Oleh Lailatul Nur Aini Bak "harta karun", begitulah beragam koleksi tak bernilai yang disimpang di Museum Mpu Tantular di Jalan Raya Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. Koleksi itu tersimpan apik dalam gedung pameran dan pelataran museum yang berdiri di atas lahan seluas 3,28 hektare itu. Kalau masuk ke dalamnya, pengunjung akan melintasi joglo, Gedung Pameran Tetap, Galeri Von Faber, Gedung Pameran Tuna Netra, Ruang Kepala Museum, Gedung Tata Usaha, Gedung Perpustakaan, Ruang Kerja Koleksi, Storage, Gedung Preparasi, Laboratorium Konservasi, Gedung Bimbingan Edukasi, dan mushalla. "Tempat koleksi dibedakan menjadi dua yaitu koleksi 'outdoor' dan 'indoor'. Koleksi outdoor itu seperti Jangkar Peninggalan Belanda, Meriam masa Portugis dan Belanda, Jam Matahari, Patung Primitif, Pantheon Agama Budha, Pandhusa peninggalan tradisi Megalitihik (batu kecil yang digunakan sebagai kuburan)," ucap pemandu Museum Mpu Tantular, Sidoarjo, Puguh. Sementara itu, koleksi indoor, penataannya berdasarkan periode yang dikelompokkan dalam beberapa zona, di antaranya Zona Zaman Purba, Zona Peninggalan Hindu-Budha, Zona Zaman Islam, Zona Zaman Kolonial, Zona Teknologi Modern dan Peraga IPTEK, serta Zona Koleksi Kesenian. Museum Mpu Tantular ini memiliki beberapa koleksi unggulan, salah satunya yaitu Hiasan Garudeya yang ditemukan Seger pada tahun 1989, di Desa Plaosan, Kecamata Wates, Kabupaten Kediri. Hiasan dada ini dibuat dari emas 22 karat dengan berat keseluruhan 1.163.09 gram. Dihiasi 64 batu permata yang disusun secara simetris berdasarkan warna di bagian kiri dan kanan. Ornamen hiasan dada ini bisa dipisahkan menjadi tiga bagian yaitu ornamen Burung Garuda yang membawa kendi (Kamandalu) berisi air Amrta (air kehidupan), ornamen raksasa yang membawa gadha yang kemungkinan merupakan penggambaran raksasa sebagai penjaga air Amrta, dan ornamen raksasa dengan kedua tangan seolah bersikap menyangga yang merupakan penggambaran dari Gana (raksasa setengah dewa) yang bertugas menjaga bangunan suci. "Dilihat dari reliefnya, kemungkinan hiasan ini merupakan peninggalan dari Abad XII-XIII Masehi. Selain itu, dari penggambaran paruh (yang menunjukkan pengaruh China), besarnya karat dan jenis batuannya, diduga benda ini merupakan cendera mata dari Raja Siam kepada Raja Airlangga," paparnya. Tempat penyimpanan Hiasan Garudeya diletakkan dalam ruang khusus, yaitu Ruang Khasanah. Ruang Khasanah terletak di Gedung Pameran Lengkap di lantai satu. Ruang Khasanah merupakan ruang khusus yang berisi berbagai koleksi dari emas, berupa perhiasaan maupun bekal kubur. Selain itu, ada juga Cincin Stempel yang terbuat dari emas 14 karat berat 29,05 gram yang dikenakan di ibu jari kaki dengan dihiasi motif Sankha bersayap. Cincin stempel tersebut bertulisan huruf Jawa Kuno berbunyi Sri hana, yang artinya “Ada Dewi Sri” (bentuk negatif) yang merupakan lambang keberuntungan. Dewi Sri adalah dewi padi, diperkirakan cincin ini berasal dari Abad XII-XIV Masehi, asal Kediri. Cincin Stempel ini juga disimpan dalam ruang Khasanah di lantai satu. Tidak kalah menariknya di Gedung Pameran Tetap di lantai dua. Di dalamnya terdapat zona Teknologi Modern dan Peraga IPTEK, khususnya Peraga IPTEK yang bisa dimanfaatkan oleh para pengunjung dengan didampingi oleh pembimbing IPTEK Museum Mpu Tantular. Pada zona Teknologi Modern juga berisikan barang-barang modern di awal penemuannya, seperti sepeda dari masa ke masa, seperti Sepeda Kayu, Sepeda Tinggi, Sepeda Motor Uap, Sepeda Motor Jawa, Sepeda Motor Radex, dan Sepeda Gazelle. Sepeda Kayu merupakan bentuk sepeda paling awal yang dirancang oleh Michel Kesler dari Jerman pada tahun 1766. Sepeda ini dibuat dari bahan kayu yang dilengkapi tempat duduk, alat kemudi, tidak memakai pedal, dan hanya dikendarai di jalan yang datar atau menurun. Agar dapat bergerak maju ,kaki si pengendara harus ditekan ke tanah. Sepeda ini dapat menempuh jarak 15 kilometer per jam. Sepeda Tinggi ini diciptakan oleh orang Inggris James Starley dan William Hillman yang mendapat hak patent tahun 1870. Sepeda Tinggi ini sering disebut "Ariel" yang berarti sepeda yang dibuat dari metal, roda bagian muka berukuran besar dan roda bagian belakang berukuran kecil, untuk mengendarai sepeda ini diperlukan keterampilan yaitu dengan jalan melompat atau memanjat. Sepeda Motor Uap yang pertama kali diproduksi oleh pabrik Hildebrand Und Wolfmuller, Muenchen, Jerman, diciptakan oleh warga negara Jerman bernama Gottlien Daimler, sehingga disebut juga Sepeda Motor Daimler. "Sepeda Motor Uap ini merupakan barang langka, karena di dunia hanya beberapa dan salah satunya ada di museum ini. Sepeda motor ini segala peralatannya masih asli, tidak ada yang diubah. Kendaraan ini dahulu dapat mencapai kecepatan 30 Km/Jam," ungkapnya. Dinamakan Sepeda Motor Uap karena dijalankan dengan tenaga uap yang dihasilkan dengan memanaskan tabung yang berisi air, namun setir sepeda motor uap ini seperti sepeda biasa, pada pegangan sebelah kanan dilengkapi dengan rem depan, dan ada alat lain yang dihubungkan dengan silinder di bawahnya yang merupakan alat pengatur gas. "Perawatan barang-barang itu harus dilakukan secara rutin setiap minggu atau bulan sesuai dengan jenis koleksi, pembersihannya pun harus berhati-hati karena banyak koleksi yang sudah berumur ratusan tahun, jadi rentan rusak," tuturnya. Biaya perawatannya pun didapat dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, namun biaya perawatan museum, Puguh mengaku tidak berwenang. Selain Gedung Pameran Tetap, ada pula Gedung Tunanetra. Di dalam Gedung Tunanetra juga dipamerkan koleksi dari beberapa zaman dan semua tulisan keterangannya menggunakan huruf Braille. Gedung Tuna Netra ini memang dikhususkan bagi pengunjung Tunanetra, namun pengunjung lain pun diperbolehkan masuk. Museum Mpu Tantular juga membuka layanan publik yang dilakukan secara rutin seperti pameran keliling ke Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Jawa Timur, Pameran Nasional, Pergelaran Kesenian Tradisional, seminar tentang sejarah kebudayaan dan permuseuman, penerbitan buku-buku, penelitian dan pengadaan koleksi, serta pelayanan perpustakaan. Menghargai Sejarah Sejarah mencatat Museum Negeri Mpu Tantular Provinsi Jawa Timur didirikan oleh Godfried Hariowald Von Faber pada tahun 1933, sebagai kelanjutan dari Stedelijh Historisch Museum Surabaya. Awalnya, lembaga ini hanya memamerkan koleksinya di suatu ruang kecil di Readhuis Ketabang, kemudian atas kemurahan hati seorang janda bernama Han Tjiong King, maka museum dipindahkan ke Jalan Tegalsari yang memiliki bangunan lebih luas. Selanjutnya masyarakat pemerhati museum mulai berinisiatif untuk memindahkan museum ke tempat yang lebih memadai yaitu di Jalan Pemuda Nomor 3 Surabaya yang diresmikan pada tanggal 25 Juni 1937. Sepeninggal Von Faber tahun 1955, museum dikelola oleh Yayasan Pendidikan Umum didukung Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, lalu museum dibuka untuk umum mulai 23 Mei 1972 dengan nama Museum Jawa Timur. Tanggal 13 Februari 1974, museum berubah status menjadi museum negeri, yang diresmikan pada tanggal 1 November 1974 dengan nama Museum Negeri Provinsi Jawa Timur yang beralamat di Jalan Pemuda Nomor 3 Surabaya. Namun, karena bertambahnya koleksi, maka museum dipindahkan ke Jalan Taman Mayangkara Nomor 6 Surabaya pada 12 Agustus 1977 dan diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur pada waktu itu Sunandar Priyosudarmo. Selanjutnya sebagai perluasan dan tuntutan kebutuhan dengan semakin bertambahnya koleksi museum pada tanggal 14 Mei 2004 dipindahkan ke Jalan Raya Buduran, Sidoarjo yang diresmikan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi JawaTimur pada waktu itu. Pemberian nama Mpu Tantular diambil dari nama seorang pujangga terkenal di masa kerajaan Majapahit, yang terkenal dengan kitab Arjunawiwaha dan Sutasoma. Di dalam kitab Sutasoma inilah tercantum kata-kata "Bhinneka Tunggal Ika" yang sampai sekarang dipakai sebagai semboyan Indonesia. Nama Mpu Tantular juga mengandung pengertian yang tersembunyi. "Mpu" berarti ibu yaitu titik pusat segala gerak dan pandangan hidup, sedangkan "Tantular" berarti tak tertulari, tak terpengaruh, tak menyimpang, tak berubah, jadi tetap mengkhususkan diri pada ajaran agama untuk mencapai kehidupan yang abadi. Menurut Penjaga Loket Museum, Supandi, museum ramai dikunjungi pada hari libur, terutama liburan sekolah. Rata-rata pengunjung yang datang ke museum dari anak sekolahan, seperti TK, SD, SMP, SMA, serta dari Sekolah Luar Biasa (SLB) juga ada. Tidak sedikit pula rombongan keluarga yang mengunjungi Museum Mpu Tantular ini. Museum menjadi salah satu tempat wisata edukasi yang diminati oleh berbagai kalangan karena tarif tiket masuk yang cukup terjangkau dan tempat museum yang mudah diakses dengan angkutan umum. Museum buka pada hari Selasa-Minggu berdasarkan Perda Provinsi Jatim Nomor 9 Tahun 2009, harga tiket masuk dibagi menjadi dua yaitu perorangan dan rombongan. "Harga tiket pengunjung perorangan dewasa Rp2.000 dan anak-anak Rp1.500, sedangkan harga tiket pengunjung rombongan dewasa Rp1.500 dan anak-anak Rp1.000, dalam satu minggu paling tidak museum dikunjungi lebih kurang 500 orang, bahkan saat liburan sekolah bisa lebih dari itu," tegas Supandi. Dalam sehari, museum mampu menghasilkan lebih kurang Rp200.000 bila sedang sepi pengunjung, jika ramai pengunjung mampu menghasilkan Rp1.100.000. Pengunjung tidak hanya datang dari "kota udang" (Sidoarjo), banyak pula pengunjung dari luar kota seperti Surabaya, Gresik, Lamongan dan masih banyak lagi. "Saya senang berkunjung ke museum ini, karena saya pernah datang ke Museum Mpu Tantular ketika masih berada di Jalan Taman Mayangkara, Surabaya. Koleksinya juga makin banyak dibandingkan dengan dulu," ujar pengunjung dari Surabaya, Ervin. Sama halnya dengan Ervin, Andre pun demikian. Namun, dia datang ke museum bersama keluarganya. Dia ingin memperkenalkan pengetahuan tentang sejarah kepada anak-anaknya. "Ingin memperkenalkan kepada anak-anak tentang zaman purba itu seperti apa, peninggalan-peninggalan bersejarah itu apa saja. Kita harus tanamkan kepada anak-anak untuk menghargai sejarah," tukas bapak dua anak ini. (*) (Foto dikutip dari laman Dispora Jatim, AntaraNews, dan dokumentasi)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013