Semarang (Antara) - Suasana menjelang pemilihan kepala daerah di sembilan provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten, pada 9 Desember 2015, tampak kurang gereget, bahkan terkesan lengang.

Namun, ada di antara politikus tidak sependapat bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak adem ayem. "Hanya sepi publikasi," kata pengurus Departemen Kerakyatan DPP PDI Perjuangan Dr. Hj. Dewi Aryani, M.Si.

Dewi yang pernah sebagai anggota DPR RI menegaskan, "Di level 'grassroots' (akar rumput) saya yakin memanas karena para calon melakukan gerilya sosialisasi dan memang harus seperti itu yang mereka lakukan."

Menyinggung sepinya kampanye melalui iklan media massa pada masa kampanye, mulai 7 Agustus dan akan berakhir pada tanggal 5 Desember 2015, dosen tamu Program Doktoral Universitas Indonesia itu mengemukakan bahwa aturan kampanye yang begitu ketat menimbulkan kesan pilkada serentak senyap.

Praktisi pemilu Teguh Purnomo, S.H., M.Hum., M.Kn. juga berpendapat bahwa sejumlah aturan mengenai pemilihan kepala daerah menjadikan suasana pilkada serentak adem ayem. Tidak mengherankan, pada masa kampanye pilkada, khususnya di 21 kabupaten/kota, Jawa Tengah, geregetnya kurang.

Beda dengan suasana kampanye Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Semarang 2010, misalnya, sejumlah titik jalan di Ibu Kota Provinsi Jateng terlihat baliho, umbul-umbul, dan spanduk dari masing-masing pasangan calon.

Pada pilkada serentak tahun ini, mulai dari ukuran, jumlah, dan lokasi pemasangan alat peraga kampanye (APK) itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No.1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.

Untuk melaksanakan ketentuan di dalam undang-undang itu, Komisi Pemilihan Umum menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Dalam PKPU No.7/2015, disebutkan bahwa baliho/billboard/videotron paling besar ukuran 4 meter x 7 meter, paling banyak lima buah setiap peserta pilkada untuk setiap kabupaten/kota.

Khusus APK berupa umbul-umbul, paling besar ukuran 5 m x 1,15 m, paling banyak 20 buah setiap pasangan calon untuk setiap kecamatan; spanduk paling besar ukuran 1,5 m x 7 m, paling banyak dua buah setiap peserta pilkada untuk setiap desa/kelurahan.

Begitu pula, iklan kampanye di media massa pada masa kampanye pilkada serentak tahun ini tampaknya lebih sedikit ketimbang pada masa kampanye pilkada sebelumnya.

Sebelumnya, pasangan calon bisa langsung memasang iklan ke media massa cetak atau elektronik manasuka. Namun, sekarang ini KPU Kabupaten/Kota memfasilitasi penayangan iklan kampanye, baik di media massa cetak maupun elektronik {televisi, radio, dan/atau media dalam jaringan (online)}.

Tidak hanya itu, jumlah penayangan dan ukuran atau durasi iklan kampanye untuk setiap pasangan calon juga diatur. Misalnya, penayangan iklan kampanye di media massa cetak selama 14 hari sebelum dimulainya masa tenang atau pada tanggal 6 Desember 2015.

Iklan kampanye di televisi untuk setiap pasangan calon, kata dia, paling banyak kumulatif 10 spot, berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun televisi per harinya selama masa penayangan iklan kampanye.

Sementara itu, di radio untuk setiap pasangan calon, paling banyak 10 spot, berdurasi paling lama 60 detik untuk setiap stasiun radio per harinya selama masa penayangan iklan kampanye.

Dengan adanya aturan tersebut, kata Koordinator Divisi Pencegahan dan Hubungan Antarlembaga Bawaslu Provinsi Jateng Teguh Purnomo, tidak ada kesan jorjoran dalam pemasangan iklan kampanye di media massa maupun pemasangan APK di sejumlah titik jalan seperti pada pilkada sebelumnya.

Meski demikian, Dewi Aryani yang juga Duta Universitas Indonesia untuk Reformasi Birokrasi Indonesia memandang perlu merevisi peraturan perundang-undangan terkait dengan pilkada.

"Seyogianya disesuaikan dengan kondisi medan di Indonesia, kan banyak wilayah yang sulit terjangkau sehingga masih perlu kampanye melalui iklan media massa. Namun, aturannya agak diperlonggar," kata Dewi yang juga Komisaris MNC Group.

Terjadi Pergeseran
    Analis politik dari Universitas Diponegoro Semarang Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. mengutarakan bahwa kesenyapan pilkada serentak terjadi karena pergeseran dari politik mobilisasi massa ke politik kompetisi berbasis program kerja.

"Dari kampanye massal ke kampanye program. Dari kampanye dengan waktu pendek ke waktu panjang akibatnya kandidat harus mengatur waktu 'bernapas' yang cukup panjang untuk kampanye," kata alumnus Flinders University Australia itu.

Faktor penyebab kelengangan pilkada serentak menurut pakar otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. R. Siti Zuhro, M.A., Ph.D., antara lain belum cukup sosialisasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 kepada masyarakat.

Hal lainnya, menurut alumnus Curtin University, Perth, Australia itu, peraturan KPU yang menimbulkan keberatan dari DPR atau partai politik; kesiapan parpol; dampak pilkada sebelumnya; dan regulasi yang membatasi peredaran uang dalam pilkada.

Profesor Wiwieq (sapaan akrab R. Siti Zuhro) mengemukakan bahwa regulasi terkait dengan pilkada yang memberikan batasan terhadap peredaran uang dalam pilkada pengaruhnya cukup signifikan terhadap animo dan antusiasme partai politik dan masyarakat lokal.

Praktik pilkada yang mencapai 1.027 di provinsi, kabupaten, dan kota dalam kurun waktu 2005--2014, menurut Prof. Wiwieq, telah memunculkan dampak-dampak negatif, seperti pimpinan daerah yang berurusan dengan hukum dan masuk penjara, sehingga membuat publik skeptis.

Penyebab kesenyapan lainnya, lanjut Prof. Wiwieq, KPU membuat perturan-peraturan terkait dengan pilkada serentak yang acap kali menimbulkan keberatan dari DPR atau parpol dan bahkan juga kebingungan masyarakat.

Di lain pihak, kata dia, secara umum partai politik terkesan belum siap. Munculnya pasangan calon tunggal, misalnya, mengindikasikan peluang kontestasi dalam pilkada menjadi sirna.

"Asumsinya, kontestasi tak diperlukan lagi ketika muncul calon yang sangat kuat dan dipastikan akan memenangi pilkada. Hal ini tentu membuat pilkada serentak miskin animo atau antusiasme publik," katanya.

Namun, bagi Teguh Yuwono, ramai atau tidaknya pilkada tidak bergantung pada kampanye mobilisasi massa, tetapi lebih bagus bergeser ke adu program kerja.

Teguh menekankan, "Yang penting pilkada itu bukan pada kampanye dan suasana adem ayemnya, melainkan kemampuan menghasilkan pemimpin yang baik."

Pemimpin baik, lanjut dia, akan menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik pula, kemudian akan berujung pada kesejahteraan rakyat.

Pergeseran dari kampanye massal ke kampanye program ini sekaligus memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Apalagi, penyampaian program kerja pasangan calon itu melalui media massa maupun media sosial yang jangkauannya lebih luas daripada mereka berkampanye di sejumlah lokasi. (*)

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015