Trenggalek (Antara Jatim) - Sebagian hutan lindung yang menjadi habitat alami macan tutul jawa, di sepanjang kawasan pesisir selatan Kabupaten Trenggalek, Tulungagung, hingga Kabupaten Blitar, sebagian rusak akibat aktivitas perambahan dan pembukaan lahan untuk pertanian oleh masyarakat sekitar. Koresponden Antara di Trenggalek, Kamis melaporkan, aktivitas pembukaan lahan di kawasan hutan lindung Gunung Kumbokarno, Watulimo, Trenggalek, misalnya, sudah terlihat sejak musim kemarau tahun lalu. Warga yang diduga kelompok pesanggem (anggota pengelolaan hutan bersama masyarakat/PHBM), melakukannya dengan membakar semak-belukar yang ada di lereng tebing, sehingga membuat sebagian vegetasi tanaman kayu ikut mati. Setelah dibiarkan beberapa lama, beberapa bagian kaki dan punggung gunung yang menjadi kawasan hutan lindung itu kini terlihat "botak". Para pesanggem atau masyarakat yang secara sengaja melakukan pembukaan lahan kini memanfaatkannya untuk bercocok tanam aneka palawija dan tanaman umbi-umbian. "Kami menyesalkan kenapa petugas (Perhutani) membiarkan saja, padahal hutan lindung seharusnya tidak boleh dirambah untuk kepentingan dan alasan apapun, termasuk kegiatan pertanian," kecam Sobirin, tokoh warga Desa Prigi, Kecamatan Watulimo. Dari total luasan hutan lindung Gunung Kumbokarno yang mencapai 350 hektare lebih, Sobirin maupun sejumlah warga lain menengarai kerusakan akibat aktivitas perambahan hutan cukup banyak. Menurut keterangan dan kesaksian warga serta polisi hutan setempat, Gunung Kumbokarno diyakini sebagai salah satu habitat alamimacan tutul jawa maupun macan kumbang yang masih teridentifikasi keberadaannya. "Pasalnya yang di balik gunung dan tidak terlihat dari jalan umum dan perkampungan," ujarnya. Wakil Administratur BKPH Kediri Selatan, Wahyu Dwi Hatmojo secara tidak langsung membenarkan sejumlah kawasan hutan lindung di wilayahnya "tak lagi perawan". Meski tak serta-merta menyinggung soal pembalakan hutan ataupun aktivitas pembukaan lahan di kawasan hutan lindung, ia mengakui kawasan-kawasan cagar alam tersebut sudah banyak dirambah manusia, terutama pencari kayu, pemburu, serta pencari aneka hasil hutan lainnya. Kondisi kurang lebih sama terjadi di sejumlah kawasan hutan lindung lain yang membentang di pesisir selatan Trenggalek, mulai dari Panggul, Munjungan, Watulimo, hingga pesisir selatan Tulungagung dan Blitar yang luasnya diperkirakan mencapai 30 ribuan hektare. "Bagaimanapun aktivitas pembalakan maupun perambahan (hutan) itu masih terjadi di beberapa kawasan. Tapi kami terus berupaya memperketat pengamanan melalui patroli rutin,"kata staf Humas KPH Blitar, Romi Yulianto. Keduanya tidak menyebut secara spesifik kerusakan hutan lindung di wilayah mereka. Romi mengisyaratkan prosentasenya tidak sampai lima persen dari total luas hutan lindung di KPH Blitar yang mencapai 16,524 hektare. Sementara Wahyu belum mengkonfirmasi data resmi luasan hutan lindung maupun potensi kerusakannya dengan dalih tidak ingat persis hasil rekapitulasinya hingga akhir 2013. Bagaimanapun, kerusakan hutan, menyempitnya lahan, serta aktivitas perambahan hutan oleh manusia di kawasan primer yang menjadi habitat alami aneka satwa liar, khususnya macan tutul jawa (panthera pardus melas) tersebut cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, habitat alami macan tutul yang menurut keterangan sejumlah warga dan polisi hutan masih ada, kini semakin terdesak. Sebagaimana rilis resmi dalam Konferensi Nasional Konservasi Macan Tutul Jawa di Cisarua, Bogor, kucing besar khas jawa ini masuk dalam kategori "critically endangered" (kritis) dalam daftar spesies-spesies terancam IUCN (International Union for Conservation of Nature) dan berada dalam kategori apendiks 1 dalam CITES. Selain tingkat perkawinan dan perkembangbiakan alami yang rendah, kuat dugaan semakin menyempitnya habitat menjadi alasan di balik ancaman kepunahannya. Hingga kini, tidak ada data pasti mengenai jumlah macan tutul yang hidup di alam. (*)

Pewarta:

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014