Maraknya pedagang bendera dan penjaja replika merah putih di berbagai setopan lampu lalu lintas, mengingatkan kita akan datangnya Hari Kemerdekaan RI. Tanpa mereka, kita sering mengabaikan peringatan bersejarah yang membuat kita bisa “merdeka” seperti sekarang ini. Alih-alih mengingat perjuangan para pahlawan kemerdekaan, merasa bersyukur atas perjuangan mereka saja belum tentu terucap. Bahkan, kesadaran untuk memajang bendera di halaman rumah pun, terkadang kita harus diingatkan para pemimpin daerah melalui seruan di media massa. Kecenderungan bersikap apatis oleh sebagian masyarakat itu memang bisa dimengerti. Bagi mereka, apalah arti merayakan hari kemerdekaan kalau pada kenyataannya mereka sendiri tidak merasa “merdeka”. Kehidupan getir para buruh, apakah itu buruh pabrik atau buruh tani dan profesi semacamnya, yang hidupnya pas-pasan, sering membuat mereka berkeluh-kesah dan merasa bangsa dan Negara ini bukan milik mereka. Klaim pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi negeri ini maju pesat, tak mereka rasakan. Yang mereka pikirkan, apakah masih ada kehidupan di hari esok? Terbelenggu dalam kemelaratan serta tertindas di bidang pendidikan yang masih terbelakang oleh sebagian masyarakat kita, rasanya merupakan musuh yang harus diperangi oleh para pemimpin negeri ini, di saat sekarang dan masa mendatang. Perlu diwaspadai, menjelang Pemilu 2014 ini, banyak orang mengobral janji dengan jargon-jargon yang memikat hati. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk mengelabui rakyat menjadi pendukungnya dalam pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden. Rakyat sebenarnya sudah jengah melihat perilaku para pemimpin yang mereka pilih dalam Pemilu sebelum ini, karena ternyata tidak banyak yang amanah. Partai berpredikat nasionalis maupun yang agamis, sama-sama bobroknya. Banyak oknum dari partai-partai itu yang menyimpang dari perjuangan membela rakyat, seperti yang mereka bualkan pada waktu kampanye. Para wakil rakyat itupun harus rela meninggalkan gedung parlemen yang megah untuk bermigrasi ke sebagian penjara kusam di negeri ini. Meski contoh buruk itu sudah banyak, dari hari ke hari pengemplang uang rakyat itu bukannya menyurut, tapi malah menumpuk. Mereka juga tak sungkan terhadap nama besar dan jabatannya. Aparat penegak hukum pun tak luput dari perbuatan tercela. Tidak polisi, tidak hakim, tidak jaksa, pengacara pun ikut terlibat. Sebenarnya, semua itu bukan rahasia lagi. Itu jelas terlihat dari gaya hidup mereka yang berlebihan. Kalau semua unsur penggerak roda negeri ini sudah saling berebut harta milik rakyat karena jabatan yang melekat pada diri mereka, lalu bagaimana dengan nasib jutaan warga yang menyandarkan harapan pada kebijakan pemimpin untuk kesejahteraan mereka? Seandainya para pejuang dahulu tahu bahwa negeri ini akan memiliki banyak penggangsir seperti sekarang ini, mungkin mereka akan membiarkannya lepas ke tangan penjajah. Karena itu, jangan sia-siakan jerih payah para pejuang kemerdekaan yang memiliki tujuan mulia, yakni membangun Negara Indonesia seutuhnya. Perjuangan berdarah-darah oleh para pendahulu dalam memperebutkan kemerdekaan negara ini, hendaknya kita manfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan bangsa, agar Indonesia yang kita cintai ini bisa berdiri sejajar dengan negara maju lainnya di dunia. Pendeknya, ke depan jangan lagi terdengar pertanyaan sinis “Sudah kah negeri ini merdeka?”. (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013