Surabaya (Antara Jatim) - Sejumah bangunan atau gedung bersejarah di kampung lama yang merupakan bagian dari bangunan cagar budaya di wilayah utara Kota Surabaya cukup memprihatinkan karena banyak yang tidak terawat.
"Saya menilai perhatian pemerintah terhadap bangunan cagar budaya masih baru sebatas di pusat kota seperti salah satunya di Jalan Tunjungan, sedangkan untuk bangunan-bangunan tua di wilayah utara kota belum mendapatkan perhatian," kata Pegiat Pelestarian Cagar Budaya Freedy H istanto saat melakukan kunjungan ke kampung lama di kawasan Jembatan Merah bersama Komunitas Peduli Surabaya Rek Ayo Rek (RAR), Jumat.
Padahal, anjut dia, wilayah Surabaya utara menjadi bagian pusat pemerintahan serta bisnis Surabaya tempo dulu. Jembatan Merah yang persis di atas sungai Kalimas ini secara tidak langsung menjadi batas tegas tata ruang pada masa lalu. "Dalam syair lagu Jembatan Merah menyebutkan berpagar gedung indah," Fredy.
Menurut dia, jika bangunan tua yang menjadi bagian cagar budaya kota itu diperhatikan dan dirawat minimal pengecatan, tentunya hal itu menjadi potensi sekaligus Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW) minat khusus.
Freedy mengatakan sambang Kampung lama yang digelar Komunitas Peduli Surabaya Rek Ayo Rek (RAR) kali ini menunjukkan bangunan heritage di wilayah utara banyak yang kondisinya memprihatinkan.
Melalui kemasan seminar travelling, para pemerhati dan mereka yang berkompeten menjelaskan kilas sejarah, kondisi serta rekomendasi atas bangunan yang ada.
Sesuai namanya, seminar travelling sambang kampung dilakukan dengan jalan kaki. Jembatan Merah yang menjadi salah satu ikon kota sekaligus simbol perjuangan Arek-Arek Suroboyo menjadi titik start bagi RAR dan sejumlah pakar.
Direktur Sjarikat Poesaka Surabaya ini merinci, gedung-gedung di Jalan Veteran dan Pahlawan yang dimaksud dalam syair lagu. Di jalan ini ada kantor gubernur, kantor imigrasi yang dulunya bernama Pabean.
Pabean sendiri kini menjadi nama pasar. Tak jauh dari kawasan Jembatan Merah ada nama Jalan Bongkaran, yang dulunya memang menjadi pusat bongkar-muat. Tidak jauh dari Jembatan Merah, tepatnya di Jalan Karet dulunya terdapat masjid yang menjadi transit muslimin sebelum berangkat ke Tanah Suci Mekkah, menunaikan ibadah haji.
"Masjid ini menjadi cikal bakal asrama haji di Surabaya. Menjadi jujugan sementara karena masjid itu berada di tepi Kalimas, tempat sandarnya kapal. Ketika itu perjalanan haji menggunakan kapal laut," ujar salah satu Dekan di Universitas Ciputra (UC) Surabaya ini.
Soal Jembatan Merah yang menjadi batas tegas tata ruang, Fredy sebagai pemerhati bangunan heritage lantas merinci. Menurutnya, sisi timur serta utara Jembatan Merah atau timur aliran sungai Kalimas merupakan wilayah bagi warga keturunan China, Melayu, Arab, Jawa dan Madura. Keberadaan bangunan berarsitek China membuat bagian timur Kalimas juga disebut Pecinan. Meski demikian, bangunan yang menguatkan kesan Arab dan Jawa juga ada.
Barat Jembatan Merah maupun Kalimas menjadi kawasan modern, yang dikuatkan keberadaan bangunan-bangunan model Eropa. Salah satunya gedung Internatio yang merupakan bank internasional pada masa lampau.
Selain kondisi bangunan yang memprihatinkan, kondisi jalannya hingga kini masih berupa tanah berbatu. Singkatnya, jalan macadam. Padahal ini bagian wilayah Kota Surabaya. Ini terlihat di ruas jalan yang oleh warga sekitar dinamakan Jalan Panggung Belakang.
"Sampai hari ini jalan ini belum terpaving, apalagi aspal. Kalau musim hujan tentunya becek. Padahal dengan bangunan yang dicat, dan jalan diperbaiki bisa mendukung keberadaan wisata kota tua di wilayah utara," kata Abdullah Buftein, warga Nyamplungan Surabaya utara yang ditemui di Jalan Panggung belakang.
Cak Dullah, sapaannya, prihatin atas kondisi jalan itu. Menurutnya, antara Pemkot Surabaya dengan Pemprov Jatim saling lempar tanggung ajwab. "Padahal keberadaan bangunan liar yang dihuni warga T-4 (tempat tinggal tidak tetap) dulunya diobrak pemkot. Tapi kenapa soal jalan saja belum mendapat perhatian," katanya.
Neneng Dwi Suchufi, salah seorang pelaku bisnis perjalanan dari Raafi Tours & Travel berpendapat bangunan tua di wilayah Surabaya utara bisa menjadi potensi minat khusus.
"Biasanya yang berminat datang ke bangunan tua adalah orang yang memiliki memori sehubungan keberadaan kota atau bangunan tua di sini. Misalkan anak-cucu warga Belanda yang nenek moyangnya dulu pernah di sini," ujar Neneng.
Ketua Komunitas Peduli Surabaya Rek Ayo Rek (RAR) Herman Rivai menyebut pihaknya akan membuat rekomendasi tertulis dan disampaikan ke Pemkot Surabaya, Pemprov Jatim, Balai Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI), Komisi X DPR RI dan pihak lain yang memiliki kewenangan dan perhatian pada cagar budaya. Harapannya ada solusi perawatan hingga menjadikannya sebagai tujuan wisata.
"Bersama tim, hasil seminar travelling ini akan kami godog," kata Herman.
Pemerhati Kota Surabaya Sachiroel Alin Anwar berharap ada political will pemerintah untuk melestarikan kawasan lama yang menjadi situs cagar budaya.
"Selain ada perhatian berupa perawatan, perhatian lain bisa kebijakan pemotongan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta lainnya. Kebijakan ini diberlakukan di negara lain yang menjadikan bangunan tua bagian tujuan wisata. China, Korea, dan lainnya," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Wiwik Widyawati hingga saat ini belum bisa dikonfirmasi. Saat dihubungi melalui ponsenya terdengar nada sibuk. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
"Saya menilai perhatian pemerintah terhadap bangunan cagar budaya masih baru sebatas di pusat kota seperti salah satunya di Jalan Tunjungan, sedangkan untuk bangunan-bangunan tua di wilayah utara kota belum mendapatkan perhatian," kata Pegiat Pelestarian Cagar Budaya Freedy H istanto saat melakukan kunjungan ke kampung lama di kawasan Jembatan Merah bersama Komunitas Peduli Surabaya Rek Ayo Rek (RAR), Jumat.
Padahal, anjut dia, wilayah Surabaya utara menjadi bagian pusat pemerintahan serta bisnis Surabaya tempo dulu. Jembatan Merah yang persis di atas sungai Kalimas ini secara tidak langsung menjadi batas tegas tata ruang pada masa lalu. "Dalam syair lagu Jembatan Merah menyebutkan berpagar gedung indah," Fredy.
Menurut dia, jika bangunan tua yang menjadi bagian cagar budaya kota itu diperhatikan dan dirawat minimal pengecatan, tentunya hal itu menjadi potensi sekaligus Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW) minat khusus.
Freedy mengatakan sambang Kampung lama yang digelar Komunitas Peduli Surabaya Rek Ayo Rek (RAR) kali ini menunjukkan bangunan heritage di wilayah utara banyak yang kondisinya memprihatinkan.
Melalui kemasan seminar travelling, para pemerhati dan mereka yang berkompeten menjelaskan kilas sejarah, kondisi serta rekomendasi atas bangunan yang ada.
Sesuai namanya, seminar travelling sambang kampung dilakukan dengan jalan kaki. Jembatan Merah yang menjadi salah satu ikon kota sekaligus simbol perjuangan Arek-Arek Suroboyo menjadi titik start bagi RAR dan sejumlah pakar.
Direktur Sjarikat Poesaka Surabaya ini merinci, gedung-gedung di Jalan Veteran dan Pahlawan yang dimaksud dalam syair lagu. Di jalan ini ada kantor gubernur, kantor imigrasi yang dulunya bernama Pabean.
Pabean sendiri kini menjadi nama pasar. Tak jauh dari kawasan Jembatan Merah ada nama Jalan Bongkaran, yang dulunya memang menjadi pusat bongkar-muat. Tidak jauh dari Jembatan Merah, tepatnya di Jalan Karet dulunya terdapat masjid yang menjadi transit muslimin sebelum berangkat ke Tanah Suci Mekkah, menunaikan ibadah haji.
"Masjid ini menjadi cikal bakal asrama haji di Surabaya. Menjadi jujugan sementara karena masjid itu berada di tepi Kalimas, tempat sandarnya kapal. Ketika itu perjalanan haji menggunakan kapal laut," ujar salah satu Dekan di Universitas Ciputra (UC) Surabaya ini.
Soal Jembatan Merah yang menjadi batas tegas tata ruang, Fredy sebagai pemerhati bangunan heritage lantas merinci. Menurutnya, sisi timur serta utara Jembatan Merah atau timur aliran sungai Kalimas merupakan wilayah bagi warga keturunan China, Melayu, Arab, Jawa dan Madura. Keberadaan bangunan berarsitek China membuat bagian timur Kalimas juga disebut Pecinan. Meski demikian, bangunan yang menguatkan kesan Arab dan Jawa juga ada.
Barat Jembatan Merah maupun Kalimas menjadi kawasan modern, yang dikuatkan keberadaan bangunan-bangunan model Eropa. Salah satunya gedung Internatio yang merupakan bank internasional pada masa lampau.
Selain kondisi bangunan yang memprihatinkan, kondisi jalannya hingga kini masih berupa tanah berbatu. Singkatnya, jalan macadam. Padahal ini bagian wilayah Kota Surabaya. Ini terlihat di ruas jalan yang oleh warga sekitar dinamakan Jalan Panggung Belakang.
"Sampai hari ini jalan ini belum terpaving, apalagi aspal. Kalau musim hujan tentunya becek. Padahal dengan bangunan yang dicat, dan jalan diperbaiki bisa mendukung keberadaan wisata kota tua di wilayah utara," kata Abdullah Buftein, warga Nyamplungan Surabaya utara yang ditemui di Jalan Panggung belakang.
Cak Dullah, sapaannya, prihatin atas kondisi jalan itu. Menurutnya, antara Pemkot Surabaya dengan Pemprov Jatim saling lempar tanggung ajwab. "Padahal keberadaan bangunan liar yang dihuni warga T-4 (tempat tinggal tidak tetap) dulunya diobrak pemkot. Tapi kenapa soal jalan saja belum mendapat perhatian," katanya.
Neneng Dwi Suchufi, salah seorang pelaku bisnis perjalanan dari Raafi Tours & Travel berpendapat bangunan tua di wilayah Surabaya utara bisa menjadi potensi minat khusus.
"Biasanya yang berminat datang ke bangunan tua adalah orang yang memiliki memori sehubungan keberadaan kota atau bangunan tua di sini. Misalkan anak-cucu warga Belanda yang nenek moyangnya dulu pernah di sini," ujar Neneng.
Ketua Komunitas Peduli Surabaya Rek Ayo Rek (RAR) Herman Rivai menyebut pihaknya akan membuat rekomendasi tertulis dan disampaikan ke Pemkot Surabaya, Pemprov Jatim, Balai Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI), Komisi X DPR RI dan pihak lain yang memiliki kewenangan dan perhatian pada cagar budaya. Harapannya ada solusi perawatan hingga menjadikannya sebagai tujuan wisata.
"Bersama tim, hasil seminar travelling ini akan kami godog," kata Herman.
Pemerhati Kota Surabaya Sachiroel Alin Anwar berharap ada political will pemerintah untuk melestarikan kawasan lama yang menjadi situs cagar budaya.
"Selain ada perhatian berupa perawatan, perhatian lain bisa kebijakan pemotongan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta lainnya. Kebijakan ini diberlakukan di negara lain yang menjadikan bangunan tua bagian tujuan wisata. China, Korea, dan lainnya," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Wiwik Widyawati hingga saat ini belum bisa dikonfirmasi. Saat dihubungi melalui ponsenya terdengar nada sibuk. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016