Jalan tengah yang ditempuh Presiden Joko Widodo dengan menunjuk Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai Kapolri pada 17 April 2015 menggantikan Jenderal Sutarman, merupakan tindakan yang berani dan tegas, mengingat kala itu banyak pihak yang meragukan ketegasan Jokowi yang terkesan lemah gemulai.
Apalagi, Jokowi yang belum lama dilantik menjadi Presiden ketujuh RI, masih belum bisa melepaskan diri dari "cengkeraman" Megawati Sukarnoputri selaku Ketua Umum PDIP, partai pengusung Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Megawati melalui partainya ketika itu bersikeras mengusulkan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Yang juga didukung oleh sebagian besar partai yang ada di DPR. Melihat gelagat kurang baik bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan, KPK pun menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka atas berbagai temuan pada laporan hasil kekayaan BG yang dinilai tidak wajar.
Dunia pun heboh. Pihak kepolisian yang tidak terima korpsnya dipermalukan, ganti mengkriminalisasi sejumlah komisioner KPK seperti Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Adalah Komjen Budi Waseso selaku Kepala Bareskrim Mabes Polri yang pada waktu itu paling getol memimpin upaya penangkapan terhadap pimpinan KPK.
Melihat kegaduhan itu, Presiden kemudian membentuk tim yang diketuai Prof Ahmad Syafii Maarif untuk dimintai masukan. Rekomendasi pun terbit, isinya Presiden diminta tidak memilih Budi Gunawan sebagai Kapolri, titik.
Jokowi yang ketika itu sempat bimbang, apalagi beberapa parpol yang memang gemar "mengompori" itu ngotot minta Kapolri-nya Budi Gunawan, akhirnya lebih memilih petuah Buya Syafii Maarif yakni mengabaikan BG dan mempromosikan Wakapolri Badrodin Haiti menjadi Kapolri. Sementara itu BG yang dikehendaki menjadi Kapolri adalah mantan ajudan Megawati saat menjadi Presiden.
Kegaduhan pun reda. Jokowi dianggap berhasil menyelesaikan kemelut di kalangan para penegak hukum, sekaligus melawan intervensi petinggi partainya yang sempat ikut-ikutan mengkriminalisasi pejabat KPK hanya karena menetapkan BG sebagai tersangka.
Kurang lebih setahun kemudian, Jokowi kembali menunjukkan ketegasannya dengan memilih Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri. Keputusan ini dinilai sebagai langkah berani karena mengabaikan kemampuan para senior Tito, termasuk BG yang kembali diusulkan menjadi Kapolri oleh sejumlah parpol.
Bukan parpol namanya kalau tidak membuat onar. Sudah jelas KPK pernah menetapkan BG sebagai tersangka, artinya KPK memiliki dua alat bukti, tapi masih juga didukung menjadi Kapolri.
Penunjukan Tito adalah jawaban dari semua persoalan yang menghimpit Polri, khususnya masalah reformasi yang belum benar-benar dijalankan. Ternyata, semua parpol di DPR sepakat untuk menyetujui Tito sebagai Kapolri ketika dilakukan "fit and proper test".
Kesederhanaan dalam keseharian mantan Kapolda Papua dan Metro Jakarta itu, diharapkan menjadi virus penular bagi korps baju cokelat sekaligus menghapus citra buruk polisi yang selama ini terkesan hanya menimbun kekayaan sehingga dikenal sebagai rekening "gendut".
Di tangan Tito yang "berdarah" Surabaya (Wonorejo II Surabaya) itu, kita berharap reformasi di tubuh Polri. Apalagi, Tito sendiri sudah berjanji di depan DPR. "Reformasi Polri memfokuskan ke reformasi kultural, budaya koruptif,
hedonis, konsumtif,"
katanya dalam uji kepatutan dan kelayakan di Gedung DPR, Jakarta Pusat, 23 Juni 2016.
Tidak hanya itu, Tito juga melihat belanja pegawai Polri hingga 62 persen menjadikan organisasi Polri tidak sehat karena habis untuk gaji. "Perlu ada langkah anggaran, perlu perbaikan agar
belanja pegawai tidak meledak. Take home pay cukup, biaya operasional
cukup. Tidak akan ada lagi polisi jadi pemulung. Tidak harus terjadi
seperti itu," tandasnya.
Yang menjadi persoalan, akankah Tito Karnavian bertahan selama enam tahun menduduki pos tertinggi Bhayangkara-1 hingga memasuki usia pensiun tahun 2022 nanti, mengingat usianya kini baru 52 tahun. Bagaimana kalau di tengah jalan, karena sesuatu hal, ia harus melepas jabatannya? Presiden tentu punya jawabannya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
Apalagi, Jokowi yang belum lama dilantik menjadi Presiden ketujuh RI, masih belum bisa melepaskan diri dari "cengkeraman" Megawati Sukarnoputri selaku Ketua Umum PDIP, partai pengusung Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Megawati melalui partainya ketika itu bersikeras mengusulkan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Yang juga didukung oleh sebagian besar partai yang ada di DPR. Melihat gelagat kurang baik bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan, KPK pun menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka atas berbagai temuan pada laporan hasil kekayaan BG yang dinilai tidak wajar.
Dunia pun heboh. Pihak kepolisian yang tidak terima korpsnya dipermalukan, ganti mengkriminalisasi sejumlah komisioner KPK seperti Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Adalah Komjen Budi Waseso selaku Kepala Bareskrim Mabes Polri yang pada waktu itu paling getol memimpin upaya penangkapan terhadap pimpinan KPK.
Melihat kegaduhan itu, Presiden kemudian membentuk tim yang diketuai Prof Ahmad Syafii Maarif untuk dimintai masukan. Rekomendasi pun terbit, isinya Presiden diminta tidak memilih Budi Gunawan sebagai Kapolri, titik.
Jokowi yang ketika itu sempat bimbang, apalagi beberapa parpol yang memang gemar "mengompori" itu ngotot minta Kapolri-nya Budi Gunawan, akhirnya lebih memilih petuah Buya Syafii Maarif yakni mengabaikan BG dan mempromosikan Wakapolri Badrodin Haiti menjadi Kapolri. Sementara itu BG yang dikehendaki menjadi Kapolri adalah mantan ajudan Megawati saat menjadi Presiden.
Kegaduhan pun reda. Jokowi dianggap berhasil menyelesaikan kemelut di kalangan para penegak hukum, sekaligus melawan intervensi petinggi partainya yang sempat ikut-ikutan mengkriminalisasi pejabat KPK hanya karena menetapkan BG sebagai tersangka.
Kurang lebih setahun kemudian, Jokowi kembali menunjukkan ketegasannya dengan memilih Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri. Keputusan ini dinilai sebagai langkah berani karena mengabaikan kemampuan para senior Tito, termasuk BG yang kembali diusulkan menjadi Kapolri oleh sejumlah parpol.
Bukan parpol namanya kalau tidak membuat onar. Sudah jelas KPK pernah menetapkan BG sebagai tersangka, artinya KPK memiliki dua alat bukti, tapi masih juga didukung menjadi Kapolri.
Penunjukan Tito adalah jawaban dari semua persoalan yang menghimpit Polri, khususnya masalah reformasi yang belum benar-benar dijalankan. Ternyata, semua parpol di DPR sepakat untuk menyetujui Tito sebagai Kapolri ketika dilakukan "fit and proper test".
Kesederhanaan dalam keseharian mantan Kapolda Papua dan Metro Jakarta itu, diharapkan menjadi virus penular bagi korps baju cokelat sekaligus menghapus citra buruk polisi yang selama ini terkesan hanya menimbun kekayaan sehingga dikenal sebagai rekening "gendut".
Di tangan Tito yang "berdarah" Surabaya (Wonorejo II Surabaya) itu, kita berharap reformasi di tubuh Polri. Apalagi, Tito sendiri sudah berjanji di depan DPR. "Reformasi Polri memfokuskan ke reformasi kultural, budaya koruptif,
hedonis, konsumtif,"
katanya dalam uji kepatutan dan kelayakan di Gedung DPR, Jakarta Pusat, 23 Juni 2016.
Tidak hanya itu, Tito juga melihat belanja pegawai Polri hingga 62 persen menjadikan organisasi Polri tidak sehat karena habis untuk gaji. "Perlu ada langkah anggaran, perlu perbaikan agar
belanja pegawai tidak meledak. Take home pay cukup, biaya operasional
cukup. Tidak akan ada lagi polisi jadi pemulung. Tidak harus terjadi
seperti itu," tandasnya.
Yang menjadi persoalan, akankah Tito Karnavian bertahan selama enam tahun menduduki pos tertinggi Bhayangkara-1 hingga memasuki usia pensiun tahun 2022 nanti, mengingat usianya kini baru 52 tahun. Bagaimana kalau di tengah jalan, karena sesuatu hal, ia harus melepas jabatannya? Presiden tentu punya jawabannya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016