"Kekuatan cinta dan perhatian dapat mengubah dunia," demikian pernyatan James Autry, yang sejatinya mengingatkan setiap elemen bangsa ini, khususnya kalangan orang pintar di dunia hukum untuk menjalani hidup dan profesinya berlandaskan cinta.

Karut marutnya dunia hukum atau mudahnya seseorang atau sekelompok orang terjerumus dalam cara-cara inkonstitusional dalam mempermasalahkan dan memperjuangkan berbagai jenis penyakit yang menyerang dunia hukum, adalah akibat krisis cinta di dalam dirinya.

Situasi inilah yang sedang terjadi dalam bangsa ini. Sejumlah kelompok yang tidak sabar atas proses hukum berusaha melakukan berbagai langkah untuk menekan prosedur hukum agar berjalan sesuai cara yang tidak prosedural. Tentu saja, apabila cara ini dipertahankan, bisa mengarah pada tindakan-tindakan yang inkonstitusional.

Filosof kenamaan Socrates yang ditahan oleh pejabat polisi dengan tuduhan melakukan suatu pelanggaran hukum memberikan suatu contoh sikap dan perilaku bagaimana hukum itu dihormati. Meskipun bukan dia pelakunya, dan sudah menyatakan berulangkali membantah, namun ia tetap menerima keadaan dirinya yang ditahan.

Lalu datanglah seseorang bernama Creto, yang tidaklain adalah muridnya (Aristoteles)  dan sudah menjadi pengusaha sukses datang mengunjunginya (Socrates). Maksud kunjungannya adalah membebaskan Socrates, karena Creto kasihan melihat gurunya dan meyakini kalau gurunya memang tidak mungkin bersalah.  Maukah Socrates menerima "jasa baik" muridnya ini? Atau, maukah Socrates menempuh jalan inkonsttusional yang akan ditempuh muridnya.

Bisa diduga jawabannya, bahwa Socrates menolaknya sambil berkata dengan santun: "Aku memang tidak bersalah, tetapi cara salah tidaklah benar jika digunakan untuk memperjuangkan tegaknya kebenaran dan keadilan hukum. Apa jadinya masyarakat jika mengetahui aku dibebaskan dari jeratan hukum dengan cara mengkhianati hukum. Kelak masyarakat akan meniru caraku, bukan untuk memperjuangkan kebenaran hukum saja, tetapi juga untuk melecehkan hukum".
 
Jawaban Socrates itu seharusnya bisa terbaca dengan kebeningan nalar, bahwa pilihan (jalan) inkonstitusional atau di luar hukum tidak sepatutnya digunakan untuk mengelabuhi atau mengamputasi kinerja elemen sistem hukum. Sistem yuridis harus tetap terjaga marwahnya dari tangan-tangan kotor, baik kotornya karena menyuap petugas maupun karena melakukan aksi-aksi  yang berpola inkonstitusionalitas.

Setiap guru, yang ingin menjadi "guru bangsa" bagi bangsa ini, maka selayaknya bisa menjadi Socrates, yakni berani memerankan dirinya sebagai pendidik yang tidak segan-segan mengingatkan setiap elemen bangsa atau muridnya yang bermaksud mengajak melakukan penodaan norma konstitusi. Ajakan guru seperti itu merupakan wujud rasa cinta guru terhadap kemuliaan hukum sebagai pengatur dan penentu arah kiblat masyarakat dalam kehidupannya.

Dalam perspektif sang guru ini, masyarakat tidak boleh kehilangan arah dalam menjalani kehidupannya. Masyarakat harus mempunyai payung yang kuat, tidak bocor sana-sini supaya hak asasinya terlindungi.

Kalau masyarakat tidak terdidik mencintai hukum, ditakutkan dalam dirinya dominan terbentuk hasrat kuat melecehkan atau mempermainkan hukum, sehingga kehadiran aparat penegak hukum  cenderung menjadi objek yang dimusuhi dan dibenci secara berkelanjutan.

Jika ada elemen penegak hukum yang dinilai tidak mencintai hukum, hendaknya jangan dibalas dengan sama-sama memusuhi norma yuridis, tetapi harus diingatkan dan "dikunjungi" secara santun ke institusinya untuk menyampaikan kritik tentang masalah krisis cinta di kalangan aparat itu.

Beragam penyakit (krisis cinta) yang menimpa dunia hukum tidak akan bisa disembuhkan dengan menggelar sikap dan perilaku inkonstitusionalitas. Menggelar sikap dan perilaku demikian hanya akan semakin menumbuhkembangkan sikap dan perilaku inkonstitusionalitas dengan segala ragamnya.

Dalam kondisi seringnya hukum dilecehkan oleh proses-proses diluar hukum justru ini menjadi tantangan bagi setiap elemen bangsa untuk semakin giat menggalang aksi-aksi bertajukkan cinta hukum dalam kondisi apapun dan menghadapi siapapun sebagai realisasi bahwa hukum adalah panglima.

Sepanjang dalam dirinya bisa menampilkan dan mengembangkan cahaya cinta, tidak ada yang namanya aksi "peradilan tanpa pengadilan (justice without trial) atau praktik-praktik main hakim sendiri (eigenrichting), sebab meski dalam dirinya punya semangat dan komitmen untuk mengedepankan supremasi yuridis daripada supremasi subjektifitas dan memenuhi egoisme beberapa gelintir orang.

Kalau dalam diri kita mengidap krisis cinta, maka bukan hanya atmosfir perubahan berorientasi menyejahterakan dan mencerahkan rakyat yang tidak bisa diwujudkan, tetapi berbagai bentuk petaka bisa diproduksinya, sehingga mengakibatkan kesengsaraan rakyat dan menghancurkan terwujudnya cita-cita keadilan.

Supaya tidak mengidap krisis cinta terhadap konstitusi, maka setiap elemen bangsa ini harus dididik dengan tema membumikan pendidikan cinta hukum atau konstitusi. Mereka harus terus menerus memasuki dunia pendidikan yang mengarahkannya supaya menjadi pecinta sejati.

Setiap elemen bangsa ini bisa peserta didik di sekolah, mahasiswa di kampus, komunitas dosen, komunitas agama, komunitas politisi, eksekutif, dan kalangan aparat penegak hukum, serta pihak-pihak lainnya.

Para pendidiknya bisa berasal dari pimpinan partai, guru, dosen, dan para pimpinan unit kelembagaan di bidang hukum untuk mentransformasikan urgensinya ilmu pengetahuan hukum atau  mengampanyekan kepada kalangan pembelajar tentang pentingnya hukum sebagai kekuatan untuk mengatur, menentramkan kehidupan masyarakat, atau membuat masyarakat bisa dijauhkan dari tangan-tangan yang berusaha mendestruksi kehidupannya.

Mereka itu wajib mendidik anak-anak atau elemen keluarga di rumah hingga siapapun elemen bangsa untuk mencintai hukum. Hukum yang dicintai adalah norma yuridis yang dijadikan pedoman atau panduan berucap, bersikap, dan berperilaku. Norma ini ditegakkan untuk menyelesaikan sengketa, konflik, friksi, atau kasus-kasus yang terjadi di tengah masyarakat.

Sebagai bukti cinta hukum, mereka itu berkewajiban mengajak setiap elemen bangsa, elemen keluarga, elemen institusi, atau setiap elemen masyarakat untuk menjadikan "rule of game" sebagai norma yang ditaati, dijaga, dan dibela, bukannya dilecehkan.

Memang tidak sedikit diantara elemen bangsa yang tidak sabar menyaksikan proses yuridis yang terkadang lambat, atau terkadang terkesan mempermainkan, tidak objektif, tidak memperlakukan para tersangka dalam ranah kesederajatan, dan lain sebagainya, namun demikian tidak lantas kondisi yang "menjengkelkan" atau membuat "darah mendidih" ini dibalas atau direaksi secara radikal dengan cara-cara yang berlawanan dengan hukum atau berpola inkonstitusionalitas. (*)

----------
*) Penulis adalah Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya. Penulis juga merupakan adik dari mantan Ketua MK Prof Mahfud MD.

Pewarta: Oleh Dr Siti Marwiyah SH MH *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016