Sidoarjo (Antara Jatim) - Direktur Madrasah, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kemenag, Nurkholis Setiawan, menegaskan bahwa pihaknya akan mencairkan dana sertifikasi guru madrasah non-PNS pada Mei 2016.

"Itu untuk guru madrasah non-PNS yang sudah memegang SK (surat keputusan) Impassing (penyetaraan kepangkatan) dan memiliki sertifikasi," katanya dalam Rapat Koordinasi Kepala Sekolah SD/MI di lingkungan Lembaga Pendidikan Ma'arif NU se-Jawa Timur di kawasan Juanda, Sidoarjo, Sabtu.

Di hadapan 2.000-an guru madrasah swasta di lingkungan LP Ma'arif NU se-Jatim itu, ia menyatakan dana sertifikasi yang cair itu sebesar Rp1,2 triliun untuk 81.000-an guru madrasah non-PNS.

Menurut dia, ada 141.000-an guru madrasah non-PNS yang mengajukan SK Impassing ke Kemenag RI, namun hanya terseleksi 81.000-an guru, karena sebagian belum sertifikasi dan sebagian juga belum S-1.

"Aturannya dulu, SK Impassing diberikan kepada semua guru non-PNS walau belum mengikuti sertifikasi, tapi sekarang harus sertifikasi dulu dan minimal S1," katamya.

Ia menjelaskan dana sertifikasi yang dicairkan itu untuk sertifikasi pada 2015. "Sekarang masih penghitungan. Sekitar 1-2 bulan sudah ada hasilnya, jadi sekitar Mei akan cair. Kita tidak ingin salah hitung, karena saya bisa masuk penjara," katanya.

Dalam rakor yang dihadiri mantan Mendikbud Prof Mohammad Nuh dan Wagub Jatim H Saifullah Yusuf, ia mengakui sertifikasi guru di bawah Kemenag memang tersendat dan utang kepada para guru terus menumpuk sejak 2010.

"Itu merupakan tantangan Kemenag karena distribusi anggaran di Kementerian ini memang sangat minim," katanya dalam acara yang juga dihadiri Kepala Dinas Pendidikan Jatim H Saiful Rahman dan Ketua LP Ma'arif Jatim Prof Abd Haris.

Hingga kini, anggaran di Kemenag memang belum sepenuhnya proporsional. Paradigma anggaran masih menggunakan paradigma lama dengan asumsi perkembangan jumlah madrasah tidak seperti sekarang ini.

"Padahal, lima tahun terakhir, perkembangan jumlah madrasah sangat luar biasa. Ketika saya diangkat jadi Direktur Madrasah pada 2013, jumlah madrasah masih 72.000 unit, tapi sekarang sudah mencapai 76.000 unit dengan 800.000-an guru. Jadi, hanya dalam dua tahun sudah bertambah 4.000 madrasah," katanya.

Selain itu, 84 persen dari 76.000-an madrasah itu adalah milik masyarakat atau swasta yang tidak digaji negara, padahal membantu negara dalam mendidik anak-anak bangsa, sehingga perlu apresiasi dari pemerintah.

"Dengan bertambahnya jumlah madrasah, tentu bertambah pula jumlah siswa dan gurunya. Sementara untuk anggaran masih menggunakan paradigma lama itu," katanya dalam rakor bertajuk 'Sambut Harlah 90 NU dan Songsong Satu Abad NU' itu.

Masalah lain, sistem desentralisasi atau otonomi daerah yang memosisikan sekolah (SD) berada dalam binaan satuan kerja perangkat daerah (SKPD), sedangkan madrasah (MI) harus melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari pusat.

"Untuk bisa menuntaskan persoalan, caranya ya memilih satu diantara dua hal itu, yakni tambah APBN untuk madrasah atau Dana Alokasi Khusus (DAK) yang diserap daerah itu tidak boleh dikunci dan harus bisa diperuntukkan untuk madrasah. Karena madrasah ini kasihan sekali," katanya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016