Oleh : Tomy Michael, SH*

     Setelah keputusan Mabes Polri menetapkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama, maka ada dua pertanyaan yang muncul. Benarkah ia disangka karena eksistensi hukum betul-betul adil?” dan “benarkah ia disangka karena unsur politik?”. Mengutip pemikiran Roberto M Unger, semakin sedikit pembedaan yang dibuat hukum di antara kategori-kategori orang atau perilaku maka semakin besar respek yang ditunjukkan kepada ideal kesetaraan nilai.

     Apakah ketika Ahok menjadi tersangka akan memunculkan peluang presiden memberhentikannya ataukah ini awal mula menuju sistem hukum yang lebih baik? Sepertinya hanya Hermes yang mampu menafsirkannya. Di dalam tataran ilmu hukum, jika Ahok dipaksa mundur dari pencalonan gubernur DKI Jakarta maka akan terganjal dengan Pasal 191 UU No 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi UU dan Pasal 7 UU No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU.

     Dengan segala konsekuensi hukum tersebut maka sangat kecil bagi Ahok untuk mengundurkan diri kecuali dikenai ancaman lima tahun dan telah berkekuatan hukum tetap. Cara bijaksana menanggapi kasus Ahok yaitu dengan melepaskan diri dari unsur politik agar tercipta keadilan hukum. 

     Mengacu pemikiran Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau, negara sebagai penerima alienasi dari masyarakat (warga negara) harus mampu melaksanakan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam konsep negara hukum, pilihan penyelesaian melalui demonstrasi seperti yang dilakukan pada 4 November 2016 lalu bukanlah pilihan yang tepat. 

     Demonstrasi yang berujung pada sikap anarkis menunjukkan bahwa ada ketidakmauan untuk mentaati hukum dan ketidakmampuan berpikir secara rasional. Wajar bila akhirnya, Presiden Jokowi melakukan konsolidasi dengan tentara untuk mengantisipasi tindakan-tindakan yang inkonstitusional. Sebab, jika presiden diberhentikan dengan cara-cara kekerasan seperti tindakan revolusioner maka Negara pasti akan mengalami kehancuran. Pada akhirnya negara akan dipimpin oleh orang-orang yang cenderung memaksakan kehendaknya dan saya percaya demokrasi pasti tergantikan dengan despotisme serta tirani. Itulah yang diajarkan dalam siklus Polybius. 

     Sepertinya penyelesaian yang tepat adalah menjauhkan doktrin bahwa demonstrasi dapat mengubah segalanya. Langkah lainnya adalah menormagakan secara jelas agama apa yang dianut secara resmi di Indonesia dan mengapa agama tradisional atau aliran kepercayaan tradisional khas Indonesia malah ditiadakan termasuk penyelesaian pendukung apabila terjadi kasus-kasus demikian di provinsi lainnya. Menormakan ini penting untuk mencegah kegiatan subversif walaupun penormaan ini bertentangan dengan hakikat Pancasila “untuk semua tanpa kecuali”.

     Untuk itu, harus ada batasan yang tepat tentang apakah penistaan agama itu. Hal ini sangat penting agar tidak ada kegiatan menafsirkan atau interpretasi terhadap siapapun tanpa tanggung jawab. Penegakan hukum di Indonesia bukan karena tekanan orang atau kelompok-kelompok tertentu apalagi karena norma sinderesis dalam pikiran kita masing-masing. Bagi saya, penistaan agama tidak tepat dinormakan karena ia termasuk norma sinderesis, norma yang terlihat halus tetapi sebetulnya sangat berbahaya jika tidak ditafsirkan dengan bijaksana. (*)


______
Penulis adalah Dosen Faklutas Hukum Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya





Pewarta: Oleh : Tomy Michael, SH*

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016