratis dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Polisi harus bekerja sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu profesional, memahami standar Hak Asasi Manusia, dan bertindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
b. Polisi selaku pemegang amanat masyarakat, hendaknya segala perbuatannya harus profesional, mengacu pada hukum, dan menjunjung nilai-nilai etika dan norma yang berlaku di masyarakat maupun kelembagaan.
c. Polisi harus mempunyai prioritas utama dalam mengamankan dan melindungi kehidupan masyarakat.
d. Polisi senantiasa melayani masyarakat tanpa pamrih dan bertanggung jawab pada masyarakat.
e. Bahwa perlindungan yang diberikan polisi terhadap nyawa dan harta benda adalah fungsi primer dari operasi polisi yang lain.
f. Tindak tanduk polisi harus sesuai dengan martabat manusia serta Hak Asasi Manusia.
g. Dalam pelaksanaan tugasnya polisi hendaknya bersikap netral dan tidak ada sikap diskriminatif.
Dalam upaya terwujudnya democratic policing, sangat bersisian dengan paradigma baru pemolisian di Indonesia, community policing (Polmas), Sabhara Perintis dalam penanganan massa demo, proses penyidikan oleh Reserse, maupun penanganan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 AT. (*)
-------------
*) Penulis adalah Ketua Rumah Keamanan Nasional (Kamnas).
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016