Surabaya (Antara Jatim) - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya bekerja sama dengan Bunda PG-PAUD Surabaya memotong terong dan sosis, sebagai bentuk aksi dukungan wacana hukuman pengebirian bagi pelaku kekerasan anak atau paedofil pada tahap ekstrim, karena bisa menimbulkan banyak korban dan trauma panjang.

"Dengan adanya aksi memotong terong dan sosis ini sebagai bentuk dukungan bahwa kami setuju untuk diberlakukakannya hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual, karena Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014 yang mengatur hukuman 15 tahun penjara saja, dinilai masih belum optimal," kata Mahasiswa Jurusan PG PAUD UMSurabaya, Vitis Indra Qomariyanti di Surabaya, Jumat.

Ia mengatakan, hukuman kebiri dipercaya mampu memberikan efek jera, pelaku tidak bisa mengulangi perbuatannya jika sudah dikebiri, karena secara teknis hukuman rencananya akan disuntik hormon estrogen hormon yang ada pada wanita, sehingga tidak terdorong keinginan seksual seperti sebelumnya hingga memakan korban pada anak-anak.

"Teknis hukuman kebiri rencananya akan disuntik hormon estrogen hormon yang ada pada wanita, sehingga tidak terdorong keinginan seksual, seperti sebelumnya hingga memakan korban pada anak-anak, namun kalau pengebirian secara tradisional zaman dahulu dihilangkan testis yang berarti hilangnya hormon testosteron mengurangi hasrat seksual, obsesi, dan perilaku seksual," paparnya.

Menurut dia, terong dan sosis merupakan simbol alat kelamin laki-laki yang menjadi predator seks anak, sehingga pelaku kejahatan seks kepada anak memang pantas dihukum berat karena dianggap merusak generasi bangsa dan menghancurkan masa depan bangsa ini.

Di sisi lain, Bunda PAUD Surabaya, Yuli Astuti menyatakan dukungan kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan Peraturan Perundang-Undangan (Perpu) terkait pemberatan hukuman, supaya memberikan efek jera, dan tidak ada lagi pelaku pedofilia yang merusak generasi bangsa, apalagi di Surabaya kasus kekerasan seksual terhadap anak juga masih tinggi.

"Kekerasan anak di Surabaya masih tinggi, seperti kekerasan seksual terhadap anak di Kecamatan Semampir yang hampir mencapai 35 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan data keseluruhan dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur pada 2013, jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Jawa Timur mencapai 563 kejadian, sementara pada 2014 angkanya bertambah menjadi 723 kasus," jelasnya.

Berdasar catatan Komnas Perlindungan Anak (PA), selama Januari-April 2014 lalu terdapat 342 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sementara data Polri 2014 ada 697 kasus. Dari jumlah itu, sudah 726 orang ditangkap dengan jumlah korban mencapai 859 orang.

"Dengan semakin masifnya kasus kekerasan terhadap anak, kami mengimbau kepada masyarakat untuk lebih peka dan proaktif dalam kasus tersebut, karena jika kekerasan terhadap anak melibatkan keluarga atau orang terdekat, orang-orang di sekitar harus berani melaporkan dan menyelamatkan sang anak," paparnya.

Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMSurabaya, Dr. Ridwan,M.Pd menambahkan bahwa seharusnya pemerintah mendorong institusi ilmiah, seperti perguruan tinggi atau lembaga riset untuk menemukan obat atau semacam terapi agar bisa menyembuhkan para paedofilia.

"Selain dari aspek hukuman, aspek pencegahan juga harus diperhatikan, karena kejahatan kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang luar biasa, sehingga pemerintah juga harus aktif menggandeng berbagai pihak dari lintas kementerian, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), organisasi masyarakat, akademisi maupun pihak yang lainnya," tandasnya. (*)

Pewarta: Laily Widya Arisandhi

Editor : Akhmad Munir


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015