Kediri (Antara Jatim) - Ratusan warga mengikuti larung sesaji yang diselenggarakan di kaki Gunung Kelud (1.731 meter di atas permukaan laut/mdpl) Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang juga diikuti sesepuh desa setempat.

Camat Ngancar, Ngaseri, Sabtu, mengemukakan agenda larung sesaji ini merupakan agenda tahunan yang diselenggarakan warga sebagai wujud terima kasih dan syukur kepada Tuhan.

"Kegiatan ini diselenggarakan bertepatan dengan 10 Suro. Kelud adalah anugerah bagi warga, jadi, kami agenda ini sebagai wujud syukur atas rezeki Tuhan," katanya.

Selain sebagai wujud syukur, acara larung sesaji itu dilakukan guna melestarikan sejarah bahwa masyarakat di sekitar kaki Gunung Kelud setiap tahun selalu melakukan larung sesaji di gunung tersebut.

"Ini juga sebagai upaya melestarikan budaya masyarakat, menjaga kesatuan masyarakat di zona bahaya Kelud," paparnya.

Dalam acara larung sesaji itu, melibatkan para sesepuh desa yang malam sebelumnya sudah ada melakukan ritual . Para sesepuh desa memimpin larung sesaji. Sesaji disiapkan sesuai dengan jumlah sesepuh desa. Isi dari sesaji itu seperti bunga setaman, telur, rokok linting, dan sejumlah benda lainnya yang ditampung di dalam daun pisang.

Sebelum acara dimulai, para sesepuh berdoa bersama. Selanjutnya, acara dimulai dengan pergelaran tarian tradisional, dan setelahnya sesaji itu dibawa para penari dan diberikan pada para sesepuh.

Rombongan berangkat dari tempat istirahat (rest area) berjalan kaki menuju atas. Selain rombongan para penari, sesepuh desa setempat, sejumlah gunungan yang disiapkan juga dibawa serta. Gunungan itu berisi hasil bumi yang terdiri dari buah-buahan serta sayur.

Selain itu, terdapat seorang perempuan yang ditandu. Perempuan itu simbol dari Dewi Kilisuci. Menurut legenda terbentuk Gunung Kelud dari sebuah pengkhianatan cinta putri Dewi Kilisuci terhadap dua raja sakti Mahesa Suro dan Lembu Suro. Kala itu, Dewi Kilisuci anak putri Jenggolo Manik yang terkenal akan kecantikannya dilamar dua orang raja.

Namun yang melamar bukan dari bangsa manusia, karena yang satu berkepala lembu bernama Raja Lembu Suro dan satunya lagu berkepala kerbau bernama Mahesa Suro. Segala cara dilakukan putri, demi menolak lamaran mereka, hingga akhirnya sang putri memerintahkan pada para prajurit menimbun batu di danau yang dibuat dua raja sakti itu, dan mereka pun meninggal dunia.

Di lokasi yang dituju, rombongan mengucapkan doa-doa, hingga akhirnya sesaji yang dibawa itu disebar. Warga pun mengikuti acara tersebut sampai akhir.

Sejumlah warga mengaku sengaja datang ingin menikmati pemandangan alam di Gunung Kelud, setelah erupsi setahun lalu. Saat ini, gunung itu sudah mulai rindang, dan tanaman sudah banyak yang berkembang.

"Saya ingin jalan-jalan saja, karena kebetulan di Kelud ada acara, jadi datang dengan suami," kata Ngasiyem, warga Bedali, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri.

Selain larung sesaji, sejumlah acara lain juga digelar, seperti pemutaran film dokumenter Kelud pascaerupsi, pameran UMKM, dan sejumlah acara lainnya. (*)

Pewarta: Asmaul Chusna

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015