Surabaya (Antara Jatim) - Menurut data Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur (Jatim), Surabaya menjadi kota penyumbang angka kematian ibu hamil tertinggi di Jatim. Hal itu terlihat dari jumlah ibu melahirkan yang meninggal di Surabaya hingga bulan September 2015 mencapai 32 orang.

"Jumlah itu dianggap masih cukup tinggi karena pada tahun lalu, jumlah kejadian serupa sebanyak 39 kali. Kedua jumlah angka kematian ibu itu memang tidak bisa diperbandingkan karena masih ada tiga bulan yang belum terdata pada tahun ini, namun data tersebut bisa memberi sedikit gambaran tentang Surabaya sebagai kota dengan jumlah kematian ibu melahirkan tertinggi di Jatim," kata Kasi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Jatim, Dian Islami seusai launching Gerakan Peduli Ibu dan Anak Sehat (Geliat) di Surabaya, Minggu.

Ia mengatakan, surabaya menyumbang sekitar 6,9 persen pada tahun lalu dari jumlah kematian ibu saat melahirkan di Jatim yang mencapai 567 orang. Untuk Jatim, jumlah kasus serupa tidak terlalu banyak, namun pada tahun lalu, rasio ibu melahirkan yang meninggal 93,52 per 100.000 kelahiran hidup. Rasio tersebut lebih rendah dari target Millenium Development Goals (MDGs) yakni 102 per 100.000.

"Angka Kematian Ibu (AKI) di provinsi Jatim sudah berada di bawah target Millenium Development Goals (MDGs) 2015, sebesar 102 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Secara rinci, data laporan kematian ibu Dinkes Kabupaten/Kota melaporkan tahun 2011 sebesar 101,4 per 100.000 kelahiran hidup, kemudian tahun 2012 sebesar 97,43 per 100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2013 sebesar 97,39 per 100.000 kelahiran hidup," paparnya.

Mengutip data hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi, yaitu 359 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dihitung berdasarkan angka tersebut, maka ada 16.155 orang ibu yang meninggal akibat kehamilan, persalinan dan nifas pada tahun 2012.  Di samping itu, Angka Kematian Bayi (AKB) juga masih tinggi di Indonesia. Pada tahun 2012, angkanya adalah 32 per 1000 kelahiran hidup atau setara dengan 144.000.

"Sebenarnya secara persentase, jumlah kematian ibu hamil di Surabaya tidak terllau tinggi, karena populasi penduduk yang banyak membuat kasus serupa sering terjadi, sedangkan menurut Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan ada sekitar 82 persen kematian karena melahirkan terjadi pada perempuan muda yang masih berusia kurang dari 15 tahun hingga usia 20 tahun," terangnya.

Menurut dia, jumlah kematian ibu muda kebanyakan meninggal dunia akibat melakukan aborsi. Hal ini ditengarai karena tingginya kawin muda dan perilaku seks bebas mencapai sekitar 77 persen, perempuan usia 15-25 tahun sudah pacaran yang membahayakan dengan melakukan hubungan intim.

Selain itu, faktor kematian ibu hamil juga dikarenakan terjadinya eklampsia atau kejang karena tekanan darah tinggi pada kehamilan, yang disebabkan tidak mendapat penanganan yang tepat akibat minim pengetahuan ibu terhadap tanda dan bahaya pada kehamilan sekitar 31 persen," ujarnya.

Faktor kedua yang paling rentan adalah pendarahan. Dian menjelaskan, apabila pendarahan pada ibu melahirkan telat ditangani, kematian menjadi risiko yang tidak terlelakkan, karena Seorang ibu yang pendarahan usai melahirkan perlu bantuan darah dengan golongan yang sama dari empat orang.

"Namun proses donor darah tak bisa dilakukan langsung di lokasi. Darah harus diambil dari stok di Palang Merah Indonesia, kemudian ketika pengambilan keputusan yang terlambat karena pasien masih sering menunda memeriksakan kehamilan atau bayi ketika terjadi masalah," tuturnya.

Ia menambahkan ketidaktahuan akan tanda bahaya pada bayi yang baru lahir. Pada umumnya, orangtua tidak memahami gejala seperti bayi tak mau minum air susu ibu, kejang, lemah, sesak nafas, dan keluar nanah pada mata, sehingga sering terjadi penanganan yang terlambat. (*)

Pewarta: Laily Widya Arisandhi

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015