Pemerhati politik hari-hari ini dibuat pusing tujuh keliling mendekati masa pentahapan pendaftaran Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden pada 18-20 Mei 2014, tidak terkecuali wartawan. Dalam sehari, tersaji ratusan berita, baik hasil analisis pengamat maupun pernyataan langsung dari para tokoh politik terkait dengan komentarnya tentang Capres dan Cawapres. Namun tak satu pun yang mengandung kebenaran dan bisa dipercaya. Pagi bilang A, siang sudah lain lagi, sore pun beda dan malam hari bisa tidak nyambung atau dapat kembali lagi ke A. Ketidakpastian ini bisa terjadi karena tidak disengaja atau ada yang memang bermaksud mengacak radar politiknya agar arah politiknya susah dilacak. Maka, setiap langkah dari mereka yang telah mendeklarasikan diri menjadi Capres, harus diperhitungkan masak-masak sebelum menetapkan pilihan dalam menentukan Cawapresnya. Prabowo, misalnya, tidak serta merta mendeklarasikan cawapres pasangannya yaitu Hatta Rajasa ketika ia mengantar Ketua Umum Partai Amanat Rakyat (PAN) itu menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengajukan permohonan pengunduran dirinya. Prabowo sengaja tidak langsung mendeklarasikan Hatta sebagai pasangannya untuk jabatan Cawapres karena menunggu reaksi dari para partai politik yang menjadi koalisinya. Ternyata benar, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Keadilan Sejahtera yang menyatakan diri bergabung untuk mendukung pencalonan Prabowo sebagai Presiden, terang-terangan menolak Hatta Rajasa disandingkan dengan Prabowo. Mereka menganggap elektabilitas Hatta biasa-biasa saja dan tidak terlalu istimewa. Anehnya, PPP berkehendak mengajukan Ketua Umumnya, Suryadharma Ali, sebagai Cawapres. Begitu pun PKS mengajukan tiga nama petingginya untuk dipilih sebagai cawapres, yaitu Presiden PKS Anis Mata, Hidayat Nurwahid dan Ahmad Heryawan. Padahal, elektabilitas nama-nama yang diajukan partai koalisi Partai Gerindra itu setali tiga uang, alias tidak juga luar biasa. Prabowo tentu gamang menghadapi sikap dua partai kolaboratornya itu dan diperlukan kehati-hatian untuk menjelaskan keinginannya dalam memilih Hatta Rajasa. Lain lagi di kubu Jokowi. Mereka tidak buru-buru menetapkan Cawapresnya karena berbagai pertimbangan, seperti halnya ketika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang tidak segera mendeklarasikan Jokowi sebagai Capresnya meski hampir semua lembagai survei menempatkannya sebagai Capres dengan tingkat keterpilihan paling tinggi. PDIP tampaknya masih menunggu hasil Rapimnas Partai Golkar dan Partai Demokrat yang digelar bersama pada Minggu 18 Mei 2014. Mengetahui kedua partai kompetitornya itu sama-sama tidak menghasilkan keputusan berarti, memudahkan PDIP dalam menjaring Cawapres. Karena Prabowo sepertinya sudah memilih Hatta Rajasa meski menghadapi penolakan di kalangan internal koalisi, Jokowi dengan mudahnya mencomot Jusuf Kalla yang merupakan representasi dari partai besar Golkar sekaligus dalam upaya menarik suara dari massa partai beringin pada Pilpres mendatang. Aburizal Bakrie harus merelakan kadernya dipinang partai lain sebagai Cawapres karena peluang ARB untuk menjadi penguasa negeri ini sudah tertutup ketika Ketua Umum Partai Demokrat SBY mengumumkan hasil Rapimnas bahwa partainya tidak ke Jokowi maupun Prabowo dan menganulir wacana menyandingkan ARB dengan kader Demokrat, Pramono Edhi Wibowo karena mungkin rikuh dengan Dahlan Iskan yang memenangi konvensi Capres Demokrat. Ical memang kurang beruntung. Uang dia punya, suara partainya pun terbesar kedua. Tapi semua itu tidak berbanding lurus dengan harapan menggapai cita-cita menjadi penguasa. Dengan hanya menampilkan dua Capres, tentu akan menghemat tenaga dan biaya pelaksanaan Pemilu karena hanya berlangsung satu putaran. Plus minus kedua pasangan Capres-Cawapres pun sudah banyak diketahui oleh umum. Karena itu, silakan memilih sesuai keinginan hati. (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014