Surabaya (Antara Jatim) - Senator DPD RI Drs H Hardi S Hood MSi menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan perluasan bentuk kekerasan seksual dalam RUU Penghapusan Terhadap Kekerasan Seksual (RUU PTKS) hingga sembilan kategori, diantaranya mencolek juga masuk di dalamnya.

"Kita sudah memperbanyak bentuk kekerasan seksual hingga sembilan kategori, jadi bukan hanya pemerkosaan, tapi towel-towel (mencolek) saja bisa dikenai sanksi kekerasan seksual," katanya di sela Seminar Uji Sahih RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Gedung Kahuripan Unair Surabaya, Kamis.

Menurut senator asal Provinsi Riau itu, RUU PTKS itu kini sudah masuk tahap uji sahih yang dilakukan pada sejumlah universitas, termasuk Unair. "Insya-Allah, November sudah selesai dan akan diserahkan kepada pemerintah dan DPR," katanya.

Nantinya, RUU PTKS versi DPD itu akan dipadukan dengan RUU PTKS versi DPR. "Meski DPD yang lebih dulu menginisiasi RUU PTKS itu dan DPR baru merumuskan setelah ada kasus Yuyun Bengkulu, maka kami tidak mempersoalkan RUU itu inisiatif siapa, tapi berharap RUU itu sudah ada November," katanya.

Setelah disahkan, katanya, maka RUU PTKS akan menjadi UU PTKS, kemudian tugas selanjutnya berada di tangan pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat hingga akhirnya UU PTKS diberlakukan secara formal dengan target akan mengurangi kekerasan seksual.

Sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang dirumuskan DPD adalah pelecehan seksual (mencolek dan sebagainya), eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan kawin, pemerkosaan, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Pelaku anak juga diatur khusus.

Dalam Seminar Uji Sahih RUU PTKS yang dihadiri puluhan akademisi, aktivis perempuan/anak/HAM, dan ormas itu, dosen FISIP Unair Emi Susanti mengatakan hukum itu sebenarnya tidak akan menyelesaikan terjadinya kasus kekerasan seksual di tengah masyarakat.

"Saya usulkan lembaga khusus yang melibatkan pemerintah dan non-pemerintah dalam satu wadah khusus untuk menangani kekerasan seksual, UU perlu merinci konstruksi kekerasan untuk segala perbuatan dengan ancaman, dan UU juga diarahkan untuk fokus pada peran masyarakat dalam pencegahan," katanya.

Senada dengan itu, dosen FH Unair Toetik Rahayuningsih menilai RUU PTKS itu ibarat RUU emosional akibat maraknya kekerasan seksual, padahal kekerasan seksual sudah disinggung dalam KUHP, UU PKDRT, UU TPPO, dan UU Perlindungan Anak.

"Karena RUU PKTS itu harus merujuk pada UU yang sudah ada agar tidak terjadi tumpang tindih. Kalau mau dijatuhi sanksi yang keras jangan melebihi aturan pidana maksimal 15 tahun, karena kalau lebih dari itu ya sebaiknya memilih hukuman seumur hidup atau hukuman mati," katanya.

Baginya, hukuman mati itu tidak melanggar HAM, karena pembunuh itu memang layak dibunuh, apalagi pembunuhan dengan mutilasi. "Hukuman mati itu tidak melanggar HAM, karena pembunuh itu hakekatnya melanggar HAM, jadi tidak ada masalah, karena sudah sesuai asas keadilan," katanya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016