"Puasa adalah milik-KU," demikianlah klaim prerogatif Allah SWT yang disebut dalam sebuah Hadits Riwayat (HR) Muslim, karena itu dalam HR Muslim yang lain juga disebut ada dua kegembiraan orang yang berpuasa yakni ketika berbuka puasa dan ketika bertemu Tuhannya.

Bahkan, dua bulan sebelum Ramadhan (Rajab dan Sya'ban) juga menjadi istimewa daripada bulan-bulan lain. Bila pahala kebaikan pada bulan lain hanya diganjar 10 kali, maka pada bulan Rajab diganjar 70 kali dan pada bulan Sya'ban diganjar 700 kali, lalu Ramadhan menjadi 1.000 kali ganjaran (Hadits). Lebih dari itu, Ramadhan juga memiliki Lailaitul Qadar, sebuah malam yang lebih baik daripada seribu bulan.

Tak heran, para ulama menganjurkan puasa dan memperbanyak bersedekah pada bulan Rajab dan Sya'ban yang akhirnya "nyambung" dengan Ramadhan. Sungguh, hal itu membuktikan bahwa Ramadhan itu luar biasa. (Momentum luar biasa inilah yang mungkin ditangkap Umar bin Khattab dengan rakaat shalat tarawih yang 'melebihi' kebiasaan Rasulullah, tentu alternatif Umar itu tidak mungkin disalahkan para ulama hanya karena merasa 'eman' bila Ramadhan dijalani dengan seadanya dan apa adanya).

Tapi, keistimewaan Ramadhan itu tidak bisa diraih dengan mudah. Banyak bukti yang bisa disodorkan untuk membenarkan "tidak mudah" itu. Gairah ke masjid untuk Shalat Tarawih, gairah untuk berpakaian Muslim, dan semuanya menjadi luar biasa pada bulan Ramadhan itu. Bahkan, televisi dan instansi-instansi pun menjadi amat sangat Islami.

Ironisnya, pemandangan tahunan yang luar biasa itu hanya dalam hitungan tidak sampai satu bulan, karena hal-hal luar biasa itu mengalami degradasi pada 10 malam terakhir Ramadhan hingga akhirnya Ramadhan benar-benar pergi... Bahkan, 10 malam terakhir itu justru menunjukkan keramaian dari masjid, mushalla, dan surau bergeser ke mal dan jalanan. Tidak mudah bukan ?!.

Tentu, sikap konsumtif selama Ramadhan bukan hal yang tabu, baik berbuka dengan kuliner bergizi dan mahal di sebuah resto, maupun shalat dengan mengenakan pakaian baru dan mahal dari merek ternama yang dibeli dari sebuah mal ternama pula. Asalkan, sikap konsumtif itu demi kepentingan ibadah. Maksudnya, semuanya untuk membuat mampu beribadah dengan gizi terjamin dan sarana yang nyaman. Jadi, "konsumtif" secara duniawi itu juga harus bermakna "konsumtif" untuk ibadah, bukan untuk pamer dan narsis.

"Boleh saja konsumtif, asalkan konsumtif secara finansial itu juga untuk ibadah dan tidak berlebih-lebihan di luar kemampun serta bukan bertujuan untuk jor-joran dengan tetangga," ucap KH Abdurrahman Navis Lc MHI, pengasuh Pesantren Nurul Huda, Jalan Sencaki, Surabaya, 18 Juni lalu.

Pandangan Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim itu bisa menjadi cermin tentang pentingnya menjalani ibadah puasa Ramadhan yang luar biasa itu dengan cara-cara yang luar biasa. Maksudnya, menjalani Ramadhan dengan mengembalikan semuanya untuk Allah SWT sebagai "pemilik" Ramadhan.Seorang sufi berkata: perbanyaklah ibadah, karena tidak tahu mana ibadah kita yang diterima.

Betul, hal itu memang tidak mudah, tapi 'eman banget' (sayang sekali) bila Ramadhan yang luar biasa itu disikapi dengan bukan hanya untuk Allah SWT. Bila bukan "konsumtif" ibadah, maka Ramadhan yang dijalani bukan Ramadhan luar biasa, melainkan Ramadhan biasa-biasa saja...

ya, kehidupan itu ibarat main bola
ada jeda istirahat
ada perpanjangan waktu
ada adu penalti
ada kartu kuning
ada kartu merah
ada pergantian pemain
ada juga gol...
kita tak pernah tahu diberi yang mana
pilihan kesempatannya berpulang pada kita...
apakah luar biasa...
atau biasa-biasa saja... (*).

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015