Tulungagung (Antara Jatim) - Perusahaan pers nasional maupun lokal harus segera beradaptasi menghadapi era globalisasi yang semakin canggih dan kompleks seiring tumbuh suburnya produk sosial media yang melahirkan aliran jurnalisme warga dalam satu dasawarsa terakhir. "Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan segera berlaku pada akhir 2015, pers harus siap menghadapi era globalisasi yang semakin kompleks," ujar Ketua PWI Jatim, Akhmad Munir, saat menjadi pembicara tunggal sesi diskusi publik dalam acara pelantikan pengurus PWI Tulungagung periode 2014-2017 di Tulungagung, Selasa. Dalam diskusi publik yang dimoderatori anggota KPU Tulungagung, Suyitno Arman itu, ia menyitir dua isu globalisasi yang sempat disinggung sejumlah peserta diskusi yang terdiri dari kalangan pekerja media, LSM, aktivis mahasiswa, dan perwakilan birokrasi di Tulungagung, Trenggalek dan Blitar tersebut. Isu pertama diajukan salah seorang jurnalis lokal anggota Ikatan Wartawan Indonesia (IWI) Arief Grinsing, yakni terkait pengaruh sosial media terhadap eksistensi media massa mainstream yang telah lebih dulu ada. Isu kedua terkait kebijakan masyarakat ekonomi Asean yang dikemukakan Sekretaris Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Tulungagung, Slamet Sunarto. "Saya ingin mengajak forum diskusi ini untuk tidak hanya bicara soal internal dunia pers, tetapi juga wilayah eksternal menyangkut MEA mengingat sebagian masyarakat kita belum sepenuhnya siap menghadapi era pasar global tersebut," cetus Slamet. Slamet berharap institusi media tidak hanya bersiap menghadapi persaingan global, khususnya di pasar Asean, tetapi juga aktif menyosialisasikan wacana MEA kepada publik. "Dengan begitu masyarakat bisa lebih siap dan berbenah menghadapi persaingan pasar bebas Asean. Pers dalam hal ini harus menjadi ujung tombak informasi," tandasnya. Menanggapi hal itu, Munir yang juga Kepala Biro LKBN ANTARA Jawa Timur itu menggambarkan kebijakan redaksi ANTARA yang selalu "update" setiap pekannya. Dalam setiap perencanaan redaksi, lanjut dia, isu-isu global termasuk kebijakan pasar terbuka Asean menjadi atensi untuk ditindaklanjuti seluruh pewarta di pusat, daerah, maupun desk internasional. "Saya yakin kebijakan serupa juga diberlakukan media massa nasional lainnya. Untuk media lokal, saya pikir hal ini juga perlu menjadi perhatian," kata Munir. Selain masalah globalisasi, ada beberapa isu lama yang sempat menjadi bahasan utama dalam diskusi tersebu, yakni masalah legalitas media atau perusahaan pers serta kompetensi jurnalis di daerah. Beberapa staf humas dari berbagai instansi Pemkab Tulungagung dan Trenggalek, misalnya, mereka mengeluhkan banyaknya media lokal yang belum memiliki akta pendirian dan berbentuk PT, sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Undang-undang pers. Ketidakmengertian sebagian kalangan media lokal terkait aturan itu mereka katakan acapkali menjadi sumber kesalahpahaman dengan jajaran birokrasi, khususnya humas pemkab. "Memang keberadaan wartawan yang hanya mengandalkan 'keplek' lalu mencari uang dengan statusnya sebagai wartawan, menjadi racun di dunia jurnalis yang sehat. Perilaku seperti ini memang harus direduksi, bahkan ditiadakan seperti semangat yang diemban Dewan Pers selama ini," ujarnya. Secara khusus, Munir mendorong setiap perusahaan media agar segera mengurus izin menjadi PT. Hal itu dimaksudkan Munir supaya manajemen perusahaan pers/media bersangkutan lebih lincah dan efektif dalam melakukan kebijakan ataupun kerja sama dengan pihak swasta maupun negeri. Standarisasi wartawan di lapangan menurutnya perlu terus ditingkatkan dengan mengacu kompetensi dalam proses sertifikasi jurnalis yang diakui Dewan Pers. "Tujuan mulia dari penataan perusahaan media melalui perizinan menjadi PT ini supaya mereka lebih bertanggung jawab dan profesional. Tidak hanya dalam setiap produk jurnalistinya, tetapi juga dalam pemenuhan kewajiban terhadap hak-hak karyawannya, seperti asuransi, jaminan kesehatan, standar upah yang layak dan sebagainya," pungkas Munir. (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014