Tulungagung (Antara Jatim) - Kelompok aktivis lingkungan yang tergabung dalam Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi terus memantau perkembangan wacana pembuatan regulasi penambangan pasir Sungai Brantas melalui nota kesepahaman antara Pemerintah Kabupaten Tulungagung dengab kejaksaan dan kepolisian setempat.
"Jika mau membuat MoU (nota kesepahaman), maka detil aturannya harus jelas, termasuk ketegasan sanksi yang diberikan ketika ada pelanggaran. MoU juga wajib dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pihak terkait," ujar Direktur PPLH Mangkubumi, Muhammad Ichwan di Tulungagung, Kamis.
Menurut Ikhwan, kejelasan aturan main itu penting, mengingat MoU yang akan dibuat berkaitan dengan tambang pasir yang saat ini gencar ditertibkan pemerintah.
Ia mengingatkan, pada dasarnya regulasi pengambilan atau penambangan pasir di aliran sungai sebenarnya sudah jelas tidak diperbolehkan, terutama jika menggunakan mekanik.
"Pengambilan pasir di sungai dengan alat mekanik atau ponton tidak dibolehkan, dengan dasar peraturan gubernur (pergub) Jawa Timur," tandasnya.
Ia berpendapat, penambangan pasir di sungai, termasuk Sungai Brantas, apabila dilakukan secara manual masih diperbolehkan.
Sementara untuk penambangan yang dilakukan pada tanah hak milik, semestinya disertai perizinan dari dinas/lembaga terkait, dengan tujuan untuk pengendalian risiko kerusakan yang ditimbulkan.
"Jadi pemerintah bisa mengontrol peredaran hasil tambang pasir. Kalau tidak ada izinnya, bagaimana pemerintah mau membina dan melakukan pengendalian dampak dan memonitor peredaran pasir hasil tambang," ujarnya.
Ikhwan juga mengkritisi soal ketidakjelasan pengawasan alur ekonomi hasil penambangan pasir di Sungai Brantas, karena selama ini status penambangan ilegal.
Belum ada konfirmasi resmi dari pihak Pemkab Tulungagung mengenai wacana pembuatan nota kesepahaman atau MoU penambangan pasir di Sungai Brantas wilayah tersebut.
Namun, Kapolres Tulungagung, AKBP Bhirawa Braja Paksa mengatakan, pihaknya sementara ini belum bisa menjelaskan terlalu detail dengan alasan MoU dimaksud masih dalam konsep.
"Pada intinya, pihak kepolisian juga berusaha mendorong kesejahteraan masyarakat. Kami belum bisa menjelaskan karena hal itu masih sebatas konsep," jawab Kapolres Bhirawa Braja Paksa.
Gejolak seputar penambangan pasir liar di sepanjang Sungai Brantas mengemuka beberapa pekan terakhir setelah jajaran Satpol PP Provinsi Jatim bersama jajaran Polda melakukan razia besar-besaran di wilayah tersebut maupun daerah-daerah lain, sehingga memicu kenaikan harga material pasir secara ekstrem.
Pasir yang biasanya dijual di kisaran Rp600 ribu per ritase isi sekitar empat kubik, di wilayah Trenggalek kini melonjak hingga tembus Rp1,1 juta per ritase akibat sulitnya pasokan material bangunan tersebut dari Tulungagung dan sekitarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Jika mau membuat MoU (nota kesepahaman), maka detil aturannya harus jelas, termasuk ketegasan sanksi yang diberikan ketika ada pelanggaran. MoU juga wajib dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pihak terkait," ujar Direktur PPLH Mangkubumi, Muhammad Ichwan di Tulungagung, Kamis.
Menurut Ikhwan, kejelasan aturan main itu penting, mengingat MoU yang akan dibuat berkaitan dengan tambang pasir yang saat ini gencar ditertibkan pemerintah.
Ia mengingatkan, pada dasarnya regulasi pengambilan atau penambangan pasir di aliran sungai sebenarnya sudah jelas tidak diperbolehkan, terutama jika menggunakan mekanik.
"Pengambilan pasir di sungai dengan alat mekanik atau ponton tidak dibolehkan, dengan dasar peraturan gubernur (pergub) Jawa Timur," tandasnya.
Ia berpendapat, penambangan pasir di sungai, termasuk Sungai Brantas, apabila dilakukan secara manual masih diperbolehkan.
Sementara untuk penambangan yang dilakukan pada tanah hak milik, semestinya disertai perizinan dari dinas/lembaga terkait, dengan tujuan untuk pengendalian risiko kerusakan yang ditimbulkan.
"Jadi pemerintah bisa mengontrol peredaran hasil tambang pasir. Kalau tidak ada izinnya, bagaimana pemerintah mau membina dan melakukan pengendalian dampak dan memonitor peredaran pasir hasil tambang," ujarnya.
Ikhwan juga mengkritisi soal ketidakjelasan pengawasan alur ekonomi hasil penambangan pasir di Sungai Brantas, karena selama ini status penambangan ilegal.
Belum ada konfirmasi resmi dari pihak Pemkab Tulungagung mengenai wacana pembuatan nota kesepahaman atau MoU penambangan pasir di Sungai Brantas wilayah tersebut.
Namun, Kapolres Tulungagung, AKBP Bhirawa Braja Paksa mengatakan, pihaknya sementara ini belum bisa menjelaskan terlalu detail dengan alasan MoU dimaksud masih dalam konsep.
"Pada intinya, pihak kepolisian juga berusaha mendorong kesejahteraan masyarakat. Kami belum bisa menjelaskan karena hal itu masih sebatas konsep," jawab Kapolres Bhirawa Braja Paksa.
Gejolak seputar penambangan pasir liar di sepanjang Sungai Brantas mengemuka beberapa pekan terakhir setelah jajaran Satpol PP Provinsi Jatim bersama jajaran Polda melakukan razia besar-besaran di wilayah tersebut maupun daerah-daerah lain, sehingga memicu kenaikan harga material pasir secara ekstrem.
Pasir yang biasanya dijual di kisaran Rp600 ribu per ritase isi sekitar empat kubik, di wilayah Trenggalek kini melonjak hingga tembus Rp1,1 juta per ritase akibat sulitnya pasokan material bangunan tersebut dari Tulungagung dan sekitarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015