Surabaya (Antara Jatim) - Ribuan buruh dari "basis industri" di Jatim berencana menggelar unjuk rasa untuk menolak Inpres Upah Murah dan menuntut upah minimum Jatim sebesar Rp3 juta atau naik 50 persen. "Para buruh dari Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Gresik dan Mojokerto itu tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jawa Timur," kata juru bicara KSPI Jatim, Jamaluddin, Selasa. Dalam aksi ke Gedung Negara Grahadi itu, ribuan buruh akan mengajak para kepala daerah mulai dari gubernur hingga bupati/wali kota untuk menolak Inpres Upah Murah itu. "Tuntutan tambahan adalah dijalankannya jaminan kesehatan nasional untuk buruh dan rakyat dan dihapuskannya sistem 'outsourcing' (alih daya)," katanya. Ia menegaskan bahwa pihaknya menentang Instruksi Presiden tentang Upah Minimum sebagaimana disampaikan Menko Perekonomian, Menteri Perindustrian dan Menakertrans, karena kesejahteraan kaum buruh masih minim. Dalam Inpres Upah Minimum itu, pemerintah akan membuat formula baru upah minimum dengan perhitungan berbasiskan tingkat inflasi ditambah X persen yang akan ditentukan melalui mekanisme tripartit dan akan berlaku bagi kelompok industri padat modal, padat karya dan UKM. "Untuk tahun 2014, batasan kenaikan upah minimum adalah sebesar inflasi dengan batas atas maksimal 10 persen di atas inflasi tahunan untuk industri besar, sedangkan untuk industri padat karya dan UKM maksimal 5 persen," katanya. Oleh karena itu, pihaknya menolak keras Inpres Upah Minimum itu, karena Inpres itu justru memposisikan pemerintah pusat sebagai "broker" pengupahan dalam Rezim Upah Murah yang akan memiskinkan kaum buruh secara terstruktur dan sistematis melalui sentralisasi kebijakan upah minimum yang rendah. "Inpres itu juga inkonstitusional, karena amanat UUD 1945 tentang paradigma kebijakan pengupahan adalah upah layak sehingga Inpres Upah Murah melanggar Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28 D ayat 2 UUD 1945," katanya. Selain itu, Inpres itu juga ilegal, karena Upah Minimum buruh itu ditetapkan oleh Gubernur dan berbasiskan survei Kebutuhan Hidup Layak, bukan intervensi Presiden dengan perhitungan berdasarkan tingkat inflasi semata. "Itu melanggar Pasal 88 ayat 4 dan Pasal 89 ayat 3 UU 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, lalu Pasal 89 ayat 3 mengatur bahwa Upah Minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan atau Bupati/Wali Kota," katanya. Oleh karena itu, KSPI mendesak Presiden agar menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang upah yang menjamin kesejahteraan buruh dan keluarganya seperti yang diamanatkan UU 13/2013 pasal 97, kemudian DPR juga berinisiasi menerbitkan UU tentang Sistem Pengupahan Nasional. "Peraturan dan sistem pengupahan itu penting, karena Upah Murah akan semakin menghancurkan daya beli buruh yang terpuruk akibat kenaikan harga BBM yang berdampak pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya hingga 30 persen," katanya. (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013