Malang (Antara Jatim) - Tidak seperti tiga atau empat tahun lalu, saat ini penghuni di wilayah Malang raya lebih "berwarna", meski penghuni baru itu adalah warga domestik yang sedang menempuh pendidikan menengah di SMA dan SMK maupun pendidikan tinggi (universitas).
Wilayah Malang raya (Kota Malang, Kota Batu dan Kabuapten Malang) yang berpenduduk sekitar 4 juta jiwa itu, kini semakin heterogen, banyak warga Papua dan Papua Barat yang "berseliweran" di wilayah itu sejak digebernya program pemerintah untuk mewujudkan pencapaian keberhasilan Otonomi Khusus (Otsus) yang disematkan pada Provinsi Papua sejak 2001.
Dua program pemerintah yang saat ini menjadi "primadona" bagi warga Papua dan Papua Barat untuk meningkatkan kualitas SDM melalui pengetahuan dan kemampuannya itu adalah Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) dan Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK). Program tersebut diluncurkan tiga tahun lalu untuk ADEM dan empat tahun lalu untuk ADIK.
Bahkan, jumlah siswa-siswi Program ADEM maupun mahasiswa yang mengikuti Program Adik di wilayah Malang raya dari tahun ke tahun terus bertambah, bahkan tahun ini Program ADEM diikuti 166 siswa yang disebar di sejumlah SMA Negeri dan SMK Negeri di wilayah Malang raya. Sedangkan utnuk Program ADIK hanya ada di Universitas Brawijaya (UB) dan Universitas Negeri Malang (UM).
"Program ADEM ini memang sebagai upaya percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat melalui skema pendidikan di tingkat SMA dan sederajat, sebab membangun Papua tidak hanya membangun infrastruktur semata, tetapi manusianya (SDM) juga harus dibangun agar Human Development Indeks-nya bisa sejajar dengan SDM yang ada di daerah lain, khususnya Jawa," kata Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Dr Sumarsono.
Ia mengakui selama ini pendidikan dan pengetahuan masyarakat Papua masih sangat minim, bahkan kemampuan para pejabatnya pun dalam mengelola keuangan juga sulit karena pendidikannya kurang (minim). Oleh karena itu, pendidikan inilah yang menjadi fokus pembangunan, selain kesehatan dan infrastruktur.
Menurut dia, untuk membangun Papua dan Papua Barat tidak mungkin hanya ditangani oleh satu lembaga saja, seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) saja, tapi harus bersinergi dengan lembaga lain, seperti Kemendikbud dan Kemenristek-Dikti untuk menangani masalah pendidikannya.
"Membangun Papua ini kan membangun saudara kita juga, sehingga tidak ada perbedaan, bahkan harus menjadi perhatian kita semua agar masyarakat Papua dan Papua Barat ini juga bisa berkembang seperti saudara-saudaranya yang berada di daerah lain," ujarnya.
Sementara itu Asisten III yang mewakili Gubernur Papua Fransiscus Kosama menyarakankan agar kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal pendidikan yang dituangkan dalam program ADEM tesrebut juga ada evaluasi untuk mengetahui berhasil tidaknya program tersebut. "Kami jangan dilepas begitu saja," kata Fransiscus.
Ia juga berharap program ADEM dan program-program lainnya di Tanah Papua tidak hanya berkutat pada nasionalisme saja, tetapi juga peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan lainnya agar masyarakat Papua bisa mengejar ketertinggalannya dan akhirnya sejajar kualitasnya dengan saudara-saudaranya di Tanah Air ini.
Sementara itu staf khusus Presiden asal Papua Lenis Kagoya menjelaskan ke-166 siswa asal Papua yang hadir merupakan anak-anak yang telah lulus seleksi program ADEM untuk melanjutkan pendidikan menengah di wilayah Malang raya. "166 ini anak-anak terbaik Papua, seluruh biaya hidup mereka di tempat rantau dibiayai oleh negara," kata Lenis.
Lebih lanjut, Lenis menjelaskan Program ADEM ini menjadi program andalan Papua, karena Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang telah berjalan selama 10 tahun belum mampu mengembangkan segala aspek di Papua, termasuk peningkatan sumber daya manusia (SDM)-nya.
Untuk itu, agar Otsus dapat berjalan maksimal, pemerintah menjalankan program ADEM untuk menyebarkan siswa-siswi Papua yang memiliki potensi untuk bisa menyejajarkan kemampuan dan tingkat intelektual dengan provinsi lain. "Anak-anak terpilih ini diharapkan mampu menyerap seluruh ilmu, baik akademisi dan ilmu sosial yang baik agar ketika kembali ke Papua, mereka mampu membangun Papua menjadi kota yang maju dan tidak tertinggal pendidikannya," ujarnya.
Pada tahun ini siswa-siswi asal Papua dan Papua Barat yang mengikuti Program ADEM di wilayah Malang raya sebanyak 166 siswa dari 550 siswa yang tersebar di sejumlah daerah di Jawa dan Bali. Untuk Kota Malang sebanyak 74 siswa, Kabuapten malang 26 siswa dan Batu 68 siswa. Setiap siswa yang mengikuti program ini diberikan dana untuk biaya hidup sebesar Rp19 juta per tahun atau rata-rata sekitar Rp1,580 juta per bulan.
Salah seorang siswi Program ADEM yang menempuh pendidikan di SMA Negeri 8 Malang, Siska mengaku senang mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan SMA-nya di Jawa. "Pendidikan di Jawa lebih maju, sehingga kami harus belajar dengan keras agar mampu mengimbangi kemampuan siswa-siswi di sekolah kami, memang cukup berat, tetapi kalau kami mau blajar dengan sungguh-sungguh, saya yakin pasti bisa," ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, tidak sedikit anak-anak Papua yang berhasil menjadi "orang" dan ternyata juga mampu bersaing dengan saudara-saudaranya di Jawa maupun daerah lain. "Kami ingin seperti kakak-kakak kami yang telah berhasil dan menjadi orang penting di Tanah Air ini," kata Siska.
Terkendala
Siswa-siswi Program ADEM asal Papua dan Papua Barat yang disebar di 125 sekolah (SMA-SMK) yang ada di Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Balai tersebut, selain bertujuan untuk mempercepat transformasi pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan SDM masyarakat Papua, program tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan nasionalisme dan pembentukan karakter dalam kebhinekaan.
Hanya saja, untuk mempercepat transformasi keterampilan, kemampuan dan pengetahuan siswa-siswi asal Papua dalam Program ADEM tersebut, masih ada beberapa kendala, khususnya daya serap siswa-siswi yang kini menempuh pendidikan di SMA dan SMK, terutama yang ada di Kota Malang.
Untuk mempercepat transformasi pengetahuan dan peningkatan daya serap mereka, siaswa-siswi tersebut terus digenjot pelajaran tambahan agar mereka bisa mengikuti proses belajar di sini. "Memang ada beberapa hambatan yang kita temui pada peserta program afirmasi ini, seperti penyerapan materi pelajaran kurang maksimal, sehingga menghambat transformasi ilmu dan standar kualitas pendidikan," kata Koordinator ADEM Kota Malang M Sulthon.
Menurut dia, perbedaan proses belajar di tanah Papua dengan di Kota Malang menjadi salah satu faktor hambatan penyerapan ilmu. Belum lagi sarana prasarana dan sosial budaya yang sangat berbeda sehingga menyebabkan siswa-siswi ini kurang mampu mengikuti pelajaran dengan cepat.
Untuk mengatasi masalah tersebut, lanjutnya, hampir seluruh sekolah (SMA dan SMK) yang menjadi bagian program ADEM memberikan jam pelajaran tambahan agar mereka mampu mengejar ketertinggalannya dan daya serapnya juga semakin meningkat. "Dengan adanya pelajaran tambahan dan motivasi melalui pertemuan dengan sejumlah pemangku kepentingan, baik dari pusat maupun daerah, siswa-siswi asal Papua ini lebih giat belajar," ujarnya.
Mereka ini, katanya, kasihan karena akademisnya belum bisa menyamai standar Kota Malang, tidak semua memang, namun sebagian besar, sehingga para siswa itu menjadi 'ngos-ngosan' untuk mengejar ketertinggalannya. Seharusnya, siswa-siswi dari Papua yang akan diberangkatkan ke Pulau Jawa setidaknya harus mengikuti program matrikulasi dengan tujuan untuk menyamakan standardisasi pendidikan dengan di Jawa. Dia mencontohkan, untuk Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) di Kota Malang sekitar 7,5 sampai 8.
"Memang tidak semuanya lemah dan tidak mampu mencapai KKM. Ada yang sesuai kompetensi, bahkan melebihi standar KKM, namun sebagian besar tidak mampu mencapai KKM. Oleh karena itu bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kemampuan dan daya serap mereka agar mampu 'berlari' bersama siswa-siswi lainnya," katanya.
Selama tiga tahun itu, siswa dari Papua tersebut akan belajar di Sembilan sekolah, yakni SMAN 3, 4, 6, 8, 9 dan 10. Sedangkan di SMK ada di SMKN 1, 7, 6, dan 8.
Mereka yang berhak mendapatkan beasiswa Program ADEM tersebut adalah orang asli Papua dan Papua Barat. Mereka berasal dari Kabupaten Merauke, Kabupaten Bouven Digoel, Kabaupaten Puncak, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Asmat. Program ini sudah berlangsung sejak tahun 2013. Semua siswa ini akan mendapatkan beasiswa pendidikan dan biaya hidup selama ada di daerah tujuan.
Untuk mendapatkan beasiswa ini, mereka harus melewati beberapa tahapan seleksi, mulai dari seleksi tingkat kota/kabupaten, provinsi, dan pusat. Proses seleksinya mulai dari administrasi, dimana mereka harus tercatat sebagai orang asli Papua dan Papua Barat, tes kesehatan, nilai selama bersekolah di SLTP, dan latar belakang ekonomi keluarga," bebernya.
Sejak program ini berlangsung, sudah 1.323 orang siswa yang mendapatkan beasiswa ADEM. Usai menyelesaikan pendidikannya, mereka akan dibina dan didorong untuk mengikuti program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK).
Program ADIK
Program peningkatan kualitas SDM dan nasionalisme masyarakat Papua dan Papua Barat tesrebut tidak hanya berhenti sampai dijenjang pendidikan menengah melalui Program ADEM-nya, tetapi masih terus berlanjut hingga di jenjang Perguruan Tinggi (universitas). Bagi siswa-siswi yang telah menyelesaikan studinya melalui Program ADEM, tetap diberikan sejumlah opsi, mulai dari melanjutkan ke jenjang universitas, bekerja di lembaga atau beriraswasta, namun semua opsi tersebut tetap difasilitasi oleh negara.
Jika siswa-siswi yang telah lulus dan memilih opsi melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka juga diberikan kesempatan untuk mengikuti seleksi Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK). Seperti halnya Program ADEM, mereka juga harus tetap mengikuti seleksi secara bertahap.
Mahasiswa asal Papua yang mengikuti program ADIK di perguruan tinggi di Malang juga terus bertambah dan tahun ini ada 62 mahasiswa yang ditampung di tiga perguruan tinggi negeri (PTN) di Malang, yakni Universitas Brawijaya (UB) sebanyak 16 mahasiswa, Universitas Negeri Malang (UM) sebanyak 33 mahasiswa dan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim sebanyak 13 mahasiswa.
Untuk UB, jumlah mahasiswa dari program afirmasi tahun ini berkurang cukup signifikan jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Pada tahun 2012 sebanyak 73 mahasiswa dan tahun 2013 sekitar 100 mahasiswa dari Papua dan berbagai wilayah perbatasan. Sementara di UM, sebenarnya kuota untuk mahasiswa afirmasi tersebut sebanyak 40 orang, namun yang melakukan registrasi ulang hanya 33 mahasiswa.
Mahasiswa program afirmasi tersebut diberi arahan khusus secara intensif, baik yang berkaitan dengan akademik, sosial dan psikologis.
Beberapa waktu lalu manta wakil rektor I UB Prof Dr Bambang Suharto mengusulkan agar ada matrikulasi bagi siswa SMA di kawasan terluar dan tertinggal yang akan mengikuti program afirmasi di perguruan tinggi karena rata-rata kemampuan mereka masih belum layak.
Bambang mengusulkan, begitu siswa-siswi SMA yang akan mengikuti program matrikulasi naik kelas XII, mereka dipindah ke SMA-SMA yang mendekati perguruan tinggi tujuan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dan meningkatkan kualitasnya. Sebab, kemampuan rata-rata mereka cukup memprihatinkan, sehingga harus ada terobosan yang mampu mengangkat kemampuan mereka ketika sudah duduk di perguruan tinggi.
Memang, lanjutnya, sebelum mengikuti program afirmasi Dikti tersebut, siswa harus melalui sejumlah tes (penyaringan), namun hasilnya tetap saja, sehingga yang dikirim ke sejumlah perguruan tinggi yang menerima mahasiswa afirmasi juga seperti itu.
"Bukan kami diskriminasi, justru kami mengusulkan matrikulasi itu untuk memperbaiki kemampuan mereka agar kelak atau setelah lulus kuliah tidak menemui kesulitan beradaptasi dalam dunia kerja, bahkan mampu bersaing dengan lulusan lainnya," tandas Bambang.
Akibat dari minimnya kemampuan mereka, UB terpaksa memberhentikan (drop out) sejumlah mahasiswa yang mengikuti program afirmasi dari berbagai daerah Indonesia. Pasalnya, mereka tidak memenuhi persyaratan capaian indeks prestasi (IP) minimal 2,00.
Bambang tidak mengelak Kemenristek Dikti telah menyeleksi peserta program afirmasi tersebut dengan berbagai tes. Namun, hasilnya tetap saja. Selain UB, kata Bambang, berbagai kampus yang menerima mahasiswa afirmasi juga mengalami masalah serupa.
Menurut Bambang, ketidakmampuan para mahasiswa afirmasi memenuhi standar nilai atau indeks prestasi itu bukan karena mereka tidak mampu. Penyebabnya lebih kepada kebiasaan dan budaya yang membuat mereka tertinggal jauh dari mahasiswa lain.
"Sebenarnya mereka mampu mengikuti perkuliahan, namun karena mereka jarang masuk dan budaya 'istirahat' cukup panjang, mereka menjadi tertinggal dan akhirnya berdampak pada nilai," ujarnya.
Usulan pemberian tambahan matrikulasi dari UB tersebut, nampaknya tidak hanya sekedar disetujui dan diwujudkan hanya untuk kelas XII (3 SMA) yang akan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi melalui Program ADIK tersebut, namun mulai kelas X hingga XII, siswa-siswi tersebut sudah dikirim ke sejumlah daerah untuk menyelesaikan jenjang pendidikan menengahnya.
Pada tahun ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi melaksanakan Program Afirmasi ADIK kembali. Pada tahap awal, tahun 2012 dikhususkan untuk daerah Papua dan Papua Barat. Setelah tiga tahun berjalan perluasan cakupan wilayah pun dilakukan hingga ke Nusa Tenggara, Maluku Utara, dan Aceh (3T).
Program afirmasi bukan sekadar program keberpihakan pemerintah untuk daerah Papua dan 3T, melainkan transformasi akademis. Tahun ini kuota penerima beasiswa ADIK sebanyak 900 mahasiswa, dengan rincian 500 mahasiswa untuk daerah 3T dan 400 calon untuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Meskipun telah berjalan di tahun keempat, beberapa perguruan tinggi pelaksana mengaku kesulitan dalam menerima dan membina mahasiswa afirmasi.
Khusus untuk Program ADIK bagi mahasiswa asal Papua dan Papua Barat, sejak digulirkan pada tahun 2012 hingga saat ini sudah mencapai 1.352 mahasiswa. Sebenarnya jumlah mahasiswa yang diterima rata-rata setiap tahunnya sebanyak 400-500 mahasiswa, namun Karena adanya mahasiswa asal Papua yang DO, maka saat ini hanya tinggal 1.352 mahasiswa.
Mahasiswa afirmasi asal Papua pada tahap pertama (2012) yang kuliah di UB, tahun depan sudah ada yang mengikuti wisuda karena mata kuliah yang ditempuh sudah selesai. Sebagian besar mahasiswa afirmasi asal Papua mengambil progran studi non-eksak (sosial dan bahasa).
"Harapan kami, Program ADEM dan ADIK ini mampu mempercepat transformasi dalam upaya meningkatkan kualitas SDM masyarakat Papua, disamping memperkokoh nasionalisme dan pembangunan karakter serta cinta Tanah Air masyarakat Papua," ujar Dr Sumarsono.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
Wilayah Malang raya (Kota Malang, Kota Batu dan Kabuapten Malang) yang berpenduduk sekitar 4 juta jiwa itu, kini semakin heterogen, banyak warga Papua dan Papua Barat yang "berseliweran" di wilayah itu sejak digebernya program pemerintah untuk mewujudkan pencapaian keberhasilan Otonomi Khusus (Otsus) yang disematkan pada Provinsi Papua sejak 2001.
Dua program pemerintah yang saat ini menjadi "primadona" bagi warga Papua dan Papua Barat untuk meningkatkan kualitas SDM melalui pengetahuan dan kemampuannya itu adalah Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) dan Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK). Program tersebut diluncurkan tiga tahun lalu untuk ADEM dan empat tahun lalu untuk ADIK.
Bahkan, jumlah siswa-siswi Program ADEM maupun mahasiswa yang mengikuti Program Adik di wilayah Malang raya dari tahun ke tahun terus bertambah, bahkan tahun ini Program ADEM diikuti 166 siswa yang disebar di sejumlah SMA Negeri dan SMK Negeri di wilayah Malang raya. Sedangkan utnuk Program ADIK hanya ada di Universitas Brawijaya (UB) dan Universitas Negeri Malang (UM).
"Program ADEM ini memang sebagai upaya percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat melalui skema pendidikan di tingkat SMA dan sederajat, sebab membangun Papua tidak hanya membangun infrastruktur semata, tetapi manusianya (SDM) juga harus dibangun agar Human Development Indeks-nya bisa sejajar dengan SDM yang ada di daerah lain, khususnya Jawa," kata Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Dr Sumarsono.
Ia mengakui selama ini pendidikan dan pengetahuan masyarakat Papua masih sangat minim, bahkan kemampuan para pejabatnya pun dalam mengelola keuangan juga sulit karena pendidikannya kurang (minim). Oleh karena itu, pendidikan inilah yang menjadi fokus pembangunan, selain kesehatan dan infrastruktur.
Menurut dia, untuk membangun Papua dan Papua Barat tidak mungkin hanya ditangani oleh satu lembaga saja, seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) saja, tapi harus bersinergi dengan lembaga lain, seperti Kemendikbud dan Kemenristek-Dikti untuk menangani masalah pendidikannya.
"Membangun Papua ini kan membangun saudara kita juga, sehingga tidak ada perbedaan, bahkan harus menjadi perhatian kita semua agar masyarakat Papua dan Papua Barat ini juga bisa berkembang seperti saudara-saudaranya yang berada di daerah lain," ujarnya.
Sementara itu Asisten III yang mewakili Gubernur Papua Fransiscus Kosama menyarakankan agar kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal pendidikan yang dituangkan dalam program ADEM tesrebut juga ada evaluasi untuk mengetahui berhasil tidaknya program tersebut. "Kami jangan dilepas begitu saja," kata Fransiscus.
Ia juga berharap program ADEM dan program-program lainnya di Tanah Papua tidak hanya berkutat pada nasionalisme saja, tetapi juga peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan lainnya agar masyarakat Papua bisa mengejar ketertinggalannya dan akhirnya sejajar kualitasnya dengan saudara-saudaranya di Tanah Air ini.
Sementara itu staf khusus Presiden asal Papua Lenis Kagoya menjelaskan ke-166 siswa asal Papua yang hadir merupakan anak-anak yang telah lulus seleksi program ADEM untuk melanjutkan pendidikan menengah di wilayah Malang raya. "166 ini anak-anak terbaik Papua, seluruh biaya hidup mereka di tempat rantau dibiayai oleh negara," kata Lenis.
Lebih lanjut, Lenis menjelaskan Program ADEM ini menjadi program andalan Papua, karena Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang telah berjalan selama 10 tahun belum mampu mengembangkan segala aspek di Papua, termasuk peningkatan sumber daya manusia (SDM)-nya.
Untuk itu, agar Otsus dapat berjalan maksimal, pemerintah menjalankan program ADEM untuk menyebarkan siswa-siswi Papua yang memiliki potensi untuk bisa menyejajarkan kemampuan dan tingkat intelektual dengan provinsi lain. "Anak-anak terpilih ini diharapkan mampu menyerap seluruh ilmu, baik akademisi dan ilmu sosial yang baik agar ketika kembali ke Papua, mereka mampu membangun Papua menjadi kota yang maju dan tidak tertinggal pendidikannya," ujarnya.
Pada tahun ini siswa-siswi asal Papua dan Papua Barat yang mengikuti Program ADEM di wilayah Malang raya sebanyak 166 siswa dari 550 siswa yang tersebar di sejumlah daerah di Jawa dan Bali. Untuk Kota Malang sebanyak 74 siswa, Kabuapten malang 26 siswa dan Batu 68 siswa. Setiap siswa yang mengikuti program ini diberikan dana untuk biaya hidup sebesar Rp19 juta per tahun atau rata-rata sekitar Rp1,580 juta per bulan.
Salah seorang siswi Program ADEM yang menempuh pendidikan di SMA Negeri 8 Malang, Siska mengaku senang mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan SMA-nya di Jawa. "Pendidikan di Jawa lebih maju, sehingga kami harus belajar dengan keras agar mampu mengimbangi kemampuan siswa-siswi di sekolah kami, memang cukup berat, tetapi kalau kami mau blajar dengan sungguh-sungguh, saya yakin pasti bisa," ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, tidak sedikit anak-anak Papua yang berhasil menjadi "orang" dan ternyata juga mampu bersaing dengan saudara-saudaranya di Jawa maupun daerah lain. "Kami ingin seperti kakak-kakak kami yang telah berhasil dan menjadi orang penting di Tanah Air ini," kata Siska.
Terkendala
Siswa-siswi Program ADEM asal Papua dan Papua Barat yang disebar di 125 sekolah (SMA-SMK) yang ada di Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Balai tersebut, selain bertujuan untuk mempercepat transformasi pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan SDM masyarakat Papua, program tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan nasionalisme dan pembentukan karakter dalam kebhinekaan.
Hanya saja, untuk mempercepat transformasi keterampilan, kemampuan dan pengetahuan siswa-siswi asal Papua dalam Program ADEM tersebut, masih ada beberapa kendala, khususnya daya serap siswa-siswi yang kini menempuh pendidikan di SMA dan SMK, terutama yang ada di Kota Malang.
Untuk mempercepat transformasi pengetahuan dan peningkatan daya serap mereka, siaswa-siswi tersebut terus digenjot pelajaran tambahan agar mereka bisa mengikuti proses belajar di sini. "Memang ada beberapa hambatan yang kita temui pada peserta program afirmasi ini, seperti penyerapan materi pelajaran kurang maksimal, sehingga menghambat transformasi ilmu dan standar kualitas pendidikan," kata Koordinator ADEM Kota Malang M Sulthon.
Menurut dia, perbedaan proses belajar di tanah Papua dengan di Kota Malang menjadi salah satu faktor hambatan penyerapan ilmu. Belum lagi sarana prasarana dan sosial budaya yang sangat berbeda sehingga menyebabkan siswa-siswi ini kurang mampu mengikuti pelajaran dengan cepat.
Untuk mengatasi masalah tersebut, lanjutnya, hampir seluruh sekolah (SMA dan SMK) yang menjadi bagian program ADEM memberikan jam pelajaran tambahan agar mereka mampu mengejar ketertinggalannya dan daya serapnya juga semakin meningkat. "Dengan adanya pelajaran tambahan dan motivasi melalui pertemuan dengan sejumlah pemangku kepentingan, baik dari pusat maupun daerah, siswa-siswi asal Papua ini lebih giat belajar," ujarnya.
Mereka ini, katanya, kasihan karena akademisnya belum bisa menyamai standar Kota Malang, tidak semua memang, namun sebagian besar, sehingga para siswa itu menjadi 'ngos-ngosan' untuk mengejar ketertinggalannya. Seharusnya, siswa-siswi dari Papua yang akan diberangkatkan ke Pulau Jawa setidaknya harus mengikuti program matrikulasi dengan tujuan untuk menyamakan standardisasi pendidikan dengan di Jawa. Dia mencontohkan, untuk Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) di Kota Malang sekitar 7,5 sampai 8.
"Memang tidak semuanya lemah dan tidak mampu mencapai KKM. Ada yang sesuai kompetensi, bahkan melebihi standar KKM, namun sebagian besar tidak mampu mencapai KKM. Oleh karena itu bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kemampuan dan daya serap mereka agar mampu 'berlari' bersama siswa-siswi lainnya," katanya.
Selama tiga tahun itu, siswa dari Papua tersebut akan belajar di Sembilan sekolah, yakni SMAN 3, 4, 6, 8, 9 dan 10. Sedangkan di SMK ada di SMKN 1, 7, 6, dan 8.
Mereka yang berhak mendapatkan beasiswa Program ADEM tersebut adalah orang asli Papua dan Papua Barat. Mereka berasal dari Kabupaten Merauke, Kabupaten Bouven Digoel, Kabaupaten Puncak, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Asmat. Program ini sudah berlangsung sejak tahun 2013. Semua siswa ini akan mendapatkan beasiswa pendidikan dan biaya hidup selama ada di daerah tujuan.
Untuk mendapatkan beasiswa ini, mereka harus melewati beberapa tahapan seleksi, mulai dari seleksi tingkat kota/kabupaten, provinsi, dan pusat. Proses seleksinya mulai dari administrasi, dimana mereka harus tercatat sebagai orang asli Papua dan Papua Barat, tes kesehatan, nilai selama bersekolah di SLTP, dan latar belakang ekonomi keluarga," bebernya.
Sejak program ini berlangsung, sudah 1.323 orang siswa yang mendapatkan beasiswa ADEM. Usai menyelesaikan pendidikannya, mereka akan dibina dan didorong untuk mengikuti program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK).
Program ADIK
Program peningkatan kualitas SDM dan nasionalisme masyarakat Papua dan Papua Barat tesrebut tidak hanya berhenti sampai dijenjang pendidikan menengah melalui Program ADEM-nya, tetapi masih terus berlanjut hingga di jenjang Perguruan Tinggi (universitas). Bagi siswa-siswi yang telah menyelesaikan studinya melalui Program ADEM, tetap diberikan sejumlah opsi, mulai dari melanjutkan ke jenjang universitas, bekerja di lembaga atau beriraswasta, namun semua opsi tersebut tetap difasilitasi oleh negara.
Jika siswa-siswi yang telah lulus dan memilih opsi melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka juga diberikan kesempatan untuk mengikuti seleksi Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK). Seperti halnya Program ADEM, mereka juga harus tetap mengikuti seleksi secara bertahap.
Mahasiswa asal Papua yang mengikuti program ADIK di perguruan tinggi di Malang juga terus bertambah dan tahun ini ada 62 mahasiswa yang ditampung di tiga perguruan tinggi negeri (PTN) di Malang, yakni Universitas Brawijaya (UB) sebanyak 16 mahasiswa, Universitas Negeri Malang (UM) sebanyak 33 mahasiswa dan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim sebanyak 13 mahasiswa.
Untuk UB, jumlah mahasiswa dari program afirmasi tahun ini berkurang cukup signifikan jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Pada tahun 2012 sebanyak 73 mahasiswa dan tahun 2013 sekitar 100 mahasiswa dari Papua dan berbagai wilayah perbatasan. Sementara di UM, sebenarnya kuota untuk mahasiswa afirmasi tersebut sebanyak 40 orang, namun yang melakukan registrasi ulang hanya 33 mahasiswa.
Mahasiswa program afirmasi tersebut diberi arahan khusus secara intensif, baik yang berkaitan dengan akademik, sosial dan psikologis.
Beberapa waktu lalu manta wakil rektor I UB Prof Dr Bambang Suharto mengusulkan agar ada matrikulasi bagi siswa SMA di kawasan terluar dan tertinggal yang akan mengikuti program afirmasi di perguruan tinggi karena rata-rata kemampuan mereka masih belum layak.
Bambang mengusulkan, begitu siswa-siswi SMA yang akan mengikuti program matrikulasi naik kelas XII, mereka dipindah ke SMA-SMA yang mendekati perguruan tinggi tujuan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dan meningkatkan kualitasnya. Sebab, kemampuan rata-rata mereka cukup memprihatinkan, sehingga harus ada terobosan yang mampu mengangkat kemampuan mereka ketika sudah duduk di perguruan tinggi.
Memang, lanjutnya, sebelum mengikuti program afirmasi Dikti tersebut, siswa harus melalui sejumlah tes (penyaringan), namun hasilnya tetap saja, sehingga yang dikirim ke sejumlah perguruan tinggi yang menerima mahasiswa afirmasi juga seperti itu.
"Bukan kami diskriminasi, justru kami mengusulkan matrikulasi itu untuk memperbaiki kemampuan mereka agar kelak atau setelah lulus kuliah tidak menemui kesulitan beradaptasi dalam dunia kerja, bahkan mampu bersaing dengan lulusan lainnya," tandas Bambang.
Akibat dari minimnya kemampuan mereka, UB terpaksa memberhentikan (drop out) sejumlah mahasiswa yang mengikuti program afirmasi dari berbagai daerah Indonesia. Pasalnya, mereka tidak memenuhi persyaratan capaian indeks prestasi (IP) minimal 2,00.
Bambang tidak mengelak Kemenristek Dikti telah menyeleksi peserta program afirmasi tersebut dengan berbagai tes. Namun, hasilnya tetap saja. Selain UB, kata Bambang, berbagai kampus yang menerima mahasiswa afirmasi juga mengalami masalah serupa.
Menurut Bambang, ketidakmampuan para mahasiswa afirmasi memenuhi standar nilai atau indeks prestasi itu bukan karena mereka tidak mampu. Penyebabnya lebih kepada kebiasaan dan budaya yang membuat mereka tertinggal jauh dari mahasiswa lain.
"Sebenarnya mereka mampu mengikuti perkuliahan, namun karena mereka jarang masuk dan budaya 'istirahat' cukup panjang, mereka menjadi tertinggal dan akhirnya berdampak pada nilai," ujarnya.
Usulan pemberian tambahan matrikulasi dari UB tersebut, nampaknya tidak hanya sekedar disetujui dan diwujudkan hanya untuk kelas XII (3 SMA) yang akan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi melalui Program ADIK tersebut, namun mulai kelas X hingga XII, siswa-siswi tersebut sudah dikirim ke sejumlah daerah untuk menyelesaikan jenjang pendidikan menengahnya.
Pada tahun ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi melaksanakan Program Afirmasi ADIK kembali. Pada tahap awal, tahun 2012 dikhususkan untuk daerah Papua dan Papua Barat. Setelah tiga tahun berjalan perluasan cakupan wilayah pun dilakukan hingga ke Nusa Tenggara, Maluku Utara, dan Aceh (3T).
Program afirmasi bukan sekadar program keberpihakan pemerintah untuk daerah Papua dan 3T, melainkan transformasi akademis. Tahun ini kuota penerima beasiswa ADIK sebanyak 900 mahasiswa, dengan rincian 500 mahasiswa untuk daerah 3T dan 400 calon untuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Meskipun telah berjalan di tahun keempat, beberapa perguruan tinggi pelaksana mengaku kesulitan dalam menerima dan membina mahasiswa afirmasi.
Khusus untuk Program ADIK bagi mahasiswa asal Papua dan Papua Barat, sejak digulirkan pada tahun 2012 hingga saat ini sudah mencapai 1.352 mahasiswa. Sebenarnya jumlah mahasiswa yang diterima rata-rata setiap tahunnya sebanyak 400-500 mahasiswa, namun Karena adanya mahasiswa asal Papua yang DO, maka saat ini hanya tinggal 1.352 mahasiswa.
Mahasiswa afirmasi asal Papua pada tahap pertama (2012) yang kuliah di UB, tahun depan sudah ada yang mengikuti wisuda karena mata kuliah yang ditempuh sudah selesai. Sebagian besar mahasiswa afirmasi asal Papua mengambil progran studi non-eksak (sosial dan bahasa).
"Harapan kami, Program ADEM dan ADIK ini mampu mempercepat transformasi dalam upaya meningkatkan kualitas SDM masyarakat Papua, disamping memperkokoh nasionalisme dan pembangunan karakter serta cinta Tanah Air masyarakat Papua," ujar Dr Sumarsono.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015