Tulungagung (Antara Jatim) - Seorang pemuda miskin di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur mengidap penyakit pembesaran kepala akibat gangguan saluran cairan di dalam otak (hidrosefalus) bertahun-tahun, kesulitan mengurus kartu BPJS kesehatan karena minimnya sosialisasi serta fasilitasi pemerintah desa tempatnya tinggal.
"Kami tidak tahu program itu (BPJS) ada. Belum pernah dengar," kata Dianingsih (31), kakak penderita hidrosefalus bernama Damar (24) tersebut di Tulungagung, Jumat.
Keduanya tinggal di Desa Sumberejo Kulon, Kecamatan Ngunut. Sehari-hari, Damar hanya bisa tergolek lemah tanpa daya di atas dipan dalam kamarnya yang reot.
Menurut Dianingsih, Damar sebenarnya sudah pernah menjalani operasi di RSUD dr Soetomo Surabaya sebanyak tiga kali, sekitar 10-15 tahun silam atau saat usia adiknya beranjak memasuki sembilan tahun.
Namun, operasi yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil maksimal. Sekalipun cairan dalam kepala Damar sebagian bisa dikeluarkan, pembengkakan kembali terjadi.
"Dokter saat itu mengatakan pada orang tua saya agar tiap tahun dioperasi, namun karena operasi ketiga justru membuat mata adik saya itu buta. Akhirnya orang tua menghentikan operasi," tutur Dian.
Pembengkakan lanjuta pada batok kepala Damar berhasil dikurangi setelah dokter yang kala itu menangani, memasang selang untuk saluran pembuangan cairan dari dari kepala ke kelamin.
Tetapi, setelah itu Damar tidak pernah lagi tersentuh perawatan sama sekali.
Selain faktor dugaan malapraktek yang menyebabkan pemuda itu mengalami kebutaan, keluarganya tidak memiliki cukup biaya.
Harta benda, termasuk tanah warisan keluarga sudah terjual untuk pengobatan Damar sebelumnya.
"Hingga kini selang belum di copot," ucapnya, lirih.
Ibu Damar, Maryatin, meninggal dunia sekitar sembilan bulan lalu karena stroke. Sementara ayahnya, Atim (60) tiap hari pergi seperti orang depresi.
Ningsih sendiri yang sudah punya rumah sendiri dibebani empat anak yang masih kecil-kecil.
"Saya takutnya jika adik kumat kejang-kejang sementara di rumah jarang ada orang," keluhnya.
Sebelum sang ibunya meninggal, lanjut Ningsih, meskipun sudah tak berharap bisa sembuh, namun perawatan tetap bisa dilakukan.
Jika masih ada harapan disembuhkan, Ningsih mengaku tidak mampu membayar perawatan medis karena kondisi ekonomi mereka yang serba pas-pasan.
"Jika memang masih memungkinkan, kami berharap ada memfasilitasi adik saya untuk mendapat perawatan dengan pembiayaan BPJS itu," cetus Ningsih.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015