Ibarat penonton sepak bola, begitu tim yang didukung kalah, maka penonton pun melontarkan sumpah serapah kepada pemain dan wasit yang menjadi "sasaran empuk" untuk nasib apes itu. Nah, sasaran empuk dari karut marut Ujian Nasional (UN) 2013 dalam versi "penonton" ada dua yakni Mendikbud (saat ini dijabat Mohammad Nuh) dan UN. Ya, kalau bukan U dan N (UN), maka sasarannya adalah N dan UH (NUH). Bahkan, ada yang sinis dengan menyingkat UN sebagai "Udaaah Nuuuhh". Padahal, cara yang sama selama ini juga relatif tidak ada masalah. Artinya, karut marut UN 2013 bukan tanpa sebab. Kenapa UN tahun ini begitu karut marut? Hal itu setidaknya bisa ditelusuri pada tiga faktor penyebabnya, yakni rentang kendali waktu untuk percetakan dan distribusi yang mepet/sempit. Faktor kedua adalah perubahan-perubahan model soal dari lima pola menjadi 20 pola, sehingga dalam satu kelas yang terdiri dari 20 anak peserta UN akan menerima soal yang berbeda sama sekali. Tapi, hal itu bukan perkara mudah bagi percetakan, apalagi dalam waktu mepet. Faktor ketiga adalah perubahan pola manajemen soal dalam dua tahun terakhir, karena dulu tim BNSP terlibat penuh mulai dari penyiapan soal UN hingga verifikasi percetakan. Namun, pola itu diubah menjadi pola penyiapan dilakukan oleh tim BNSP dan pola verifikasi percetakan sejak tahun 2012 ditangani tim Balitbang Kemdikbud yang selama ini menjadi "kuasa anggaran". "BNSP tetap penyelenggara UN, tapi dia tidak bisa menyiapkan tender, karena bukan satker," ujar Mendikbud setelah diskusi panel FKG Unair di Surabaya (27/4). Agaknya, ketiga faktor penyebab itu lebih bersifat teknis UN yang tidak ada kaitan secara langsung dengan Mendikbud dalam konteks hukum, kecuali bila dalam proses teknis itu ada dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat teknis "atas perintah" Mendikbud. Nah, ketiga faktor penyebab (mepetnya waktu percetakan, perubahan model soal dari lima pola menjadi 20 pola, perubahan manajemen soal dari BNSP kepada Balitbang Kemdikbud) akhirnya bermuara pada perdebatan yang sudah lama ada yakni pro-kontra UN serta pro-kontra "sentralisasi" UN. Hingga kini, perdebatan yang bergulir sejak adanya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) itu tidak ada ujung pangkalnya. Agaknya, perdebatan itu harus segera diselesaikan melalui "jalan tengah" yakni UN tetap boleh ada, tapi "sentralisasi" UN harus direvisi. Artinya, UN tetap ada, tapi pemerintah hanya sebatas menetapkan nilai standar UN, memberikan kisi-kisi soal, dan membentuk lembaga pemantau mutu sekolah, lalu penyelenggaraan UN dikembalikan ke sekolah, sehingga pemerintah pun "percaya" kepada guru/sekolah. "Jalan tengah" untuk UN itu kini menemukan titik temu dengan rencana pemerintah menggulirkan Kurikulum 2013, karena sistem evaluasi dalam Kurikulum 2013 tidak lagi memprioritaskan pada aspek kognitif seperti selama ini. Sebelumnya, Mendikbud Mohammad Nuh sudah mempunyai rencana melakukan perubahan pola UN, namun hal itu ditangguhkan, karena perubahan UN sesuai Kurikulum 2013 itu dianggap tidak logis, sebab Kurikulum 2013 sendiri belum ada, kok pola UN sudah mengikutinya, tentu "belum logis". Yang pasti, dengan Kurikulum 2013 itu, sistem evaluasi siswa akan mengacu pada tiga aspek yakni perilaku, ketrampilan, dan pengetahuan/kognitif, sehingga siswa atau peserta didik tidak akan lagi dinilai di "akhir" studi (kecerdasan), namun siswa dinilai dalam "proses" studi (dari awal hingga akhir studi, yakni mulai dari sikap/perilaku, ketrampilan, hingga pengetahuan). Namun, UN yang berpola baru itu akan tetap ada di "akhir" dengan fungsi yang berbeda yakni untuk kepentingan pemerintah dan kepentingan siswa/sekolah. Pemerintah berkepentingan dengan UN sebatas "pemetaan" mutu pendidikan yang hasilnya juga untuk memperbaiki mutu pendidikan secara berkesinambungan, sedangkan siswa/sekolah juga berkepentingan dengan UN sebatas "pemetaan" aspek kognitif yang menjadi salah satu dari tiga aspek dalam pendidikan. Walhasil, dengan Kurikulum 2013 yang tidak memprioritaskan aspek kognitif itu, maka perdebatan tentang UN (mepetnya waktu percetakan, perubahan model soal dari lima pola menjadi 20 pola, perubahan manajemen soal dari BNSP kepada Balitbang Kemdikbud) sudah tidak penting lagi. Dan, kado penting pada Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2013 adalah ikhtiar menumbuhkan Anak Indonesia yang Berbudi, Terampil, dan Cerdas. Bismillah! (*) (edyyakub@yahoo.com)

Pewarta:

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013