Oleh Rangga Pandu Asmara Jingga Batam (Antara) - Ramai-ramai insan pers di Tanah Air berhimpun, berduyun-duyun datang dari segala penjuru, sejak Sabang sampai Merauke, lewat darat, laut dan udara, menuju Kota Batam dan Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Insan pers datang bukan karena kabar tragedi atau bencana, pesta pora maupun duka cita. Mereka menghadiri, merayakan, dan mungkin pula perlu merenungi profesinya bertepatan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2015 yang dipusatkan di Provinsi Kepri. Setidaknya ada beberapa penggal kalimat yang sepatutnya menyapa sanubari dan menjadi cermin introspeksi insan pers Indonesia, yang terlontar sepanjang rangkaian perayaan HPN 2015. Misalnya dengan apa yang disampaikan Ketua Dewan Pers Bagir Manan, "Dalam suasana kegaduhan demi kegaduhan kekuasaan, pers tidak semestinya menjadi terompet apalagi menjadi bagian dari kegaduhan itu". Apa yang disampaikan Bagir bukan tanpa sebab. Sedikitnya Bagir pernah berucap, dalam prosesi Pilpres 2014, insan pers tidak boleh menutup mata atau telinganya, bahwa ada media yang diarahkan sedemikian rupa atas kepentingan kekuasaan, untuk menjadi partisan. Akibatnya kegaduhan tak terhindarkan lagi, baik di lembaga pemerintahan, perkantoran, rumah tangga, hingga kelas obrolan jalanan. Publik bak diombang-ambingkan bingkai pemberitaan oknum media yang menyemukan fakta atau sebaliknya. Bagir menekankan, media sepatutnya menjadi "spearhead" atau ujung tombak untuk menuntun publik keluar dari segala kegaduhan yang tidak memberikan manfaat. Media tidak boleh menjadi bagian dalam kegaduhan itu sendiri. Menurut dia, dalam tradisi pers demokratis, pers dipersilakan membuka peluang diskusi secara bebas namun tetap bertanggung jawab dengan tidak menciptakan konflik. Kalimat cermin introspeksi diri bagi insan pers juga dikemukakan Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah. Nurdin mengatakan bahwa pers hendaknya tidak dijadikan sarana pencitraan. "Berbahaya apabila pers dijadikan sarana pencitraan suatu daerah," kata Nurdin. Pernyataan Nurdin itu sebetulnya merupakan imbauan bagi kepala daerah untuk tidak menggunakan media sebagai sarana pencitraan semu. Imbauan yang berpeluang, atau justru sudah terjadi jika mau disebut bukan rahasia umum lagi. Ketika media hanya dijadikan pencitraan semu, rakyat akan memilih jalannya sendiri untuk bereaksi. Kegaduhan pun bisa kembali terjadi. "Ketika citra semu daerah dipublikasikan media (yang dimanfaatkan sebagai media pencitraan) dan kenyataannya jauh berbeda, masyarakat lokal akan bereaksi terhadap kepala daerah bersangkutan. Coba kalau daerah dibangun dulu dengan baik, otomatis media akan masuk (meliput), dan ke mana pun diwawancarai, pasti bahasanya sama," jelas Nurdin. Menyikapi ini Bagir Manan menyebut, sejatinya pers tidak membutuhkan perlindungan atas segala persoalan yang melandanya. Pers secara mandiri dapat melindungi dirinya sendiri dengan terus bekerja di bawah ketentuan kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers. Peningkatan Pengawasan Pers Pers selama ini telah memiliki pengawasnya sendiri, yaitu moral dan etika para individu pelakunya, serta tentu saja Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia selaku lembaga yang ditunjuk sebagai "hakim" sekaligus penjaga kebebasan pers. Tetapi di sela-sela rangkaian perayaan HPN 2015, mencuat isu pemerintah bakal meningkatkan pengawasan terhadap pers. Isu ini, walaupun dibisikkan, agaknya tetap memekakkan telinga kalangan jurnalis. Menurut anggota Dewan Pers Muhammad Ridlo Eisy, ditengarai ada upaya dari salah satu instansi eksternal pemerintah untuk meningkatkan pengawasan terhadap media di tanah air, dengan cara mengirimkan surat bersifat rahasia kepada Presiden Joko Widodo. Sepengetahuan Ridlo, dalam surat yang kabarnya mencapai enam halaman itu, instansi eksternal pemerintah tersebut mengonsultasikan kepada Presiden Jokowi agar Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberikan kewenangan lebih dalam pengawasan media. Dalam salah satu poin diusulkan agar Dewan Pers beserta KPI diberikan kewenangan melakukan pemberedelan terhadap media yang dianggap kebablasan dalam melakukan pemberitaan, serta diusulkan pula agar struktur keanggotaan Dewan Pers dipilih melalui mekanisme uji kepatutan dan kelayakan di DPR RI. Semua upaya peningkatan pengawasan itu ditengarai bakal diatur melalui revisi UU Pers, lantaran pers dianggap telah kebablasan dalam menjalankan demokrasi. Ridlo menegaskan sejauh ini pihaknya sama sekali tidak memiliki niat atau keinginan melakukan pemberedelan terhadap media-media di Indonesia, karena insan pers telah memiliki kode etik dan Undang-Undang Pers yang menjadi acuan. "Kita tidak akan bertindak seperti itu (melakukan pemberedelan). Kita ini rezim etik," kata Ridlo. Dia menjelaskan, selama ini Dewan Pers telah menjalankan tugasnya mengawasi media massa sesuai aturan kode etik jurnalistik dan UU Pers. Di sisi lain KPI selama ini juga telah melakukan pengawasan terhadap media elektronik berbekal UU Penyiaran. Proses pengecekan itu dilakukan dari aspek administratif misalnya apakah media bersangkutan patuh terhadap kode etik jurnalistik dan UU Pers atau tidak, serta dilihat dari aspek teknis misalnya apakah media tersebut berbadan hukum atau tidak, memiliki alamat jelas atau tidak, serta beritikad baik atau tidak. Lebih jauh Ridlo menegaskan tidak perlu disebutkan siapa instansi eksternal pemerintah yang melayangkan surat kepada Presiden Jokowi, karena suratnya pun bersifat rahasia. Insan pers cukup mengkritisi materi atau isi dari surat tersebut, karena menyangkut kebebasan pers yang telah diatur undang-undang. Waspada Pers Pancasila Isu peningkatan pengawasan terhadap pers tercermin pula dari pandangan Ridlo mengenai "Pers Pancasila". Ridlo mengingatkan frasa "Demokrasi Pancasila" digunakan rezim Orde Baru selaku penguasa untuk melarang semua ideologi berkembang di Indonesia, termasuk ideologi agama, untuk hidup di Indonesia. Kala itu Pancasila menjadi asas tunggal. Organisasi apa pun wajib menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas atau dasar tumpuan berpikir dan berpendapat. "Dengan cara sakralisasi dan mistikasi ideologi Pancasila, penguasa menindas lawan-lawan politiknya sebagai anti-Pancasila," kata dia. Hal yang sama berlaku dengan istilah "Pers Pancasila". Dengan adjektif Pancasila, penguasa era Orde Baru bisa memberedel media di Indonesia. "Nyaris tidak ada kebebasan media pada saat Orde Baru. Media hanya bebas kalau memuji-muji penguasa. Media yang mengkritisinya, segera diingatkan, dan diberedel kalau tetap membandel," ujar dia. Singkat kata, ujar Ridlo, nama baik Pancasila seperti dirusak oleh Orde Baru, sehingga orang harus sangat berhati-hati jika menggunakan istilah Pancasila, dalam percakapannya. Pertanyaannya, apakah jika pemerintah/pejabat saat ini terlalu sering mengucapkan Pancasila dalam pidatonya, dapat diartikan pengawasan media akan kembali seperti zaman Orde Baru? Apapun itu, seperti dikatakan Bagir Manan, pers harus menjaga dirinya sendiri baik dari pelanggaran etika maupun upaya-upaya yang bernada memenggal kebebasan dalam bersikap kritis yang konstruktif. Pers bukanlah terompet kegaduhan, pekerjaan yang memperkeruh suasana, atau alat rekayasa citra. HPN 2015 sepatutnya menjadi sarana bagi insan pers untuk menyapa sanubarinya sendiri. Selamat Hari Pers Nasional 2015. (*)

Pewarta:

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015