Surabaya (Antara Jatim) - Wakil Rais Aam PBNU KH Miftahul Achyar meminta PWNU Jatim untuk segera melakukan pendekatan kepada pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Mambaul Hikam di Kabupaten Blitar yang menjadi penyelenggara Shalat Tarawih superkilat.
"Praktik Shalat Tarawih superkilat yang dilaksanakan oleh salah satu pondok pesantren di Kabupaten Blitar itu justru mengabaikan substansi dari tarawih itu sendiri," katanya di Surabaya, Jumat.
Secara bahasa, kata "tarawih" merupakan bentuk plural (jamak) dari kata "tarwihah" yang artinya "istirahat".
Dalam praktik yang dicontohkan oleh "salafus shalih" (generasi terdahulu umat Islam), para jamaah mengambil jeda/istirahat setiap empat rakaat (dua kali salam).
"Waktu jeda tersebut diambil setelah mereka melakukan shalat yang cukup panjang dalam empat rakaat tersebut," kata Pengasuh Pesantren Miftachussunnah, Kedungtarukan, Surabaya itu.
Jeda tersebut diisi dengan beragam kegiatan, seperti shalat dan membaca al-Quran, setelah para jamaah melaksanakan shalat dengan durasi yang cukup panjang.
"Demikianlah tradisi Qiyamul Ramadhan/Tarawih yg dipraktikkan Nabi dan para sahabat," katanya.
Menurut dia, tujuan shalat adalah untuk mengingat Alloh SWT (Quran Surah Thaha 14), karena itu shalat yang baik seharusnya tidak menghilangkan tuma'ninah (tenang) dalam setiap gerakannya. Tidak tergesa-gesa, apalagi "superkilat".
Bahkan, Hadits oleh At-Tirmidzi dan An-Nasa'i dari Al-Fadl bin Abbas menyebutkan shalat itu haruslah engkau (dalam keadaan) tenang, merendahkan diri, mendekatkan diri, meratap, menyesali dosa-dosa, dan engkau meletakkan kedua tanganmu lalu mengucapkan 'Wahai Allah, Wahai Allah'. Barang siapa yang tidak melalukan (hal itu), maka shalatnya itu kurang.
Dalam Hadits Riwayat Muttafaq Alayh menyatakan jika shalat akan didirikan, janganlah kalian berdiri hingga melihatku dan hendaklah kalian melaksanakan shalat dengan tenang.
"Nah, tarawih superkilat di Blitar itu tidak ada ketenangan (tuma'ninah) sama sekali. Itu jauh dari tarawih secara definisi. Mereka salah memahami kitab rujukannya," katanya.
Memang, tuma'ninah dalam i'tidal dan duduk di antara dua sujud (julus bayna sajdatain) terdapat perbedaan pendapat di dalam Madzhab Syafii, tapi tuma'ninah dalam ruku' dan sujud, ulama Syafi'iyah sepakat bahwa itu merupakan rukun yang bersifat wajib dalam shalat fardlu dan shalat sunnah, apalagi shalat tarawih yang maknanya istirahat.
"Jadi, menurut fiqih Syafi'iyah, hal (yang dilakukan di Blitar) itu tidak dibenarkan karena tanpa tuma'ninah dan menghilangkan makna tarawih," katanya.
Namun, praktik itu jangan menjadi perbincangan yang cukup mengganggu, karena itu PWNU sebaiknya melakukan pendekatan kepada pengasuh pondok pesantren tersebut.
"Banyaknya jamaah shalat memang bagus. Namun, bila sampai merusak nilai shalat, jadinya ya tidak bagus. Apalagi tujuan shalat superkilat pada masa lalu itu sudah tidak pas untuk dipakai pada masa kini," katanya.
Sebelumnya, pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Hikam, KH Dliya'uddin Azzamzammi mengatakan, tradisi salat tarawih cepat di pondoknya sudah berlangsung selama satu abad lebih, sejak kakeknya menjadi pengasuh Pondok Pesantren.
"Alasannya, saat itu banyak warga yang enggan ikut salat tarawih, karena siangnya bekerja sehingga badannya capek dan pena, sehingga dengan teraweh cepat ini, membuat para jamaah menjadi tertarik untuk datang ke masjid dan ikut melaksanakan Shalat Tarawih," katanya.
Meski cepat, namun shalat di Ponpes Mambaul Hikam itu dinilai tidak mengurangi rukun atau syarat salat atau keluar dari syariat hukum Islam, karena tuma'ninah itu ada waktu jeda untuk melafalkan Subhanallah, baik secara lisan maupun dalam hati.
Saat ini, Pondok Pesantren Salafiyah Mambaul Hikam mempunyai sekitar 1.000 lebih santri putra-putri dari berbagai daerah. Bahkan dari luar Jawa, seperti Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan Lampung juga banyak. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
"Praktik Shalat Tarawih superkilat yang dilaksanakan oleh salah satu pondok pesantren di Kabupaten Blitar itu justru mengabaikan substansi dari tarawih itu sendiri," katanya di Surabaya, Jumat.
Secara bahasa, kata "tarawih" merupakan bentuk plural (jamak) dari kata "tarwihah" yang artinya "istirahat".
Dalam praktik yang dicontohkan oleh "salafus shalih" (generasi terdahulu umat Islam), para jamaah mengambil jeda/istirahat setiap empat rakaat (dua kali salam).
"Waktu jeda tersebut diambil setelah mereka melakukan shalat yang cukup panjang dalam empat rakaat tersebut," kata Pengasuh Pesantren Miftachussunnah, Kedungtarukan, Surabaya itu.
Jeda tersebut diisi dengan beragam kegiatan, seperti shalat dan membaca al-Quran, setelah para jamaah melaksanakan shalat dengan durasi yang cukup panjang.
"Demikianlah tradisi Qiyamul Ramadhan/Tarawih yg dipraktikkan Nabi dan para sahabat," katanya.
Menurut dia, tujuan shalat adalah untuk mengingat Alloh SWT (Quran Surah Thaha 14), karena itu shalat yang baik seharusnya tidak menghilangkan tuma'ninah (tenang) dalam setiap gerakannya. Tidak tergesa-gesa, apalagi "superkilat".
Bahkan, Hadits oleh At-Tirmidzi dan An-Nasa'i dari Al-Fadl bin Abbas menyebutkan shalat itu haruslah engkau (dalam keadaan) tenang, merendahkan diri, mendekatkan diri, meratap, menyesali dosa-dosa, dan engkau meletakkan kedua tanganmu lalu mengucapkan 'Wahai Allah, Wahai Allah'. Barang siapa yang tidak melalukan (hal itu), maka shalatnya itu kurang.
Dalam Hadits Riwayat Muttafaq Alayh menyatakan jika shalat akan didirikan, janganlah kalian berdiri hingga melihatku dan hendaklah kalian melaksanakan shalat dengan tenang.
"Nah, tarawih superkilat di Blitar itu tidak ada ketenangan (tuma'ninah) sama sekali. Itu jauh dari tarawih secara definisi. Mereka salah memahami kitab rujukannya," katanya.
Memang, tuma'ninah dalam i'tidal dan duduk di antara dua sujud (julus bayna sajdatain) terdapat perbedaan pendapat di dalam Madzhab Syafii, tapi tuma'ninah dalam ruku' dan sujud, ulama Syafi'iyah sepakat bahwa itu merupakan rukun yang bersifat wajib dalam shalat fardlu dan shalat sunnah, apalagi shalat tarawih yang maknanya istirahat.
"Jadi, menurut fiqih Syafi'iyah, hal (yang dilakukan di Blitar) itu tidak dibenarkan karena tanpa tuma'ninah dan menghilangkan makna tarawih," katanya.
Namun, praktik itu jangan menjadi perbincangan yang cukup mengganggu, karena itu PWNU sebaiknya melakukan pendekatan kepada pengasuh pondok pesantren tersebut.
"Banyaknya jamaah shalat memang bagus. Namun, bila sampai merusak nilai shalat, jadinya ya tidak bagus. Apalagi tujuan shalat superkilat pada masa lalu itu sudah tidak pas untuk dipakai pada masa kini," katanya.
Sebelumnya, pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Hikam, KH Dliya'uddin Azzamzammi mengatakan, tradisi salat tarawih cepat di pondoknya sudah berlangsung selama satu abad lebih, sejak kakeknya menjadi pengasuh Pondok Pesantren.
"Alasannya, saat itu banyak warga yang enggan ikut salat tarawih, karena siangnya bekerja sehingga badannya capek dan pena, sehingga dengan teraweh cepat ini, membuat para jamaah menjadi tertarik untuk datang ke masjid dan ikut melaksanakan Shalat Tarawih," katanya.
Meski cepat, namun shalat di Ponpes Mambaul Hikam itu dinilai tidak mengurangi rukun atau syarat salat atau keluar dari syariat hukum Islam, karena tuma'ninah itu ada waktu jeda untuk melafalkan Subhanallah, baik secara lisan maupun dalam hati.
Saat ini, Pondok Pesantren Salafiyah Mambaul Hikam mempunyai sekitar 1.000 lebih santri putra-putri dari berbagai daerah. Bahkan dari luar Jawa, seperti Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan Lampung juga banyak. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016