Surabaya (Antara Jatim) - Ekonom dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr. Wasiaturrahma, S.E., M.Si mengatakan bahwa pemerintah seharusnya bisa mengatur produsen obat, terkait impor bahan baku obat dalam paket kebijakan Presiden Joko Widodo yang ke-6.
"Pemerintah atau Menteri harus membuat aturan khusus atau Undang-Undang (UU) untuk memberhentikan permainan produsen obat-obatan dengan dokter, yang dinilai harga obat masih tergolong mahal," katanya yang juga menjadi Ketua Program Studi S2 Magister Ilmu Ekonomi Unair di Surabaya, Senin.
Ia menduga ada indikasi adanya kartel dalam industri obat di Indonesia, yang bisa menentukan harga obat yang memiliki paten untuk penyakit khusus seperti jantung, kanker, hipertensi, ginjal sehingga menjadi sangat mahal.
"Perusahaan farmasi maupun perusahaan produsen obat yang terafiliasi dengan perusahaan farmasi asing memang sangat mahal, karena adanya biaya impor yang mahal serta ditambah monopoli harga oleh kartel, sehingga menyebabkan harga obat di Indonesia melambung tinggi.
Menurut dia, dengan mempermainkan harga obat-obatan yang semestinya bisa dijangkau semua kalangan, bisa menjadi ladang bisnis bagi para mafia, padahal bisnis obat-obatan seharusnya bisa bersifat lebih sosial.
"Sudah bukan rahasia lagi, jika modal asing dari semuanya menjadi aktor utama di belakangnya, sehingga langkah pencegahan bisa dilakukan pemerintah dengan mengatur Harga Eceren Tertinggi (HET) semua produk obat yang beredar di pasaran," paparnya.
Selama ini, lanjutnya hanya obat generik yang mempunyai HET, sehingga obat paten dan generik bermerek tidak memiliki ketentuan harga batas atas, jadi bisa dicurigai ada permainan antara produsen obat dengan apotek tertentu.
"Pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat melibas kartel obat, di antaranya harga batas atas, dan pemberian sanksi bagi dokter yang terbukti melakukan hubungan transaksional dengan industri farmasi," terangnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, pemerintah juga seharusnya memiliki kewajiban bagi apotek memberi pilihan bagi konsumen, terkait obat sejenis yang akan dikonsumsinya, sehingga akan mengurangi keterkaitan hubungan antara dokter dan industri farmasi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015