Surabaya (Antara Jatim) - Puluhan wanita terlihat duduk bergerombol di salah satu sudut  gedung Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) di Keputih, Kota Surabaya, Jatim. 
     
Jari-jemari mereka sibuk merangkai beragam kerajinan tangan seperti keset, taplak meja, vas bunga, bros, dan sebagainya. Melihat betapa cantik karya-karya itu, tiada yang menyangka kalau pembuatnya adalah para mantan penderita psikotik. 
     
Memang, kumpulan wanita pembuat kerajinan tangan tersebut belum sepenuhnya sembuh. Mereka masih dalam tahap penyembuhan dari gangguan kejiwaan. 
     
Selama menjalani masa pemulihan, para peserta pelatihan dibimbing oleh pasangan pasutri Supadi dan Wiwit Manfaati. Supadi mengatakan, pelatihan kerajinan tangan bagi para penghuni UPTD Liponsos Keputih ini pertama kali digagas pada 2012. 
     
 Mereka yang diperbolehkan mengikuti pelatihan ini adalah penghuni dengan kondisi kejiwaan stabil. "Minimal bisa diajak bicara dan nyambung," ujar Supadi.
      
Meski demikian, menjadi instruktur pelatihan kerajinan tangan di liponsos bukan perkara mudah. Supadi dan istrinya sudah sering menjumpai penghuni yang sesekali kambuh. Kondisi tersebut dihadapi Supadi dan Wiwit dengan sabar dan telaten. 
     
 "Kalau sudah begitu (kambuh), ya kami sarankan untuk berhenti dulu dan kembali ke ruangan mereka," ujarnya.
     
Seiring berjalannya waktu, aktivitas pelatihan sudah mulai mapan. Produk-produk yang dihasilkan sudah layak dijual di sejumlah sentra PKL milik pemkot. Di samping itu, hasil karya penghuni liponsos juga acap kali dibeli oleh tamu-tamu yang berkunjung ke sana. 
     
 Saat ini, omset yang dihasilkan dari penjualan kerajinan tangan sebesar Rp24,4 juta. Uang itu dipakai untuk rekreasi dan makan bersama para peserta pelatihan. "Mereka kalau diajak jalan-jalan seneng mas," kata Wiwit.

Pelayanan Manusiawi

Kepala UPTD Liponsos Keputih, Erni Lutfiyah mengatakan, saat ini Liponsos Keputih dihuni oleh 1.549 orang. Rinciannya, 1.316 penderita psikotik, 211 gelandangan/pengemis (gepeng), 8 anak jalanan, 12 wanita harapan dan 2 waria. Para penghuni liponsos ditampung di lima bangunan yang disesuaikan dengan klasifikasi masing-masing.
     
Untuk melayani ribuan penghuni, UPTD Liponsos Keputih mempekerjakan 55 orang, antara lain 5 juru masak, 22 tenaga keamanan, 8 petugas kebersihan, 6 petugas administrasi dan 14 tenaga pendamping. 
     
Menurut Erni, jumlah pegawai ini tentu belum proporsional jika dibanding dengan jumlah penghuni. Idealnya, lanjut dia, 1 tenaga pendamping meng-handle  10 penghuni.
     
Namun demikian, UPTD Liponsos Keputih tetap mengupayakan pelayanan yang manusiawi kepada seluruh penghuni di Liponsos Surabaya. Dari segi makanan, kualitasnya sudah memenuhi standar atau sudah sangat baik. 
      
 Untuk satu hari makan satu orang jatahnya sesuai takaran 0,4 beras dan lauknya Rp 13 ribu untuk tiga kali makan. "Kita saja mungkin tidak sebaik ini. Untuk lauk saja pagi biasanya telor ceplok, tempe, ati dan udang. Semua disiapkan oleh lima juru masak tiap hari," katanya.
     
 Lebih detail, Erni menjelaskan saat ini penghuni Liponsos Keputih berjumlah 1.549 orang dengan daya tampung hanya 1.000 orang saja. Dengan jumlah itu, anggaran yang untuk lauk dan prasarana saja mencapao Rp800 juta.
     
 "Jumlah anggaran itu belum termasuk beras. Untuk pengadaan ligistiknya semuanya melalui lelang resmi," kata perempuan berjilbab ini.
     
 Tak hanya itu, Erni juga menyampaikan selain pelayanan makanan, beberapa petugas yang secara spesifik mampu menangani klien (penghuni Liponsos) terutama pasien psikotik (gangguan jiwa) juga melayani dengan baik.
     
 Sebut saja untuk pendampingan penghuni gangguan psikotik, petugas dengan telaten memberikan pelayanan mulai memandikan, memotong rambut, memotong kuku, memberikan makanan hingga mengantar ke rumah sakit.
     
 "Ini pekerjaan yang tidak biasa dan harus bekerja dengan hati. Kita hanya memiliki petugas pendamping hanya 14 orang untuk semua penghuni. Memang kalau bicara soal jumlah ideal ya gimana tapi harus dimaksimalkan," katanya.
     
 Namun, pihaknya mengaku sangat terbantu dengan beberapa penghuni yang sudah bisa beraktifitas dengan normal. Beberapa diantaranya terlihat banyak membantu meringankan tugas bahkan mampu membuat kerajinan yang punya nilai jual.
      
 Selain itu, lanjut dia, dari sisi kesehatan, para penderita psikotik secara rutin dirujuk ke RSJ Menur. Dengan pemberian obat dan penanganan yang tepat, penderita gangguan jiwa diharapkan bisa berangsur pulih.
       
Erni tak menampik kalau mayoritas penghuni liponsos berasal dari luar Surabaya. Namun, atas nama kemanusiaan, pemkot tak bisa serta-merta acuh terhadap mereka yang bukan dari Surabaya. 
     
 Oleh karenanya, Pemkot Suraya tetap berkomitmen merawat mereka. Dalam rangka pengurangan kepadatan di dalam Liponsos, pemkot bekerja sama dengan Pemprov Jatim secara berkala memulangkan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang sudah mendapat pembinaan ke daerah asal.
     
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Surabaya, Supomo menambahkan, pemkot selama ini sudah berusaha yang terbaik memberikan pelayanan kepada para penghuni liponsos. 
     
Untuk itu, dia juga berharap publik dapat melihat pelayanan ini secara lengkap karena masyarakat beberapa kali melihat hanya dari satu sudut pandang. Mantan Camat Kenjeran itu lantas mencontohkan, saat diberi makanan, penderita gangguan jiwa membuang makanan ke sampah. Namun, penderita tersebut mengambil lagi makanan itu. 
     
 "Kalau yang diketahui hanya sebagian maka hal itu bisa ditangkap berbeda kesannya," katanya.
     
Begitu juga peristiwa yang yang terjadi di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Kota Surabaya saat mendapat bantuan dari Yayasan Tulang Rusuk, Sabtu (22/10) lalu. Dimana  sejumlah penderita gangguan mental tanpa pakaian alias telanjang itu melemparkan-lemparkan baju di tengah guyuran hujan. 
      
Sementara itu, salah satu anggota yayasan memotret situasi tersebut dengan maksud melaporkan ke anggota Yayasan Tulang Rusuk lainnya kalau kegiatan mereka sukses. 
Anggota yayasan itu kemudian mengunggah foto para orang gila telanjang hasil jepretannya itu ke grup media sosial tanpa sadar dampaknya. 
     
 "Apalagi fotonya tak ada keterangan. Maksudnya baik, untuk melaporkan kegiatan bakti sosialnya di Liponsos. Kemudian foto ini disebar masing-masing anggota grup medsos, sehingga bikin heboh di dunia maya," ujarnya.
     
 Sementara itu, Kabag Humas Pemkot Surabaya, M Fikser, memastikan bahwa anggota yayasan pemberi bantuan itu telah meminta maaf atas tindakannya. "Tapi orangnya sudah minta maaf. Tidak ada unsur kesengajaan. Jadi ini memang orang-orang gila. Yang dilakukan itu ya wajar. Di saat hujan, kayak anak kecil mainan hujan-hujanan, copot semua baju, dilempar-lemparkan gitu," kata Fikser.
     
Meski demikian, M. Fikser  menyampaikan pesan bahwa seluruh penghuni liponsos diperlakukan secara manusiawi, mulai dari pelaksanaan operasi oleh Satpol PP hingga perawatan di liponsos. 
     
 "Kebersihan, kesehatan dan pola makan para penghuni mendapat perhatian penuh dari pemkot. Pada intinya, kami mengupayakan yang terbaik bagi mereka," katanya. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016