"Nomor 14, silakan..!!" Mendengar nomor urut dipanggil, saya langsung beranjak dari kursi plastik warna hijau menuju petugas kelompok panitia pemungutan suara (KPPS).
"Ini mas surat suaranya, silakan mencoblos di sana," ucap Pak Dahlan, sang ketua KPPS lima tahun lalu, saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Surabaya, tepatnya 2 Juni 2010.
Sejak berdiri di balik bilik suara, hanya lima detik (atau bahkan tak sampai), surat suara sudah lubang saya coblos tepat di salah satu nomor urut pasangan calon. Kembali saya tutup surat suara menuju kotak suara.
Sudah menunggu Pak Fandir, anggota KPPS khusus penjaga kotak suara sekaligus pengarah pemilih untuk memasukkan surat suara ke kotak suara.
Berikutnya, duduk di dekat pintu keluar seorang lagi anggota KPPS setempat. Sembari meminta saya menyodorkan jari kelingking kiri, selembar tisu juga diberikan untuk mengusap tinta bekas celupan jari, meski tak sekejap hilang.
"Kronologi" pemungutan suara di balik bilik TPS yang sama kini akan saya ulangi lagi, 9 Desember 2015. Bedanya, dulu di kota suara terpampang 10 kotak berisi wajah lima pasangan, kini hanya ada empat kotak dengan dua pasangan.
Wajah Rasiyo-Lucy Kurniasari di nomor urut 1 yang diusung Partai Demokrat dan PAN, kemudian wajah Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana untuk nomor urut 2 yang diusung PDI Perjuangan.
Suara saya tentu akan menjadi bagian dari saksi dan mengantar terpilihnya penguasa "Kota Buaya" hingga lima tahun ke depan. Begitu juga dengan 2 juta suara lainnya, yang akan menentukan nasib kota ini.
Suara sah satu saja, tentu sangat berarti. Tidak hanya bagi peserta Pilkada atau si calon penguasa, tapi bagi seluruh masyarakat kota itu amat dan sangat penting.
Perbedaan satu suara saja (meski nyaris nihil, tapi bukan tidak mungkin terjadi) bisa membuat suasana yang semula kondusif menjadi tak kondusif.
Di sinilah arti pentingnya suara masyarakat yang memiliki hak pilih. Datang ke TPS, duduk, coblos, kemudian selesai. Yang wajib diingat, sebelum memilih harus ada doa agar pilihan kita tepat dan menjadi pemimpin yang bisa membuat bangsa ini adil, makmur dan diridhoi Allah SWT.
Kalau golput? Di alam demokrasi, golput atau tak memilih juga sebuah pilihan dan hak bagi warga Negara. Alasannya beragam, mulai tidak ada waktu ke TPS, tidak ada calon sesuai harapan, sengaja tak memilih, tak kenal calon, takut salah pilih, atau bahkan memilih semua calon dengan dalih adil.
Tentu semua itu pilihan kita. Tapi, alangkah eloknya jika sebagai masyarakat yang memiliki hak pilih ikut serta menentukan sebagai salah satu wujud ikhtiar memilih pemimpin yang benar-benar bekerja demi kepentingan rakyat. Meski sulit memang.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentu menjadi pihak yang sangat terpukul jika suara golput menjadi pemenangnya. Sebagai penyelenggara Pemilu, akan dinilai gagal jika suara tak memilih lebih tinggi dibanding yang memilih.
Tidak salah jika KPU dengan berbagai daya dan upayanya tak berhenti bersosialisasi. Tidak hanya pro aktif mendatangi kelompok masyarakat, tapi juga dengan memasang alat peraga kampanye untuk sekadar memperkenalkan calon sekaligus mengingatkan masyarakat menggunakan hak pilihnya.
Rabu pahing, 9 Desember nanti, menjadi ajang pertaruhan bagi KPU. Disanjung karena sukses dengan banyaknya pemilih, atau dijadikan "pesakitan" dari banyak pihak jika golput yang menang dan sosialisasi selama ini dianggap "gatot" alias gagal total.
Total di Indonesia akan digelar 269 Pilkada serentak. Tidak hanya pemilihan kepala daerah kabupaten/kota, tapi juga ada pemilihan gubernur.
Ada 266 daerah diikuti oleh lebih dari satu pasangan, sedangkan tiga daerah sisanya diikuti calon tunggal, yakni Kabupaten Blitar, yakni Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Timor Tengah Utara.
Di Jawa Timur sendiri, 19 daerah yang menggelar Pilkada serentak. 16 pemilihan bupati, dan tiga sisanya memilih wali kota.
Ke-16 kabupaten adalah Sidoarjo, Ngawi, Lamongan, Trenggalek, Jember, Malang, Ponorogo, Situbondo, Mojokerto, Sumenep, Kediri, Banyuwangi, Tuban, Gresik, Blitar, dan Pacitan.
Untuk tiga kota adalah Surabaya, Pasuruan serta Blitar.
Pemilihan kepala daerah tinggal hitungan jari. Suara saya dan Anda sangat menentukan nasib tempat tinggal kita. Semoga kedatangan ke TPS nanti kita memilih pemimpin yang tak salah untuk dipilih.
Lima detik di bilik suara bakal menentukan nasib daerah kita selama lima tahun. Mau pemimpin yang seperti apa? Pilihlah sesuai hati nurani dan kata hati.
Semoga Pilkada serentak kali pertama di Tanah Air ini sukses, lancar, dan aman, kendati lima wilayah diprediksi rawan --Kabupaten Mojokerto, Kota Blitar, Situbondo, Banyuwangi, dan Sumenep--, sehingga republik ini
nantinya menjadi Negara yang selalu berada di bawah lindungan dan naungan Allah SWT Yang Maha Luar Biasa....
Saya saja nyoblos.. masak, Anda tidak? "Ayo nyoblos rek..!!"(*).
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Ini mas surat suaranya, silakan mencoblos di sana," ucap Pak Dahlan, sang ketua KPPS lima tahun lalu, saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Surabaya, tepatnya 2 Juni 2010.
Sejak berdiri di balik bilik suara, hanya lima detik (atau bahkan tak sampai), surat suara sudah lubang saya coblos tepat di salah satu nomor urut pasangan calon. Kembali saya tutup surat suara menuju kotak suara.
Sudah menunggu Pak Fandir, anggota KPPS khusus penjaga kotak suara sekaligus pengarah pemilih untuk memasukkan surat suara ke kotak suara.
Berikutnya, duduk di dekat pintu keluar seorang lagi anggota KPPS setempat. Sembari meminta saya menyodorkan jari kelingking kiri, selembar tisu juga diberikan untuk mengusap tinta bekas celupan jari, meski tak sekejap hilang.
"Kronologi" pemungutan suara di balik bilik TPS yang sama kini akan saya ulangi lagi, 9 Desember 2015. Bedanya, dulu di kota suara terpampang 10 kotak berisi wajah lima pasangan, kini hanya ada empat kotak dengan dua pasangan.
Wajah Rasiyo-Lucy Kurniasari di nomor urut 1 yang diusung Partai Demokrat dan PAN, kemudian wajah Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana untuk nomor urut 2 yang diusung PDI Perjuangan.
Suara saya tentu akan menjadi bagian dari saksi dan mengantar terpilihnya penguasa "Kota Buaya" hingga lima tahun ke depan. Begitu juga dengan 2 juta suara lainnya, yang akan menentukan nasib kota ini.
Suara sah satu saja, tentu sangat berarti. Tidak hanya bagi peserta Pilkada atau si calon penguasa, tapi bagi seluruh masyarakat kota itu amat dan sangat penting.
Perbedaan satu suara saja (meski nyaris nihil, tapi bukan tidak mungkin terjadi) bisa membuat suasana yang semula kondusif menjadi tak kondusif.
Di sinilah arti pentingnya suara masyarakat yang memiliki hak pilih. Datang ke TPS, duduk, coblos, kemudian selesai. Yang wajib diingat, sebelum memilih harus ada doa agar pilihan kita tepat dan menjadi pemimpin yang bisa membuat bangsa ini adil, makmur dan diridhoi Allah SWT.
Kalau golput? Di alam demokrasi, golput atau tak memilih juga sebuah pilihan dan hak bagi warga Negara. Alasannya beragam, mulai tidak ada waktu ke TPS, tidak ada calon sesuai harapan, sengaja tak memilih, tak kenal calon, takut salah pilih, atau bahkan memilih semua calon dengan dalih adil.
Tentu semua itu pilihan kita. Tapi, alangkah eloknya jika sebagai masyarakat yang memiliki hak pilih ikut serta menentukan sebagai salah satu wujud ikhtiar memilih pemimpin yang benar-benar bekerja demi kepentingan rakyat. Meski sulit memang.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentu menjadi pihak yang sangat terpukul jika suara golput menjadi pemenangnya. Sebagai penyelenggara Pemilu, akan dinilai gagal jika suara tak memilih lebih tinggi dibanding yang memilih.
Tidak salah jika KPU dengan berbagai daya dan upayanya tak berhenti bersosialisasi. Tidak hanya pro aktif mendatangi kelompok masyarakat, tapi juga dengan memasang alat peraga kampanye untuk sekadar memperkenalkan calon sekaligus mengingatkan masyarakat menggunakan hak pilihnya.
Rabu pahing, 9 Desember nanti, menjadi ajang pertaruhan bagi KPU. Disanjung karena sukses dengan banyaknya pemilih, atau dijadikan "pesakitan" dari banyak pihak jika golput yang menang dan sosialisasi selama ini dianggap "gatot" alias gagal total.
Total di Indonesia akan digelar 269 Pilkada serentak. Tidak hanya pemilihan kepala daerah kabupaten/kota, tapi juga ada pemilihan gubernur.
Ada 266 daerah diikuti oleh lebih dari satu pasangan, sedangkan tiga daerah sisanya diikuti calon tunggal, yakni Kabupaten Blitar, yakni Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Timor Tengah Utara.
Di Jawa Timur sendiri, 19 daerah yang menggelar Pilkada serentak. 16 pemilihan bupati, dan tiga sisanya memilih wali kota.
Ke-16 kabupaten adalah Sidoarjo, Ngawi, Lamongan, Trenggalek, Jember, Malang, Ponorogo, Situbondo, Mojokerto, Sumenep, Kediri, Banyuwangi, Tuban, Gresik, Blitar, dan Pacitan.
Untuk tiga kota adalah Surabaya, Pasuruan serta Blitar.
Pemilihan kepala daerah tinggal hitungan jari. Suara saya dan Anda sangat menentukan nasib tempat tinggal kita. Semoga kedatangan ke TPS nanti kita memilih pemimpin yang tak salah untuk dipilih.
Lima detik di bilik suara bakal menentukan nasib daerah kita selama lima tahun. Mau pemimpin yang seperti apa? Pilihlah sesuai hati nurani dan kata hati.
Semoga Pilkada serentak kali pertama di Tanah Air ini sukses, lancar, dan aman, kendati lima wilayah diprediksi rawan --Kabupaten Mojokerto, Kota Blitar, Situbondo, Banyuwangi, dan Sumenep--, sehingga republik ini
nantinya menjadi Negara yang selalu berada di bawah lindungan dan naungan Allah SWT Yang Maha Luar Biasa....
Saya saja nyoblos.. masak, Anda tidak? "Ayo nyoblos rek..!!"(*).
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015