Surabaya (Antara Jatim) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Arief Hidayat SH MS menilai langkah Mahkamah Konstitusi Dewan (MKD) memeriksa Ketua DPR SN itu ibarat "jeruk makan jeruk" karena sama-sama dari kalangan legislatif.

"Itu akan sia-sia, karena sama-sama dari DPR, karena itu seharusnya pemeriksaan dilakukan kepolisian, tapi harus dengan izin Presiden, kecuali tertangkap tangan yang tak perlu itu (izin Presiden)," katanya di Surabaya, Jumat.

Menjawab pertanyaan mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Surabaya (Ubaya) dalam kuliah umum di kampus itu, ia mengibaratkan dirinya selaku Ketua MK pun bisa diperiksa polisi jika terlibat masalah hukum.

"Jadi, kayak DPR, MK, KPK, KY, dan lembaga negara lainnya itu, misalnya terlibat narkoba atau korupsi, maka bisa diperiksa polisi atau jaksa, tapi pemeriksaan itu tidak bisa begitu saja dilakukan polisi, melainkan harus izin Presiden," katanya.

Namun, kata ahli hukum tata negara yang juga Guru Besar FH Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu, izin Presiden itu harus segera agar proses pemeriksaan bisa cepat.

"Proses izin dari Presiden itu harus ada batas waktunya dan jika izin tidak segera turun, maka proses pemeriksaan akan otomatis berjalan. Itu penting untuk mengantisipasi konflik kepentingan jika orang yang bermasalah itu satu partai dengan presiden," katanya.

Dalam kuliah umum di Ubaya itu, Ketua MK menegaskan bahwa lembaga yang dipimpinnya itu merupakan lembaga penegak konstitusi yakni UUD dan Pancasila. Selain itu, MK juga merupakan lembaga penegak HAM, karena HAM sudah ada dalam Amendemen UUD.

"Itulah yang membedakan Indonesia dengan negara lain yang sama-sama mayoritas Muslim seperti Turki dan Pakistan, karena Turki memisahkan hukum agama dengan negara atau menganut paham sekuler, sedangkan Pakistan justru memakai hukum agama atau syariah," katanya.

Lain halnya dengan Indonesia yang memakai hukum secara umum, namun hukum itu disinari dengan nilai-nilai agama. "Itu karena konstitusi, HAM, atau demokrasi kita tetap merujuk pada Pancasila yang sila pertama adalah Ketuhanan," katanya.

Ia mencontohkan pernikahan beda agama yang dalam hukum di negara sekuler diakui sebagai bagian dari HAM, sedangkan dalam hukum di negara agama justru ditolak mentah-mentah karena dilarang agama.

"MK juga menolak, karena pernikahan itu harus disinari dengan nilai Ketuhanan, sehingga pernikahan beda agama yang dilakukan secara umum tanpa nilai Ketuhanan itu tidak dapat diterima, namun kalau pernikahan beda agama itu dilakukan dengan salah satu agama masih dibenarkan," katanya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015