Berbagai kasus kejahatan seksual terus bermunculan di tengah upaya pemerintah untuk memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual itu. Kejahatan seksual rupanya menjadi momok mengerikan. Bukan hanya melakukan kejahatan pada fisik, bahkan pelaku juga tidak segan menghabisi nyawa korbannya.

Sebut saja kejadian menggemparkan yang menimpa YY, seorang siswi SMP asal Bengkulu yang meninggal setelah diperkosa oleh 14 orang, yang tujuh di antaranya adalah anak-anak. Atau kejadian memilukan yang dialami seorang remaja 18 tahun yang menjadi pekerja pabrik di Tangerang. Ia meninggal dengan gagang cangkul yang tertancap di alat vitalnya.

Hal tak kalah menghenyakkan juga terjadi di Kediri. Sejumlah anak menjadi korban dari bujuk rayu seorang pengusaha sekaligus kontraktor bernama SS. Anak-anak yang rata-rata masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) itu diiming-imingi sejumlah uang serta dipenuhi kebutuhannya asalkan mau memenuhi permintaan pengusaha itu.

SS telah menjalani sidang di Pengadilan Negeri Kota Kediri dengan vonis sembilan tahun penjara dengan denda Rp250 juta subsidair empat bulan tahanan. Lain lagi di PN Kabupaten Kediri, SS divonis 10 tahun dan denda Rp300 juta subsidair lima bulan tahanan.

Namun, kasus hukum itu masih berlanjut, sebab masing-masing jaksa baik dari Kabupaten/Kota Kediri mengajukan banding ke pengadilan tinggi, karena vonis itu dinilai masih terlalu ringan jika dibandingkan dengan trauma yang dialami anak-anak tersebut.

Hal itu juga ditegaskan oleh Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa. Dalam UU perlindungan anak, hukuman maksimal adalah 15 tahun plus denda Rp5 miliar.

Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada 2015 terdapat 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka itu didapatkan sejumlah kasus di pengadilan maupun mitra Komnas Perempuan. Mereka pun menyebut jika kekerasan pada perempuan meningkat 9 persen dari tahun sebelumnya.

Di Indonesia, kasus kekerasan seksual termasuk menonjol. Bahkan, sejumlah kalangan mengungkapkan jika Indonesia sudah darurat kasus kekerasan pada perempuan.

Di sisi lain, pemerintah saat ini sedang berupaya untuk membuat draf perpu harmonisasi, dengan upaya menambah maksimal hukuman penjara selama 20 tahun serta memberikan hukuman pemberatan seumur hidup dan hukuman mati, bahkan dan jika korban tidak satu anak bisa ditambahkan dengan hukuman kebiri kimiawi atau alat deteksi elektronik atau pempublikasikan identitas.

Saat ini yang menjadi pertanyaan, apakah cukup dengan pemberian hukuman yang berat itu akan bisa memberikan efek jera? Dalam proses penanganan perkara yang melibat kekerasan dan asusila, tidak jarang lebih didahului rasa malu. Keluarga "sungkan" dengan kejadian yang menimpa anggota keluarga mereka, sehingga beberapa di antaranya memilih untuk urung lapor.

Padahal, dengan melapor justru bisa mencegah hal serupa bisa terulang lagi. Polisi menangkap pelaku dan memberikan hukuman yang setimpal, dengan harapan pelaku kapok dan tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Namun, rupanya hal itu tidak saja cukup. Pemerintah pun seharusnya bisa menyediakan layanan yang lebih dekat pada warga serta yang lebih nyaman, sehingga keluarga korban pun tidak sungkan untuk lapor.

Beberapa waktu lalu, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa berujar dalam penanganan kasus asusila dilakukan dari hulu maupun hilir, yaitu hilirnya dengan pemberatan hukuman serta adanya hukuman tambahan, sedangkan hulunya dengan mendekatkan lagi layanan, tempat pengaduan.

Kementerian sosial juga berupaya untuk melakukan pendampingan baik pada korban, keluarga korban, maupun pelaku. Walaupun pelaku, mereka pun berhak mendapatkan pendampingan.

Pemerintah mempunyai pekerjaan besar untuk meminimalkan berbagai tindak kejahatan. Adanya kasus kekerasan serta asusila pada anak, sebagian besar dipengaruhi dari menonton video porno.

Mensos pun menyebut, konten pornografi bisa memicu tindakan asusila maupun kekerasan seksual. Hubungan antara konten pornografi serta kekerasan itu sudah ia teliti lama, bahkan sudah sejak menjabat Menteri Pemberdayaan era Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Terlebih lagi, anak-anak sudah tidak asing dengan berbagai produk komputer. Kecanggihan teknologi bisa lebih mudah bagi anak-anak untuk bisa mengakses berbagai konten termasuk lewat telepon seluler.

"Saya tidak lakukan analisa, tapi saya punya data. Dari data yang saya absen tahun 2000 sejak Menteri Pemberdayaan Perempuan zaman Gus Dur, ketika anak-anak mengakses konten video porno, maka 67-70 persen itu potensial 'addict' (kecanduan)," katanya.
     
Ia pun mengatakan ketika anak-anak sudah kecanduan menonton konten porno, maka akan menganggap hal yang semula tabu menjadi biasa. Bahkan, yang lebih parah, 39-49 porsen potensial untuk ikut menirukan.

Peran keluarga dinilai sangat penting untuk menciptakan karakter anak yang lebih baik. Keluarga merupakan yang terdekat, selain dari sekolah dan lingkungan. Orangtua juga diminta untuk lebih mengawasi anak-anaknya, dengan menjadi sahabat, sehingga anak-anak pun akan merasa lebih nyaman berada di lingkungan keluarga, dan justru bukan lebih nyaman berada di lingkungan teman.

Selain peran orangtua, pendidikan agama sejak dini seharusnya juga bisa ditanamkan. Dengan pendidikan agama, anak pun diharapkan mempunyai akhlak yang lebih baik.

Namun, tak kalah penting adalah pendidikan moral di sekolah. Seharusnya, dalam kegiatan belajar mengajar tidak hanya dijelaskan soal seksual secara biologis, misalnya bentuk dan organ reproduksi, tapi juga pemahaman anak terkait dengan bagian yang tidak boleh disentuh maupun yang boleh disentuh.

Dalam membicarakan seksualitas, sudah seharusnya bukan hal yang tabu, asalkan masih dalam ranah yang sesuai. (*)

Pewarta: Asmaul Chusna

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016