Lebaran sebentar lagi tiba. Dalam hitungan jari tangan, misi puasa sebagai ibadah wajib kaum Muslimin selama bulan suci Ramadhan segera berakhir.
Ragam ekspresi pun dirasakan, tidak hanya oleh kaum Muslimin yang menjalankan ibadah puasa, tapi juga oleh kalangan non-Muslim yang ikut merasakan "kebahagiaan" Lebaran. Setidaknya, mereka ikut menikmati liburan panjang dan aneka kemeriahan Lebaran, termasuk nilai ekonomis.
Namun, bukan hanya sebatas merayakan tuntasnya misi ibadah puasa selama satu bulan penuh, tetapi keindahan itu lebih bermakna saat merasakan suasana kerukunan antar-umat lintas-agama. Sikap saling menghormati tanpa harus ada lagi harus ada yang terluka, dan rasa saling toleransi tanpa selubung curiga. Mereka tulus menghormati saudaranya yang berpuasa.
Ya, Lebaran yang sebentar lagi tiba, yang oleh sebagian besar kaum Muslimin dimaknai sebagai "hari kemenangan", bisa menjadi momentum bagi umat Islam Indonesia untuk belajar dari kaum non-Muslim yang minoritas.
Belajar menghormati, belajar menghargai, belajar untuk terus membangun sikap saling toleransi tanpa rasa curiga dan sakwasangka.
Contohnya sederhana saja, kita yang Muslimin bisa memetik hikmah dari kemurahan hati tetangga, sahabat, teman, kolega yang notabene non-Muslim untuk sekadar mengucap selamat Lebaran, selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Tak jarang kita mendapati ucapan yang diembel-embeli doa "semoga masuk golongan umat yang kembali fitri/fitrah". Kembali sebagai umat yang suci bersih tanpa dosa seperti bayi yang baru lahir, seperti kertas putih kosong yang belum ada satupun coretan tinta.
Ucapan selamat yang disampaikan melalu layanan pesan singkat, jejaring sosial itu (dulu menggunakan kartu Lebaran) terkadang sedikit berlebihan, tapi setidaknya mereka punya simpati dan perhatian terhadap kebahagiaan suasana Lebaran yang tengah dirayakan umat Islam.
Ibarat kata, mereka kaum minoritas ini rela dan ihklas ikut berlebaran tanpa harus rumit memikirkan perbedaan kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Hal yang sama kadang masih sulit dilakukan oleh kita yang Muslim. Diakui atau tidak, mengucap selamat kepada penganut kepercayaan lain yang merayakan hari raya atau hari besar keagamaan, bagi sebagian kalangan masih menjadi hal tabu.
Takut ucapan selamat menyiratkan pengakuan atas keyakinan yang berbeda. Intinya takut dicap kafir, phobia berlebihan semacam itu perlu dikikis habis. Tidak sepatutnya ketakutan itu dipelihara karena pemahaman yang biasanya muncul di lingkungan mayoritas itu bisa menjadi benih sikap intoleransi bahkan kebencian.
Mengucap selamat hanya ekspresi kecil dari sikap saling menghormati, komitmen sosial yang dilahirkan melalui verbal dan tindakan untuk saling menjaga, saling menyayangi dan saling melindungi. Bukan pengakuan atas keyakinan yang berbeda.
Pelajaran
Ingat, kaum Muslimin pada zaman Nabi Muhammad SAW juga pernah menjadi unsur minoritas di lingkungan kaum kafir Quraisy yang non-Muslim.
Sikap resisten yang muncul dari kelompok mayoritas memicu gelombang peperangan antarsuku, antarkelompok, dan antarpenganut keyakinan yang berbeda: antara kaum muslimin yang saat itu muncul sebagai entitas baru melawan suku-suku Arab yang non-Muslim atau lebih dikenal dengan istilah kaum kafir Quraisy.
Tapi apakah Islam dan Nabi Muhammad SAW menginginkan perang dan permusuhan itu? Sama sekali tidak.
Islam itu agama damai. Nabi bahkan pernah mengajarkan bagaimana yang menjadi pendatang (muhajirin) bisa hidup damai berdampingan dan saling toleransi dengan masyarakat non-Muslim, baik saat masih di Mekah maupun setelah hijrah ke Madinah.
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Al-Imran: 159)
Perbedaan agama tidak menghalangi Rasulullah SAW untuk menghormati kaum non-Muslim. Mengutip artikel berjudul "Sikap Nabi Mohammad SAW terhadap kaum Non-Muslim" yang dimuat di laman/situs www.Islam-Damai.com, disebutkan bahwa Rasuluallah selalu mengajarkan Islam yang toleran.
Apapun keyakinan seseorang terdapat satu persamaan, yaitu sebagai sesama ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Esa.
Dalam sebuah riwayat disebutkan. Dari Ibnu Abu Laila bahwa ketika Qais bin Saad RA dan Sahal bin Hunaif RA sedang berada di Qadisiyah, tiba-tiba ada iringan jenazah melewati mereka, maka keduanya berdiri. Lalu dikatakan kepada keduanya: Jenazah itu adalah termasuk penduduk setempat (yakni orang kafir).
Mereka berdua berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW. pernah dilewati iringan jenazah, lalu beliau berdiri. Ketika dikatakan: Jenazah itu Yahudi, Rasulullah SAW. bersabda: Bukankah ia juga manusia?. (Shahih Muslim No.1596).
Pelajaran toleransi tidak hanya bisa diambil dari ajaran dan sejarah pertumbuhan Islam pada era nabi-nabi, tapi juga bisa dipetik dari pengalaman minoritas muslim di negara mayoritas non-Muslim.
Contoh paling mutakhir adalah semangat gotong-royong dan kesediaan turun tangan kaum Muslim Amerika Serikat dalam membangun kembali delapan gereja yang terbakar di Carleston, AS. Kampanye berupa pengumpulan dana ini disebut-sebut telah berhasil mengumpulkan puluhan ribu dolar.
Dalam beberapa kesempatan, aksi solidaritas serupa juga dilakukan kalangan gereja saat salah satu masjid yang menjadi tempat ibadat Muslim AS di negara bagian Missouri, dibakar.
Semangat toleransi diajarkan oleh masyarakat internasional terhadap saudara Muslim yang menjadi komunitas minoritas. Tidak hanya di AS, tetapi juga di belahan negara lain yang mayoritas penduduknya non-Muslim, Eropa, Amerika Latin, asia hingga Afrika.
Kita tidak menutup mata bahwa kekerasan memang masih ada dan terjadi, namun ada baiknya berkaca pada semangat toleransi seperti ditunjukkan kaum Muslim dan non-Muslim di AS di atas.
Jika di sana mereka bisa, di sini pun kita bisa. Bahkan harus lebih baik tanpa mengurangi kualitas iman dan akidah kita sebagai Muslim.
Tugas dan kewajiban umat Islam yang menjadi komunitas mayoritas di Indonesia untuk memberikan rasa nyaman, aman, dan damai pada masyarakat non-Muslim yang minoritas.
Bagaimana caranya? Tidak harus muluk dengan melakukan hal besar seperti dilakukan Muslim AS dalam kegiatan solidaritas membangun delapan gereja yang terbakar.
Mari kita mulai dari hal-hal kecil seperti berbalas salam ucapan lebaran, sekadar berjabat tangan dengan ihklas, ataupun menerimalah dengan suka cita dan rasa bahagia atas kunjungan tetangga/teman/kolega non-Muslim saat berlebaran di rumah kita.
Jika budaya toleransi dari hal-hal kecil sudah bisa dikembangkan, maka hal-hal yang lebih besar akan mengikuti. Jangan beri ruang semangat intoleransi dan sektarian berkembang. Kita bisa memulainya dari hal-hal yang paling ringan dengan memanfaatkan momentum Lebaran.
Datangnya hari raya Idul Fitri 1436 Hijriah bisa menjadi media kampanye bersama dan lintas-agama untuk meningkatkan kembali semangat toleransi, agar kualitas hubungan interumat serta antarumat beragama di Indonesia berjalan damai dan harmonis.
Jangan ada lagi kekerasan, intimidasi, bom bunuh diri, apalagi serangan terhadap kelompok lain dengan dalih agama. Bukankan puasa mengajarkan kita yang Muslim untuk bersikap menahan diri dari hawa nafsu dan sifat angkara murka.
Tidak hanya terhadap umat non-Muslim, tetapi juga terhadap sesama muslim tetapi berbeda aliran/golongan seperti kelompok Syiah Indonesia yang masih teralienasi (terpinggirkan) secara sosial. Selamat berlebaran, semoga kita menjadi umat yang lebih baik. Menjadi suci dalam dunia yang berdebu.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
Ragam ekspresi pun dirasakan, tidak hanya oleh kaum Muslimin yang menjalankan ibadah puasa, tapi juga oleh kalangan non-Muslim yang ikut merasakan "kebahagiaan" Lebaran. Setidaknya, mereka ikut menikmati liburan panjang dan aneka kemeriahan Lebaran, termasuk nilai ekonomis.
Namun, bukan hanya sebatas merayakan tuntasnya misi ibadah puasa selama satu bulan penuh, tetapi keindahan itu lebih bermakna saat merasakan suasana kerukunan antar-umat lintas-agama. Sikap saling menghormati tanpa harus ada lagi harus ada yang terluka, dan rasa saling toleransi tanpa selubung curiga. Mereka tulus menghormati saudaranya yang berpuasa.
Ya, Lebaran yang sebentar lagi tiba, yang oleh sebagian besar kaum Muslimin dimaknai sebagai "hari kemenangan", bisa menjadi momentum bagi umat Islam Indonesia untuk belajar dari kaum non-Muslim yang minoritas.
Belajar menghormati, belajar menghargai, belajar untuk terus membangun sikap saling toleransi tanpa rasa curiga dan sakwasangka.
Contohnya sederhana saja, kita yang Muslimin bisa memetik hikmah dari kemurahan hati tetangga, sahabat, teman, kolega yang notabene non-Muslim untuk sekadar mengucap selamat Lebaran, selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Tak jarang kita mendapati ucapan yang diembel-embeli doa "semoga masuk golongan umat yang kembali fitri/fitrah". Kembali sebagai umat yang suci bersih tanpa dosa seperti bayi yang baru lahir, seperti kertas putih kosong yang belum ada satupun coretan tinta.
Ucapan selamat yang disampaikan melalu layanan pesan singkat, jejaring sosial itu (dulu menggunakan kartu Lebaran) terkadang sedikit berlebihan, tapi setidaknya mereka punya simpati dan perhatian terhadap kebahagiaan suasana Lebaran yang tengah dirayakan umat Islam.
Ibarat kata, mereka kaum minoritas ini rela dan ihklas ikut berlebaran tanpa harus rumit memikirkan perbedaan kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Hal yang sama kadang masih sulit dilakukan oleh kita yang Muslim. Diakui atau tidak, mengucap selamat kepada penganut kepercayaan lain yang merayakan hari raya atau hari besar keagamaan, bagi sebagian kalangan masih menjadi hal tabu.
Takut ucapan selamat menyiratkan pengakuan atas keyakinan yang berbeda. Intinya takut dicap kafir, phobia berlebihan semacam itu perlu dikikis habis. Tidak sepatutnya ketakutan itu dipelihara karena pemahaman yang biasanya muncul di lingkungan mayoritas itu bisa menjadi benih sikap intoleransi bahkan kebencian.
Mengucap selamat hanya ekspresi kecil dari sikap saling menghormati, komitmen sosial yang dilahirkan melalui verbal dan tindakan untuk saling menjaga, saling menyayangi dan saling melindungi. Bukan pengakuan atas keyakinan yang berbeda.
Pelajaran
Ingat, kaum Muslimin pada zaman Nabi Muhammad SAW juga pernah menjadi unsur minoritas di lingkungan kaum kafir Quraisy yang non-Muslim.
Sikap resisten yang muncul dari kelompok mayoritas memicu gelombang peperangan antarsuku, antarkelompok, dan antarpenganut keyakinan yang berbeda: antara kaum muslimin yang saat itu muncul sebagai entitas baru melawan suku-suku Arab yang non-Muslim atau lebih dikenal dengan istilah kaum kafir Quraisy.
Tapi apakah Islam dan Nabi Muhammad SAW menginginkan perang dan permusuhan itu? Sama sekali tidak.
Islam itu agama damai. Nabi bahkan pernah mengajarkan bagaimana yang menjadi pendatang (muhajirin) bisa hidup damai berdampingan dan saling toleransi dengan masyarakat non-Muslim, baik saat masih di Mekah maupun setelah hijrah ke Madinah.
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Al-Imran: 159)
Perbedaan agama tidak menghalangi Rasulullah SAW untuk menghormati kaum non-Muslim. Mengutip artikel berjudul "Sikap Nabi Mohammad SAW terhadap kaum Non-Muslim" yang dimuat di laman/situs www.Islam-Damai.com, disebutkan bahwa Rasuluallah selalu mengajarkan Islam yang toleran.
Apapun keyakinan seseorang terdapat satu persamaan, yaitu sebagai sesama ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Esa.
Dalam sebuah riwayat disebutkan. Dari Ibnu Abu Laila bahwa ketika Qais bin Saad RA dan Sahal bin Hunaif RA sedang berada di Qadisiyah, tiba-tiba ada iringan jenazah melewati mereka, maka keduanya berdiri. Lalu dikatakan kepada keduanya: Jenazah itu adalah termasuk penduduk setempat (yakni orang kafir).
Mereka berdua berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW. pernah dilewati iringan jenazah, lalu beliau berdiri. Ketika dikatakan: Jenazah itu Yahudi, Rasulullah SAW. bersabda: Bukankah ia juga manusia?. (Shahih Muslim No.1596).
Pelajaran toleransi tidak hanya bisa diambil dari ajaran dan sejarah pertumbuhan Islam pada era nabi-nabi, tapi juga bisa dipetik dari pengalaman minoritas muslim di negara mayoritas non-Muslim.
Contoh paling mutakhir adalah semangat gotong-royong dan kesediaan turun tangan kaum Muslim Amerika Serikat dalam membangun kembali delapan gereja yang terbakar di Carleston, AS. Kampanye berupa pengumpulan dana ini disebut-sebut telah berhasil mengumpulkan puluhan ribu dolar.
Dalam beberapa kesempatan, aksi solidaritas serupa juga dilakukan kalangan gereja saat salah satu masjid yang menjadi tempat ibadat Muslim AS di negara bagian Missouri, dibakar.
Semangat toleransi diajarkan oleh masyarakat internasional terhadap saudara Muslim yang menjadi komunitas minoritas. Tidak hanya di AS, tetapi juga di belahan negara lain yang mayoritas penduduknya non-Muslim, Eropa, Amerika Latin, asia hingga Afrika.
Kita tidak menutup mata bahwa kekerasan memang masih ada dan terjadi, namun ada baiknya berkaca pada semangat toleransi seperti ditunjukkan kaum Muslim dan non-Muslim di AS di atas.
Jika di sana mereka bisa, di sini pun kita bisa. Bahkan harus lebih baik tanpa mengurangi kualitas iman dan akidah kita sebagai Muslim.
Tugas dan kewajiban umat Islam yang menjadi komunitas mayoritas di Indonesia untuk memberikan rasa nyaman, aman, dan damai pada masyarakat non-Muslim yang minoritas.
Bagaimana caranya? Tidak harus muluk dengan melakukan hal besar seperti dilakukan Muslim AS dalam kegiatan solidaritas membangun delapan gereja yang terbakar.
Mari kita mulai dari hal-hal kecil seperti berbalas salam ucapan lebaran, sekadar berjabat tangan dengan ihklas, ataupun menerimalah dengan suka cita dan rasa bahagia atas kunjungan tetangga/teman/kolega non-Muslim saat berlebaran di rumah kita.
Jika budaya toleransi dari hal-hal kecil sudah bisa dikembangkan, maka hal-hal yang lebih besar akan mengikuti. Jangan beri ruang semangat intoleransi dan sektarian berkembang. Kita bisa memulainya dari hal-hal yang paling ringan dengan memanfaatkan momentum Lebaran.
Datangnya hari raya Idul Fitri 1436 Hijriah bisa menjadi media kampanye bersama dan lintas-agama untuk meningkatkan kembali semangat toleransi, agar kualitas hubungan interumat serta antarumat beragama di Indonesia berjalan damai dan harmonis.
Jangan ada lagi kekerasan, intimidasi, bom bunuh diri, apalagi serangan terhadap kelompok lain dengan dalih agama. Bukankan puasa mengajarkan kita yang Muslim untuk bersikap menahan diri dari hawa nafsu dan sifat angkara murka.
Tidak hanya terhadap umat non-Muslim, tetapi juga terhadap sesama muslim tetapi berbeda aliran/golongan seperti kelompok Syiah Indonesia yang masih teralienasi (terpinggirkan) secara sosial. Selamat berlebaran, semoga kita menjadi umat yang lebih baik. Menjadi suci dalam dunia yang berdebu.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015