Malang (Antara Jatim) - Presiden Moderator Asian Conference on Pure and Religion Peace (ACRP) Prof Dr Din Syamsuddin menyatakan peradigma pengembangan sains akan percuma jika hampa dari kebermaknaan, nilai-nilai etis maupun spiritual.
"Salah satu akar dibalik terjadinya berbagai kerusakan global di dunia ini adalah paradigma pengembangan sains yang tidak mengindahkan nilai-nilai etis, spiritual dan kebermaknaan. Paradigma sains hendaknya diarahkan pada nilai-nilai kemaslahatan," kata Din Syamsuddin saat menjadi pembicara pada The 1st International Conference on Pure and Applied Research (ICoPAR) di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu.
Ilmu ekonomi, lanjut Din, pastinya dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan. Demikian pula ilmu politik, mestinya juga diniatkan untuk mewujudkan keadilan. "Kalau politik melanggengkan oligarki, berarti politiknya tidak bernilai, dan hampa makna," ujar Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.
Oleh karena itu, katanya, yang terpenting dari sains adalah bagaimana kebermaknaan dan nilai-nilai yang dikandungnya. Dalam konteks pembangunan, jika dunia banyak berbicara tentang pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan, maka Islam senantiasa mengajak pada paradigma pembangunan berkelanjutan yang bermakna.
Paradigma tersebut, papar Din, berakar pada prinsip-prinsip sains Islam yang di antaranya adalah harmoni dan korespondensi antara dimensi Tuhan dan alam semesta, atau lebih tepatnya dimensi Sang Pencipta dan yang dicipta. Tidak mungkin manusia dan alam semesta bekerja tanpa mengindahkan nilai-nilai etis-spiritual ketuhanan.
Terkait pengembangan sains, Din menegaskan, Islam merupakan agama yang sangat menekankan pentingnya berpikir. Tak heran, dalam Al Quran banyak terdapat ayat-ayat yang diakhiri dengan kata-kata afala ta’qilun (apakah kamu tidak berakal), afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir) atau afala yatadabbarun (apakah mereka tidak merenung).
Menurut dia, petikan ayat-ayat tersebut merupakan sindiran yang bermaksud memerintahkan manusia agar senantiasa berpikir, merenung serta menggunakan akalnya. Dalam Al Quran pertanyaan retoris seperti di atas disebut tidak kurang dari 200 kali, yang sekaligus menunjukkan betapa pentingnya berpikir.
Nilai-nilai tersebut, kata Din, dalam sains diterjemahkan dalam bentuk penelitian dan pengembangan (research and development). "Sayangnya di Indonesia riset sulit berkembang karena terkendala dana yang minim, padahal hal ini sangat krusial, terutama bagi dunia kampus," kata mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini.
Selain menghadirkan Din Syamsuddin, UMM ICoPAR 2015, juga menghadirkan sejumlah pembicara dan peneliti dari 12 negara, seperti Singapura, Jepang, Korea, serta Indonesia sebagai tuan rumah. ICoPAR diikuti oleh 205 orang peneliti dari berbagai kampus dari 12 negara.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Salah satu akar dibalik terjadinya berbagai kerusakan global di dunia ini adalah paradigma pengembangan sains yang tidak mengindahkan nilai-nilai etis, spiritual dan kebermaknaan. Paradigma sains hendaknya diarahkan pada nilai-nilai kemaslahatan," kata Din Syamsuddin saat menjadi pembicara pada The 1st International Conference on Pure and Applied Research (ICoPAR) di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu.
Ilmu ekonomi, lanjut Din, pastinya dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan. Demikian pula ilmu politik, mestinya juga diniatkan untuk mewujudkan keadilan. "Kalau politik melanggengkan oligarki, berarti politiknya tidak bernilai, dan hampa makna," ujar Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.
Oleh karena itu, katanya, yang terpenting dari sains adalah bagaimana kebermaknaan dan nilai-nilai yang dikandungnya. Dalam konteks pembangunan, jika dunia banyak berbicara tentang pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan, maka Islam senantiasa mengajak pada paradigma pembangunan berkelanjutan yang bermakna.
Paradigma tersebut, papar Din, berakar pada prinsip-prinsip sains Islam yang di antaranya adalah harmoni dan korespondensi antara dimensi Tuhan dan alam semesta, atau lebih tepatnya dimensi Sang Pencipta dan yang dicipta. Tidak mungkin manusia dan alam semesta bekerja tanpa mengindahkan nilai-nilai etis-spiritual ketuhanan.
Terkait pengembangan sains, Din menegaskan, Islam merupakan agama yang sangat menekankan pentingnya berpikir. Tak heran, dalam Al Quran banyak terdapat ayat-ayat yang diakhiri dengan kata-kata afala ta’qilun (apakah kamu tidak berakal), afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir) atau afala yatadabbarun (apakah mereka tidak merenung).
Menurut dia, petikan ayat-ayat tersebut merupakan sindiran yang bermaksud memerintahkan manusia agar senantiasa berpikir, merenung serta menggunakan akalnya. Dalam Al Quran pertanyaan retoris seperti di atas disebut tidak kurang dari 200 kali, yang sekaligus menunjukkan betapa pentingnya berpikir.
Nilai-nilai tersebut, kata Din, dalam sains diterjemahkan dalam bentuk penelitian dan pengembangan (research and development). "Sayangnya di Indonesia riset sulit berkembang karena terkendala dana yang minim, padahal hal ini sangat krusial, terutama bagi dunia kampus," kata mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini.
Selain menghadirkan Din Syamsuddin, UMM ICoPAR 2015, juga menghadirkan sejumlah pembicara dan peneliti dari 12 negara, seperti Singapura, Jepang, Korea, serta Indonesia sebagai tuan rumah. ICoPAR diikuti oleh 205 orang peneliti dari berbagai kampus dari 12 negara.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015