Surabaya (Antara Jatim) - Komisi D Bidang Kesra  DPRD Surabaya mengimbau kepada para buruh untuk menjaga kondusifitas menjelang penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2017 oleh Gubernur Jawa Timur. 
     
 Ketua Komisi D DPRD Surabaya Agustin Poliana, di Surabaya, Jumat, mengatakan apabila kalangan buruh terus bergolak, mendesak kenaikan upah sesuai dengan keinginan mereka, sebesar 21 persen atau Rp650 ribu, khawatirnya akan mengakibatkan ekonomi di Surabaya menjadi tak menentu.
     
 "Jika tidak kondusif akan berdampak pada investasi dan memperburuk ekonomi Surabaya," katanya.
     
 Agustin mengakui usulan UMK Surabaya dari para buruh mencapai Rp3,7 juta. Namun hingga saat ini, dewan pengupahan, yang di dalamnya terdapat perwakilan para buruh, pengusaha dan pemerintah belum memutuskan besaran UMK.
     
 "Masih belum ada titik temu di dewan pengupahan," katanya.
     
 Politisi PDIP ini khawatir pihak investor akan mengalihkan usahanya ke luar daerah jika terus menerus mendapatkan tekanan melalui aksi demonstrasi para buruh. Untuk itu, ia berharap kalangan pekerja menahan diri, sembari menunggu keputusan Gubernur Jawa Timur.
     
 "Berapapun keputusannnya, Gubernur pasti memutuskan dengan bijaksana," kata perempuan yang telah menjabat sebagai anggota dewan selama empat periode ini.
     
 Ia mengatakan meskipun sesuai aturan sudah ada keputusan besaran UMK, namun kenyataannya tidak semua perusahaan mematuhinya. Ironisnya, pelanggaran justru dilakukan oleh instansi pemerintah sendiri.
     
 "Di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo, karyawan honor gajinya antara Rp700 ribu–Rp2,2 juta. Padahal, sesuai Pergub (Peraturan gubernur) UMK Surabaya Rp3,045 juta," katanya.
     
Ia mengakui, saat ini pemerintah kota tak bisa berbuat banyak untuk menjalankan fungsi pengawasan ketenagakerjaan karena sesuai aturan pengawasan ketenagakerjaan  telah beralih dari pemerintah kabupaten kota ke provinsi. Padahal, masih banyak pelanggaran yang dilakukan pihak pengusaha.
     
 "Di toko-toko, banyak upah pegawainya di bawah UMK," katanya.
     
 Menurutnya, berdasarkan peraturan yang berlaku, apabila terdapat pelanggaran terhadap UMK, sanksinya adalah pidana. Hanya saja, kasus tersebut seringkali bisa diselesaikan, selain tak ada yang melaporkan, juga bisa dituntaskan di Dinas Tenaga Kerja.
     
 "Solusinya ya diberikan pesangon, atau tenaga kontrak," katanya.
     
 Agustin mengatakan sebenarnya pelanggaran yang dilakukan pihak pengusaha bukan saja menyangkut besaran UMK. Hak- hak para pekerja, terkait BPJS kesehatan maupun ketenagakerjaan juga banyak yang tidak dipenuhi perusahaan.
     
 Menurutnya, Gubernur sebenarnya bisa memberi peringatan kepada perusahaan yang mengabaikan aturan tersebut. "Namun, kalau semuanya ditekan, akhirnya bisa tutup (perusahaan)," katanya.  (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016