Surabaya (Antara Jatim) - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sempat membagikan pengalaman keberhasilannya dalam upaya menata Kota Surabaya di konferensi The Third Session Preparatory Committe III for Habitat (Prepcom 3).
Dalam paparan selama 35 menit bertema "Toward a More Equitable City" yang dilengkapi dengan slide foto-foto itu, wali kota perempuan pertama di Surabaya ini memaparkan perihal bagaimana upaya Pemkot Surabaya dalam merangkul warga untuk bersama-sama membangun kampung-kampung. Termasuk juga tentang upaya untuk memberdayakan potensi warga melalui pembangunan lapangan bola, perpustakaan dan juga "broadband learning center" (BLC).
"Saya menyampaikan tentang pembangunan kota dan juga sharing pengalaman. Seperti sekarang sudah ada kurang lebih 1.000 perpustakaan. Untuk BLC, selain anak-anak yang memanfaatkan untuk belajar, ibu-ibu juga bisa berjualan produk UKM secara online," ujar wali kota.
Paparan wali kota tersebut mendapatkan respons positif dari delegasi yang hadir. Beberapa dari mereka berujar, "Ini presentasi yang hebat". Enam orang panelis yang merupakan pakar di bidang habitat juga merespons positif paparan wali kota, salah satunya Rose Molokoane dari "Slum Dwellers International" (SDI).
"Saya melihat foto-fotonya. Dan itu sangat nyata. Penting untuk memunculkan komitmen dari apa yang kita sampaikan. Di sinilah pentingnya peran pemerintah. Terkadang mudah untuk mengatakan, tetapi sulit mengimplementasikannya. Presentasi ini nyata melibatkan warga dalam pembangunan," kata delegasi asal Afrika Selatan ini.
Paparan yang disampaikan wali kota perihal penataan kampung dan cara mengatasi urbanisasi tersebut juga mendapat apresiasi dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI Basuki Hadimuljono. Menurut Menteri kelahiran Surakarta ini, tidak mudah untuk mengajak masyarakat agar mau peduli pada lingkungan tempat tinggalnya. Tetapi, Wali kota Risma mampu melakukannya.
"Semua orang sangat terinspirasi dengan apa yang dilakukan Kota Surabaya, serta peran masyarakatnya. Sebab, tidak gampang sampai pada level ini. Mungkin kalau saya sekarang nginjak taman, yang marah bukan lagi Wali kotanya, tapi warga. Jadi peran serta masyarakat di sini sudah luar biasa," ujar Menteri Basuki.
Menteri PUPR juga menyoroti perihal keberhasilan Pemkot Surabaya dalam penanganan kawasan kumuh melalui peran serta masyarakat. "Penanganan kawasan kumuh tidak hanya oleh pemerintah. Tapi juga oleh masyarakat sendiri. Dalam hal ini, Surabaya benar-benar jadi inspirasi habitat karena di situ telah merangkum regulasi, perencanaan dan juga pendanaan (financing)," katanya.
Pada kesempatan itu Risma juga menyampaikan tentang urbanisasi. Menurutnya, urbanisasi tidak mesti merugikan. Yang paling penting adalah bagaimana mengelola dan menyiapkan sistem yang benar dalam mengantasipasi urbanisasi yang menjadi tantangan perkotaan ini.
"Yang kita lakukan adalah, memanage dan juga kontrol yang baik. Sekarang ini para lurah saya sampaikan, pendatang harus punya KTP dan bisa tunjukkan kerja di mana. Kalau tidak, bisa terkena tipiring (tindak pidana ringan). Karena, ini bukan hanya jobless tapi juga mengantisipasi orang-orang yang berniat jahat," ujar wali kota.
Pemkot Surabaya menyiapkan sistem sampai RT/RW agar mengerti bagaimana menangani urbanisasi. "Karena kontrol yang paling rendah di tingkat RT/RW, bukan hanya di kelurahan," katanya.
Hal ini selaras dengan pernyataan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla saat sambutan pembukaan Prepcom 3. Ia menyatakan sudah saatnya mengubah stigma negatif bahwa urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota menjadi positif di masa depan.
"Selama ini urbanisasi dipikirkan menjadi hal negatif, bagaimana urbainisi menajdi positif dan berguna. Sama saja pengertian dahulu penduduk yang besar menjadi beban, tapi Tiongkok dengan penduduk besar dapat maju dengan baik, jadi konsumen dan produsen yang baik," kata Jusuf Kalla.
Menurut dia, perumahan dan permukiman merupakan masalah semua negara, baik negara maju maupun berkembang. "Semuanya bagian dari kehidupan kita selalu punya dilema-dilema permukiman," katanya.
Ia mengatakan pada 50 tahun lalu, 30 persen penduduk di dunia ada di perkotaan, 70 persen tinggal di perdesaan. Hal itu sejalan dengan pertanian masih menjadi bagian yang tinggi dari lapangan kerja.
Pada dewasa ini, lanjut dia, mayoritas penduduk hidup di perkotaan. Di Indoensia sendiri pada 30 tahun yang akan datang, 60-70 persen diperkiranan penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. "Kenapa itu terjadi? tentu kita menyadari, di samping penduduk dunia juga semakin bertambah," katanya.
Sepakati Konsep NUA
Sekitar 3.500 delegasi dari 116 negara yang mengikuri konferensi The Third Preparatory Meeting for UN Habitat III di Kota Surabaya selama tiga hari, 25-27 Juli 2016, akhirnya menyepakti Zero Draft New Urban Agenda (NUA) yang akan dibawa ke UN Habitat III, di Quito Oktober mendatang.
"Meski mengakui sidang berjalan alot, namun pada prinsipnya semua peserta sidang sudah sepakat akan adanya konsep Zero Draft NUA tersebut," kata Sekjen UN Habitat III Joan Clos.
Pria berkebangsaan Spanyol ini menjelaskan hal ini menunjukkan komitmen yang sangat kuat dari mereka untuk menyepakati adanya New Urban Agenda. "Semua delegasi sudah solid dan konsesus sudah dicapai," kata pria yang juga mantan Wali Kota Barcelona ini.
Selanjutnya, Joan Clos juga menjelaskan bahwa seluruh isu perkotaan sudah dimasukkan dalam zero draft tersebut, mulai dari pendidikan, kesetaraan, kemiskinan, dan juga permukiman.
Akan tetapi, lanjut dia, ada dua poin yang menjadi poin utama dalam pembahasan NUA tersebut, yaitu urbanisasi sebagai tools atau alat dari pembangunan kota dan yang kedua adalah tentang perubahan iklim.
"Untuk pembahasan perubahan iklim kesepakatan yang ada dan NUA ini harus sejalan dengan KTT perubahan iklim di Paris tentang penurunan temperatur sampai 2,5 derajat. Dan akhirnya sudah disepakati," kata Joan Clos.
Sedangkan masalah urbanisasi, Joan Clos menjelaskan banyak yang dipersoalkan di dalam setiap sidang selama tiga hari. Dimana perdebatan itu menghasilan zero draft tersebut, adalah pemerintah harus membuat regulasi yang bijak untuk meuwujudkan keseimbangan dalam urbanisasi.
Masalah yang harus diatasi yang pertama adalah soal konsumsi lahan. Dikatakan Joan Clos, selama dua puluh tahun belakangan, urbanisasi selalu memakan banyak lahan yang dimanfaatkan untuk permukiman, perindustrian, tempat hiburan, dan juga untuk bangunan yang berssifat komersial. Padahal hal ini bisa berbahaya karena dengan semakin tingginya arus urbanisasi maka lahan agrikulutural juga akan terus berkurang.
"Oleh sebab itu kami menyarankan pembangunan kota ke depan harus dioerientasikan pada pembangunan bangunan-bangunan yang mix-use (multiffungsi). Sebab jika okupansi lahan semakin berkurang untuk bangunan komersial maka juga akan semakin memancing adanya mobilitas ke dalam kota," katanya.
Selain itu, lanjut dia, kota juga harus bisa membuat regulasi untuk membuat rumah tidak mahal sehingga penduduk di kota bisa mendapatkan tempat tinggal.
Permasalahan selanjutnya, menurutnya, adalah soal kemiskinan. Dalam mengendalikan urbanisasi agar bisa mendatangkan dampak positif, Joan Clos menyebutkan dalam NUA ini disepakati bahwa adanya urbanisasi harus disertai dengan kontrol kualitas masyarakat urban.
Ia mengatakann pendatang itu harus dilatih. Paling tidak kota harus menyediakan kursus agar pendatang ke kota tidak jobless atau menganggur hingga menimbulkan ancaman keamanan dan juga terorisme.
"Lalu masalah yang terakhir adalah budgeting. Pembangunan kota itu semua bisa diwujudkan dengan adanya efisiensi bugdet dari pemerintah. Dimana pemerintah juga harus pandai menghitungkan biaya yang ia keluarkan," kata Joan Clos.
Surabaya Sudah Capai NUA
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menegaskan bahwa Kota Pahlawan sudah mencapai lebih dahulu apa yang dihasilkan dalam konferensi Prepcom 3 berupa Zero Draft New Urban Agenda (NUA).
"Sebenarnya saya kan tidak boleh sombong, tapi kita itu sudah capai semua itu. Rusun itu adalah alternatif untuk menghemat lahan permukiman. Itu adalah yang ada dalam new urban agenda yang ditetapkan dalam Prepcom 3 ini," kata Risma.
Menurut dia, Pemkot Surabaya sudah melakukan antisipasi seperti membuatkan rusun murah seharga Rp50 ribu, dan juga meminimalisir berkurangnya lahan dengan vertikal housing atau rumah susun. Begitu juga dengan isu yang lain, seperti urbanisasi harus dikendalikan dengan kontrol warga pendatang.
Risma mengatakan semua itu sudah dilakuakan degan cara menerapkan pembuatan Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS) pada setiap pendatang. Dimana yang datang harus memiliki jaminan pekerjaan.
Selain itu, lanjut dia, Risma juga menyampaikan bahwa adanya Prepcom III sangat berdampak pada ekonomi Surabaya, terutama adalah penjual makanan, baik itu restoran di dalam mal Grand City, sentra PKL di sekitar Grand City dan juga rumah rumah makan yang lain.
"Seperti saat gala dinner itu kan saya juga undang PKL dengan pemeriksaan kualitas lebih dulu tentunya. Mereka senang sekali karena dagangannya semua habis. Tentu ini dampak ekonomi yang sangat positif lah," kata Risma.
Ketua DPRD Surabaya Armuji mengatakan keberhasilan Prepcom 3 kali ini juga menunjukkan jika anggaran sebesar Rp30 miliar yang telah dikeluarkan pemerintah kota tidaklah sia-sia.
Menurut Armuji, penggunaan anggaran Rp30 miliar untuk menata kawasan Tunjungan serta mendukung acara Prepcom terbukti juga bisa dirasakan secara langsung oleh warga Surabaya.
Dia mencontohkan, saat Festival Tunjungan digelar ternyata juga banyak warga yang datang. "Kampung-kampung juga merasakan manfaat dengan datangnya para delegasi ke kampung mereka," katanya.
Ia mengatakan anggaran Rp30 miliar itu sudah dimasukkan ke APBD 2016. Menurut dia, anggaran sebesar itu terbagi dalam beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemkot Surabaya di antaranya di Dinas PU Bina Marga dan Pematusan, PU Cipta Karya dan Tata Ruang serta beberapa SKPD lainnya.
Meski demikian, Armuji mengingatkan keramahan warga Surabaya kali ini harus tetap dijaga dan dirawat. Jangan sampai ada kesan bahwa kermahaan itu hanya berlangsung pada saat kegiatan Perpcom 3. Menurutnya jika kebiasakan baik dilestarikan di Surabaya, maka Surabaya akan dikenal oleh negara-negara lain.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
Dalam paparan selama 35 menit bertema "Toward a More Equitable City" yang dilengkapi dengan slide foto-foto itu, wali kota perempuan pertama di Surabaya ini memaparkan perihal bagaimana upaya Pemkot Surabaya dalam merangkul warga untuk bersama-sama membangun kampung-kampung. Termasuk juga tentang upaya untuk memberdayakan potensi warga melalui pembangunan lapangan bola, perpustakaan dan juga "broadband learning center" (BLC).
"Saya menyampaikan tentang pembangunan kota dan juga sharing pengalaman. Seperti sekarang sudah ada kurang lebih 1.000 perpustakaan. Untuk BLC, selain anak-anak yang memanfaatkan untuk belajar, ibu-ibu juga bisa berjualan produk UKM secara online," ujar wali kota.
Paparan wali kota tersebut mendapatkan respons positif dari delegasi yang hadir. Beberapa dari mereka berujar, "Ini presentasi yang hebat". Enam orang panelis yang merupakan pakar di bidang habitat juga merespons positif paparan wali kota, salah satunya Rose Molokoane dari "Slum Dwellers International" (SDI).
"Saya melihat foto-fotonya. Dan itu sangat nyata. Penting untuk memunculkan komitmen dari apa yang kita sampaikan. Di sinilah pentingnya peran pemerintah. Terkadang mudah untuk mengatakan, tetapi sulit mengimplementasikannya. Presentasi ini nyata melibatkan warga dalam pembangunan," kata delegasi asal Afrika Selatan ini.
Paparan yang disampaikan wali kota perihal penataan kampung dan cara mengatasi urbanisasi tersebut juga mendapat apresiasi dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI Basuki Hadimuljono. Menurut Menteri kelahiran Surakarta ini, tidak mudah untuk mengajak masyarakat agar mau peduli pada lingkungan tempat tinggalnya. Tetapi, Wali kota Risma mampu melakukannya.
"Semua orang sangat terinspirasi dengan apa yang dilakukan Kota Surabaya, serta peran masyarakatnya. Sebab, tidak gampang sampai pada level ini. Mungkin kalau saya sekarang nginjak taman, yang marah bukan lagi Wali kotanya, tapi warga. Jadi peran serta masyarakat di sini sudah luar biasa," ujar Menteri Basuki.
Menteri PUPR juga menyoroti perihal keberhasilan Pemkot Surabaya dalam penanganan kawasan kumuh melalui peran serta masyarakat. "Penanganan kawasan kumuh tidak hanya oleh pemerintah. Tapi juga oleh masyarakat sendiri. Dalam hal ini, Surabaya benar-benar jadi inspirasi habitat karena di situ telah merangkum regulasi, perencanaan dan juga pendanaan (financing)," katanya.
Pada kesempatan itu Risma juga menyampaikan tentang urbanisasi. Menurutnya, urbanisasi tidak mesti merugikan. Yang paling penting adalah bagaimana mengelola dan menyiapkan sistem yang benar dalam mengantasipasi urbanisasi yang menjadi tantangan perkotaan ini.
"Yang kita lakukan adalah, memanage dan juga kontrol yang baik. Sekarang ini para lurah saya sampaikan, pendatang harus punya KTP dan bisa tunjukkan kerja di mana. Kalau tidak, bisa terkena tipiring (tindak pidana ringan). Karena, ini bukan hanya jobless tapi juga mengantisipasi orang-orang yang berniat jahat," ujar wali kota.
Pemkot Surabaya menyiapkan sistem sampai RT/RW agar mengerti bagaimana menangani urbanisasi. "Karena kontrol yang paling rendah di tingkat RT/RW, bukan hanya di kelurahan," katanya.
Hal ini selaras dengan pernyataan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla saat sambutan pembukaan Prepcom 3. Ia menyatakan sudah saatnya mengubah stigma negatif bahwa urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota menjadi positif di masa depan.
"Selama ini urbanisasi dipikirkan menjadi hal negatif, bagaimana urbainisi menajdi positif dan berguna. Sama saja pengertian dahulu penduduk yang besar menjadi beban, tapi Tiongkok dengan penduduk besar dapat maju dengan baik, jadi konsumen dan produsen yang baik," kata Jusuf Kalla.
Menurut dia, perumahan dan permukiman merupakan masalah semua negara, baik negara maju maupun berkembang. "Semuanya bagian dari kehidupan kita selalu punya dilema-dilema permukiman," katanya.
Ia mengatakan pada 50 tahun lalu, 30 persen penduduk di dunia ada di perkotaan, 70 persen tinggal di perdesaan. Hal itu sejalan dengan pertanian masih menjadi bagian yang tinggi dari lapangan kerja.
Pada dewasa ini, lanjut dia, mayoritas penduduk hidup di perkotaan. Di Indoensia sendiri pada 30 tahun yang akan datang, 60-70 persen diperkiranan penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. "Kenapa itu terjadi? tentu kita menyadari, di samping penduduk dunia juga semakin bertambah," katanya.
Sepakati Konsep NUA
Sekitar 3.500 delegasi dari 116 negara yang mengikuri konferensi The Third Preparatory Meeting for UN Habitat III di Kota Surabaya selama tiga hari, 25-27 Juli 2016, akhirnya menyepakti Zero Draft New Urban Agenda (NUA) yang akan dibawa ke UN Habitat III, di Quito Oktober mendatang.
"Meski mengakui sidang berjalan alot, namun pada prinsipnya semua peserta sidang sudah sepakat akan adanya konsep Zero Draft NUA tersebut," kata Sekjen UN Habitat III Joan Clos.
Pria berkebangsaan Spanyol ini menjelaskan hal ini menunjukkan komitmen yang sangat kuat dari mereka untuk menyepakati adanya New Urban Agenda. "Semua delegasi sudah solid dan konsesus sudah dicapai," kata pria yang juga mantan Wali Kota Barcelona ini.
Selanjutnya, Joan Clos juga menjelaskan bahwa seluruh isu perkotaan sudah dimasukkan dalam zero draft tersebut, mulai dari pendidikan, kesetaraan, kemiskinan, dan juga permukiman.
Akan tetapi, lanjut dia, ada dua poin yang menjadi poin utama dalam pembahasan NUA tersebut, yaitu urbanisasi sebagai tools atau alat dari pembangunan kota dan yang kedua adalah tentang perubahan iklim.
"Untuk pembahasan perubahan iklim kesepakatan yang ada dan NUA ini harus sejalan dengan KTT perubahan iklim di Paris tentang penurunan temperatur sampai 2,5 derajat. Dan akhirnya sudah disepakati," kata Joan Clos.
Sedangkan masalah urbanisasi, Joan Clos menjelaskan banyak yang dipersoalkan di dalam setiap sidang selama tiga hari. Dimana perdebatan itu menghasilan zero draft tersebut, adalah pemerintah harus membuat regulasi yang bijak untuk meuwujudkan keseimbangan dalam urbanisasi.
Masalah yang harus diatasi yang pertama adalah soal konsumsi lahan. Dikatakan Joan Clos, selama dua puluh tahun belakangan, urbanisasi selalu memakan banyak lahan yang dimanfaatkan untuk permukiman, perindustrian, tempat hiburan, dan juga untuk bangunan yang berssifat komersial. Padahal hal ini bisa berbahaya karena dengan semakin tingginya arus urbanisasi maka lahan agrikulutural juga akan terus berkurang.
"Oleh sebab itu kami menyarankan pembangunan kota ke depan harus dioerientasikan pada pembangunan bangunan-bangunan yang mix-use (multiffungsi). Sebab jika okupansi lahan semakin berkurang untuk bangunan komersial maka juga akan semakin memancing adanya mobilitas ke dalam kota," katanya.
Selain itu, lanjut dia, kota juga harus bisa membuat regulasi untuk membuat rumah tidak mahal sehingga penduduk di kota bisa mendapatkan tempat tinggal.
Permasalahan selanjutnya, menurutnya, adalah soal kemiskinan. Dalam mengendalikan urbanisasi agar bisa mendatangkan dampak positif, Joan Clos menyebutkan dalam NUA ini disepakati bahwa adanya urbanisasi harus disertai dengan kontrol kualitas masyarakat urban.
Ia mengatakann pendatang itu harus dilatih. Paling tidak kota harus menyediakan kursus agar pendatang ke kota tidak jobless atau menganggur hingga menimbulkan ancaman keamanan dan juga terorisme.
"Lalu masalah yang terakhir adalah budgeting. Pembangunan kota itu semua bisa diwujudkan dengan adanya efisiensi bugdet dari pemerintah. Dimana pemerintah juga harus pandai menghitungkan biaya yang ia keluarkan," kata Joan Clos.
Surabaya Sudah Capai NUA
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menegaskan bahwa Kota Pahlawan sudah mencapai lebih dahulu apa yang dihasilkan dalam konferensi Prepcom 3 berupa Zero Draft New Urban Agenda (NUA).
"Sebenarnya saya kan tidak boleh sombong, tapi kita itu sudah capai semua itu. Rusun itu adalah alternatif untuk menghemat lahan permukiman. Itu adalah yang ada dalam new urban agenda yang ditetapkan dalam Prepcom 3 ini," kata Risma.
Menurut dia, Pemkot Surabaya sudah melakukan antisipasi seperti membuatkan rusun murah seharga Rp50 ribu, dan juga meminimalisir berkurangnya lahan dengan vertikal housing atau rumah susun. Begitu juga dengan isu yang lain, seperti urbanisasi harus dikendalikan dengan kontrol warga pendatang.
Risma mengatakan semua itu sudah dilakuakan degan cara menerapkan pembuatan Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS) pada setiap pendatang. Dimana yang datang harus memiliki jaminan pekerjaan.
Selain itu, lanjut dia, Risma juga menyampaikan bahwa adanya Prepcom III sangat berdampak pada ekonomi Surabaya, terutama adalah penjual makanan, baik itu restoran di dalam mal Grand City, sentra PKL di sekitar Grand City dan juga rumah rumah makan yang lain.
"Seperti saat gala dinner itu kan saya juga undang PKL dengan pemeriksaan kualitas lebih dulu tentunya. Mereka senang sekali karena dagangannya semua habis. Tentu ini dampak ekonomi yang sangat positif lah," kata Risma.
Ketua DPRD Surabaya Armuji mengatakan keberhasilan Prepcom 3 kali ini juga menunjukkan jika anggaran sebesar Rp30 miliar yang telah dikeluarkan pemerintah kota tidaklah sia-sia.
Menurut Armuji, penggunaan anggaran Rp30 miliar untuk menata kawasan Tunjungan serta mendukung acara Prepcom terbukti juga bisa dirasakan secara langsung oleh warga Surabaya.
Dia mencontohkan, saat Festival Tunjungan digelar ternyata juga banyak warga yang datang. "Kampung-kampung juga merasakan manfaat dengan datangnya para delegasi ke kampung mereka," katanya.
Ia mengatakan anggaran Rp30 miliar itu sudah dimasukkan ke APBD 2016. Menurut dia, anggaran sebesar itu terbagi dalam beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemkot Surabaya di antaranya di Dinas PU Bina Marga dan Pematusan, PU Cipta Karya dan Tata Ruang serta beberapa SKPD lainnya.
Meski demikian, Armuji mengingatkan keramahan warga Surabaya kali ini harus tetap dijaga dan dirawat. Jangan sampai ada kesan bahwa kermahaan itu hanya berlangsung pada saat kegiatan Perpcom 3. Menurutnya jika kebiasakan baik dilestarikan di Surabaya, maka Surabaya akan dikenal oleh negara-negara lain.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016