Jenewa, (Antara/AFP) - Sekitar 40 mayat ditemukan dalam waktu satu hari saja di Bangui, setelah bentrokan-bentrokan di ibu kota Republik Afrika Tengah tersebut, kata Komite Internasional Palang Merah (ICRC) kepada AFP di Jenewa, Kamis.
"Sekitar 40 mayat ditemukan untuk saat ini, dan bantuan pertama diberikan kepada sekitar 60 orang yang cedera," kata juru bicara ICRC David Pierre Marquet.
Mayat-mayat itu ditemukan sejak Rabu di Bangui oleh Palang Merah cabang Afrika Tengah, katanya, dengan menambahkan bahwa sekitar 60 mayat lain ditemukan pada Senin lalu.
Marquet mengatakan, ICRC belum mengetahui jumlah pasti korban tewas sejak gelombang kekerasan terakhir meletus di Republik Afrika Tengah pada 5 Desember.
"Kami akan mengetahui lebih banyak besok (Jumat) karena saat ini diberlakukan larangan keluar rumah dan tidak ada orang yang boleh keluar rumah, bahkan personel penanganan darurat," tambahnya.
Amnesti Internasional mengatakan, sedikitnya 1.000 orang tewas dalam bentrokan dua hari sejak 5 Desember. Sejak itu tidak ada laporan jumlah korban yang bisa dipercaya.
Republik Afrika Tengah dilanda kekacauan dan kekerasan sektarian antara komunitas Kristen dan Islam sejak gerakan pemberontak Seleka menggulingkan Presiden Francois Bozize pada Maret setelah perjanjian perdamaian gagal.
Seleka, yang berarti "aliansi", menandatangani sebuah pakta perdamaian pada 11 Januari dengan pemerintah Presiden Francois Bozize di ibu kota Gabon, Libreville.
Perjanjian yang ditengahi oleh para pemimpin regional itu menetapkan pemerintah baru persatuan nasional, yang dibentuk dan dipimpin oleh seorang anggota oposisi, Nicolas Tiangaye, dan mencakup anggota-anggota Seleka.
Perjanjian itu mengakhiri ofensif sebulan Seleka yang dengan cepat menguasai wilayah utara dan berhenti antara lain berkat intervensi militer Chad sebelum pemberontak itu menyerbu Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah.
Seleka, sebuah aliansi dari tiga kelompok bersenjata, memulai aksi bersenjata mereka pada 10 Desember 2012 dan telah menguasai sejumlah kota penting di Republik Afrika Tengah. Mereka menuduh Presiden Francois Bozize tidak menghormati sebuah perjanjian 2007 yang menetapkan bahwa anggota-anggota yang meletakkan senjata mereka akan dibayar.
Selain pasukan Prancis yang sudah berada di Republik Afrika Tengah, Uni Afrika berencana meningkatkan jumlah pasukan regional menjadi 6.000, dari 3.600 yang direncanakan.
Militer Prancis mengumumkan, Minggu (8/12), sekitar 1.600 prajurit Prancis telah ditempatkan sesuai dengan rencana di Republik Afrika Tengah.
Juru bicara militer Kolonel Gilles Jaron mengatakan, pasukan telah berada di lapangan, sebagian besar di ibu kota negara itu, Bangui, dan sejumlah satuan ditempatkan di beberapa daerah lain.
Pasukan Prancis pada 9 Desember mulai melucuti persenjataan militan di Republik Afrika Tengah setelah peningkatan kekerasan sektarian yang merenggut ratusan jiwa. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013