Tulungagung (Antara Jatim) - Dinas Peternakan Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur tengah menyelidiki kematian mendadak sejumlah sapi perah di Kecamatan Pagerwojo, menyusul keresahan peternak akan bahaya virus anthrax sebagaimana terjadi di salah satu wilayah Kabupaten Blitar.
"Kami langsung mengambil langkah secara prosedur setelah mendapat kabar adanya sapi mati di daerah Pagerwojo," kata Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Tulungagung, Tatik Andayani, Jumat.
Kepada wartawan, ia mengaku belum bisa memastikan penyebab kematian mendadak empat ekor sapi perah milik sejumlah peternak di daerah Pagerwojo.
Alasannya, kata Tatik, pihaknya masih harus menunggu hasil pemeriksaan laboratorium atas sampel cairan serta beberapa ptongan bagian organ tubuh ternak sapi yang mati.
"Tunggu pengumuman resminya dalam beberapa hari ke depan," ujarnya.
Tatik berdalih, kasus kematian ternak secara umum lazim terjadi di musim hujan, seperti saat ini.
Tidak hanya sapi, kata Tatik, hewan ternak lain seperti kambing dan ayam juga sangat mudah terserang penyakit akibat perubahan cuaca secara ekstrem.
Mengantisipasi risiko itulah, Tatik mengaku telah menyiagakan sejumlah dokter hewan di 19 kecamatan se-Tulungagung.
"Kesiagaan kami lakukan supaya saat ada laporan bisa segera kami tangani," ujarnya.
Sebelumnya, Warga Desa Segawe, Kecamatan Pagerwoj resah dengan kematian mendadak empat ekor sapi dalam sepekan terakhir.
Mereka khawatir sapi-sapi itu mati karena virus anthrax, yang sebelumnya sudah menjangkit wilayah Blitar.
"Tidak ada tanda-tanda sebelumnya padahal sore masih sehat tapi pagi sudah ditemukan mati," ujar Siswanto, salah satu pemilik sapi yang mati.
Peternak yang memiliki enam ekor sapi ini menceritakan, saat ditemukan sapi mati dengan mengeluarkan darah dari lubang duburnya.
Karena takut sapi kemudian dibakar dan dikubur di belakang kandang hewan.
Setelah itu Ssiwanto segera melaporkan kejadian tersebut ke perangkat desa.
"Setelah itu ada petugas dari dinas peternakan melakukan vaksinasi dan menyemprot ke sekitar kandang," tuturnya.
Akibat kematian sapi itu, Siswanto mengaku mengalami kerugian besar. Pasalnya selain sapi mati, dia juga tidak diperbolehkan menjual hasil perahan susu dari sapi yang berada satu kandang.
Padahal setiap hari memberikan makanan dan menghasilkan susu sapi sekitar 45 liter, dengan harga jual setiap liter Rp4.500 hingga Rp4.600.
Kalau dikalkulasi setiap hari mengalami kerugian sekitar Rp100 ribu. "Namun ada pemberian ganti rugi dari dinas sehingga sedikit membantu," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014