"Menurut saya, sekolah ini luar biasa, karena itu saya merekomendasikan sekolah ini layak menjadi sekolah rujukan literasi," ucap Deputy Director USAID Indonesia Education Office, Larry Dolan.

Saat mengunjungi SDN Sedatigede 2 Sidoarjo (2/2), ia mengungkapkan kekagumannya dengan komitmen sekolah itu yang tetap bertahan dengan model yang dikembangkan sejak 2005 hingga kini (2016).

"Sejak 2005, sekolah ini mempertahankan model pembelajaran aktif dan membudayakan gemar membaca. Itu luar biasa karena bertahan itu lebih sulit daripada menerima program baru," katanya.

Dalam kunjungan itu, Larry masuk ke kelas dan perpustakaan untuk melihat secara langsung kegiatan di sekolah ini.

Ia berdialog dengan kepala sekolah, komite sekolah, guru dan siswa. Berdialog dengan beberapa orangtua yang sedang santai menikmati baca buku di luar pun dilakukan.

Pemandangan itu selaras dengan kegiatan orangtua yang menunggu menjemput putra-putri mereka sambil membaca buku di taman sekolah.

Apa yang dilakukan SDN Sedatigede 2 Sidoarjo yang merupakan sekolah mitra USAID Decentralized Basic Education (DBE) itu hingga terpilih menjadi Sekolah Literasi ?!.

Larry menyaksikan sendiri kreativitas sekolah itu dalam menciptakan sudut-sudut baca yang murah dan menggunakan barang bekas pakai.

Misalnya, rak buku di luar kelas menggunakan kardus tak terpakai, sedangkan rak buku di taman sekolah menggunakan talang air yang sudah tak terpakai.

Di setiap ruang kelas, Pojok Baca juga telah tersedia rapi. Di depan kelas disediakan kotak buku hibah dari siswa yang boleh dibaca siapa saja.

Perpustakaan menjadi pusat belajar dari para siswa yang secara bergiliran setiap hari melaksanakan pembelajaran di perpustakaan itu.

"Kegiatan literasi telah dilaksanakan sekolah ini semenjak sekolah ini bermitra dengan USAID pada tahun 2005," tutur Kepala SDN Sedatigede 2 Sidoarjo, Sumiati.

Kegiatan utama adalah membudayakan membaca buku dengan mendekatkan buku-buku pada anak.

"Kami berusaha mendekatkan buku pada anak dan menciptakan lingkungan baca yang menyenangkan di sekolah," paparnya.

Misalnya, di taman sekolah disediakan tempat duduk, gazebo dan rak buku agar semua orang yang berada di sekolah ini dapat aktif membaca.

Lebih dari itu, kegiatan literasi juga sudah terintegrasi dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.

"Saya telah melaksanakan literasi dalam pembelajaran sehari-hari," ujar Guru Kelas IV SDN Sedatigede 2, Farida Utami.

Contohnya, dirinya minta siswa mencari informasi di perpustakaan atau dengan membaca buku.

"Yang sudah saya lakukan untuk pelajaran IPS misalnya, siswa saya minta membawa koran dan mencari pemberitaan tentang permasalahan sosial. Bisa juga mereka ke perpustakaan untuk mencari buku yang terkait dengan tugas saya," ungkapnya.

Kegiatan literasi yang dilakukan di SDN Sedatigede 2 Sidoarjo ini dapat terlaksana berkat dukungan dari Komite Sekolah dan Paguyuban Kelas.

Koordinator Paguyuban Kelas di SDN Sedatigede 2, Sri Eko Warianti, menjelaskan orang tua sangat berperan dalam mewujudkan sekolah berliterasi.

"Dukungan tersebut diantaranya dengan sedekah buku dari orang tua untuk sekolah dan pembelian buku bacaan murah," timpal ibu tiga anak itu.

Ia mengimbau orang tua yang memiliki buku bacaan yang tak terpakai di rumah agar dipinjamkan atau disedekahkan ke sekolah.

"Orang tua juga boleh membeli buku bacaan baru dengan nominal harga buku Rp10.000, sehingga tidak memberatkan orang tua," tegasnya.

Selain SDN Sedatigede 2 Sidoarjo, beberapa sekolah mitra USAID di Sidoarjo yang sudah melaksanakan literasi adalah SD Hangtuah X Juanda, SMPN 2 Sedati, SMPN 3, SMPN 5, dan MTs Nurul Huda Kalanganyar.

    
Anak Sulit Membaca

Lain lagi di Mojokerto. Dulu, untuk bisa membaca dengan tenang dan nyaman saja susah bagi siswa di SDN Mojokarang, Kabupaten Mojokerto.

Alih-alih ruang perpustakaan, lemari untuk menyimpan buku siswa saja tidak ada.

Buku-buku paket pelajaran dan bacaan yang berdatangan, segera didistribusikan ke masing-masing kelas oleh kepala sekolah.

Itu pengalaman Kepala SDN Mojokarang, Watiyah, setahun lalu.

Kini, mereka sudah mempunyai ruang perpustakaan sederhana, meski masih harus berbagi dengan ruang unit kesehatan sekolah (UKS). Luasnya pun tak seberapa, sekitar 5x2 meter.

Ruangan itu bekas parkir sepeda dan beratap seng. Ruangan itu bersebelahan dengan lapangan tempat anak-anak bermain bola voli. Jika lemparan bola terlalu keras dan melayang jauh, tak ayal bola mengenai dinding ruang berbahan hardplex itu.

Meski semi permanen, Watiyah tidak keberatan, asal SDN Mojokarang mempunyai ruang teduh untuk membaca buku bagi siswanya. Pembangunannya dibiayai dan dilaksanakan komite sekolah dan warga melalui paguyuban kelas yang bekerja sama dengan dewan guru dan kepala sekolah.

"Baru awal 2015 dibangun dengan biaya Rp5.750.000," ucap Watiyah saat menjadi narasumber pada Pelatihan untuk Pelatih Manajemen Sekolah untuk SD dan MI Modul 2 Kohor 3 di Malang (6/1).

Gagasan membangun perpustakaan ini muncul setelah adanya pelatihan dan pendampingan Pembelajaran PAKEM dan MBS Modul 2. Kedua program itu menekankan pada literasi dan pengembangan budaya baca.

Program budaya baca di SDN Mojokarang diawali dengan membaca buku selama 45 menit setelah senam pagi atau sebelum pelajaran dimulai atau disebut program Time for Reading. Semua siswa wajib melakukannya. Program ini berlangsung pada pagi hari setiap Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat.

"Sebelumnya hanya 15 menit, tetapi saya amati anak-anak ini bergurau dulu dengan teman-temannya begitu membuka buku. Waktu untuk membaca menjadi berkurang, maka saya tambah alokasi waktunya," papar Watiyah.

Saat masuk kelas, siswa kelas tinggi yaitu kelas 4 hingga 6 diminta untuk menceritakan hasil bacaan dalam bentuk laporan tertulis atau rangkuman tentang apa saja yang dibacanya.

Laporan siswa akan dipajang di papan jurnal membaca kelas. Time for Reading memanfaatkan buku-buku yang ada di sudut baca masing-masing kelas atau buku bacaan yang dibawa siswa.

Keesokan hari, laporan membaca siswa itu akan disimpan guru kelas dalam buku jurnal membaca. Jurnal membaca ini dibuat guru kelas yang bersangkutan.

Akhirnya, kepala sekolah melakukan supervisi buku jurnal membaca dan diketahui masih ada siswa yang kesulitan membaca. "Ada beberapa dari kelas 2 dan 3. Sekitar delapan anak," ujar Watiyah.

Nah, mereka ini diberi penanganan khusus oleh Watiyah dan guru di sekolah. Mereka diajak membaca melalui permainan.

Sebelum memperoleh alat peraga dari pemerintah, wali murid menyumbang kartu huruf. Namun, setelah alat peraga dari pemerintah datang, papan dengan gambar-gambar itu digunakan setiap hari bersama kartu huruf.

"Anak-anak itu masih sangat perlu dibimbing. Misal untuk memperkenalkan kata 'sepatu', maka saya harus menunjukkan gambar sepatu terlebih dulu. Jika mereka sudah mengenalnya, barulah mereka diberi tugas mencari kata berbunyi 'sepatu'," tuturnya.

Hari berikutnya, mereka ditugasi menulis dan meminta tolong orang tua di rumah untuk mendampinginya. Lusa, mereka harus menghafalkan tulisan itu.

Hasil kegiatan penanganan khusus membaca ini dicatat dalam buku supervisi membaca yang dibuat kepala sekolah. Jurnal itu untuk mengukur, apakah orang tua benar-benar membimbing anaknya. Laporan harus diserahkan seminggu sekali.

Selain itu, Program Budaya Baca di SDN Mojokarang juga diwujudkan dengan mengunjungi perpustakaan di waktu istirahat secara bergantian. Setidaknya sekali dalam seminggu, buku bacaan dari perpustakaan boleh dipinjam dan dibawa pulang.

Lain halnya dengan SMA Khadijah Wonokromo Surabaya yang ditunjuk pemerintah sebagai salah satu dari ratusan Sekolah Literasi di Tanah Air.

"Sebenarnya, sekolah kami sudah lama menerapkan program literasi, tapi buku yang dibaca siswa kami selama ini adalah Al Quran. Itu kami lakukan setiap hari sebelum pelajaran dimulai," kata Kepala SMA Khadijah Wonokromo Surabaya M Mas'ud SPd MM.

Oleh karena itu, pihaknya tinggal mengganti buku yang dibaca khusus pada hari Selasa dan Kamis adalah buku bacaan umum. "Kami minta siswa baca buku apa saja yang disukai, lalu merangkum serta diceritakan kembali di hadapan temannya," ujarnya.

Walhasil, banyak cara untuk membudayakan baca bagi siswa dan keterbatasan (sarana dan prasarana) juga terbukti bukan alasan yang signifikan. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016