Trenggalek (Antara Jatim) - Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur mengakui, aturan longgar pemilih susulan yang tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) maupun DPT-B1 atau DPT tambahan, menyisakan celah terjadinya mobilisasi suara melalui pembuatan KTP massal.
    
"Terus terang kami menghadapi dilema, karena dari sisi aturan pemilih yang diakui memiliki hak pilih adalah warga negara yang sekurang-kurangnya berdomisili selama enam bulan sebagai warga Trenggalek," kata anggota Panwaslu Kabupaten Trenggalek, Rusman Nuryadin di Trenggalek, Selasa.
    
Namun di sisi lain, lanjut dia, dalam aturan yang sama sebagaimana tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 4 tahun 2015, dijelaskan bahwa penetapan atau penentuan hak pilih warga negara harus dibuktikan dengan adanya bukti identitas kependudukan.
    
Kalimat terakhir tersebut membuat posisi panwaslu dan KPU dilematis menyikapi aturan PKPU Nomor 4/2015 tersebut.
    
"Kami sudah diskusikan hal ini dengan KPU. Masalahnya memang setiap warga negara yang dibuktikan dengan identitas kependudukan memiliki hak konstitusional untuk memilih, tidak perduli itu baru sehari, dua hari, enam bilan atau bahkan sudah setahun. Kalau mengacu aturan itu, mereka juga punya hak pilih, meski tidak masuk DPT ataupun DPT tambahan (DPT B-1)," terang Rusman.
    
Pihak KPU Trenggalek sendiri telah mengambil sikap dan kebijakan, bahwa setiap warga negara yang berdomisili dan memiliki bukti identitas kependudukan di Kabupaten Trenggalek, berhak untuk mencoblos atau menggunakan hak pilihnya di pilkada.
    
Penegasan itu disampaikan Ketua KPU Trenggalek, Suripto, yang mengatakan selama ini banyak pihak telah salah dalam mengartikan PKPU nomor 4/2015, karena regulasi itu berlaku untuk penetapan daftar pemilih sementara, yaitu penentuan DPS mengacu pada hak pilih warga yang telah tercatat menjadi penduduk Trenggalek, minimal enam bulan.
    
"Itu aturan untuk menyusun DPS. Tidak berarti kemudian warga yang telah memiliki KTP Trenggalek kehilangan hak pilihnya," kata Suripto.
    
Rusman mengatakan, Panwaslu Trenggalek sejauh ini telah mengantisipasi risiko mobilisasi massa pemilih sebagai dampak kebijakan KPU yang memperbolehkan penggunaan KTP sebagai bukti hak pilih warga di tempat-tempat pemungutan suara (TPS).
    
Salah satu yang dilakukan adalah pemetaan daerah rawan mobilisasi massa, seperti di Kecamatan Durenan dan Tugu yang memiliki belasan pondok pesantren dengan jumlah santri mencapai ribuan, serta kawasan pesisir seperti Kecamatan Watulimo, Munjungan dan Panggul yang terdapat ratusan nelayan/warga pendatang.
    
"Kami sudah lakukan pendekatan ke pondok-pondok pesantren di Durenan dan Tugu untuk mencegah isu mobilisasi massa seperti periode sebelumnya tidak terulang. Dan alhamdulillah, pihak pengasuh pondok sepakat dan mengarahkan santri untuk memilih di daerah asal masing-masing, tidak di lingkungan ponpes agar menghindari fitnah," ujarnya.
    
Selain itu, lanjut Rusman, panwaslu juga sudah berkoordinasi dengan seluruh jajaran penyelenggara pilkada maupun jajaran perangkat desa/kelurahan bahwa surat keterangan kependudukan dari kades/lurah tidak bisa digunakan lagi sebagai bukti pengajuan hak pilih di TPS-TPS.
    
"Jadi selain KTP, SIM, paspor, KK, atau bukti identitas kependudukan lain yang sah, tidak bisa digunakan sebagai dasar pengajuan hak pilih seseorang. Surat keterangan dari kades juga tidak bisa," tegasnya.
    
Terkait dugaan maraknya pembuatan KTP oleh komunitas masyarakat pendatang, santri dan nelayan tersebut, Kepala Dinas Kependudukan dan Catata Sipil Kabupaten Trenggalek, Ekanto belum memberikan pernyataan.
    
Antara sempat beberapa kali mencoba mengkonfirmasi Ekanto melalui sambungan telepon seluler, namun yang bersangkutan tidak merespon meski terdengar ada nada sambung dari ponsel pribadinya. (*)

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015