Surabaya (Antara Jatim) - Indonesia terus memperjuangkan perdagangan berdimensi keadilan terhadap komoditas perkebunan dan kehutanan di antaranya sawit yang selama ini tertinggal laju perdagangannya di dunia internasional dalam forum SOM II "Asia-Pacific Economic Cooperation" (APEC) di Surabaya pada 7-19 April 2113. Direktur Kerja Sama APEC dan Organisasi Internasional lainnya dan Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan RI, Deny W Kusuma, Senin, mengatakan Indonesia terus berupaya memasukkan dimensi ekonomi berkeadilan dalam kebijakan yang akan diterapkan kawasan Ekonomi (APEC). "Dalam pertemuan APEC di Surabaya ini, selain mengangkat misi Bogor goal yang menekankan pada liberalisasi dan fasilitas perdagangan, Indonesia juga akan menekankan pada beberapa sektor yang tertinggal laju pertumbuhannya dari sektor yang unggul, di antaranya sektor perkebunan dan kehutanan," katanya. Menurut dia, sejauh ini beberapa negara masih menerapkan tarif yang cukup tinggi untuk berbagai komoditas hasil hutan dan perkebunan salah satunya sawit. Bahkan, banyak juga negara yang memperlakukan standar mutu yangs angat tinggi, sehingga ekspor Indonesia untuk jenis komoditas tersebut sangat kecil karena banyaknya hambatan. Ia mencontohkan komoditas sawit yang selama ini tarif yang diberlakukan masih sangat tinggi. Bahkan China tarifnya mencapai 9 persen, Amerika Latin mencapai lebih dari 6 persen dan di beberapa negara Asian menerapkan sekitar 11 persen. "Padahal potensi sawit untuk mengisi kebutuhan minyak nabati dunia cukup tinggi," ujarnya. Selain itu, lanjut dia, saat ini lahan sawit di seluruh dunia mencapai sekitar 4,7 juta hektare. Dari luas lahan tersebut, produksinya mencapai 38 juta ton per tahun. "Indonesia adalah penghasil sawit terbesar dunia. Sementara kompetitor terdekatnya, misalkan jagung lahannya di seluruh dunia sudah diatas 4,7 juta, bahkan gandum lahannya mendekati 20 juta hektare sedangkan produksinya masih belasan juta ton per tahun," katanya. Selama ini, lanjut dia, pihaknya melihat ada semacam ketakutan negara-negara penghasil komoditas kompetitor sawit terdekat, seperti jagung, kedelai, gandum, tebu dan jarak yang didominasi oleh negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, Brazil dan Kanada. "Jadi tidak mengherankan jika selama ini sawit berupaya disisihkan dan dihancurkan lewat isu lingkungan," katanya. Ditanya soal tanggapan peserta APEC terhadap isu yang dihembuskan Indonesia tersebut, ia mengatakan memang masih belum menunjukkan hasil positif. Saat ini, yang disetujui untuk isu tersebut adalah dengan melakukan dialog kebijakan pada SOM III di Medan pada Juni mendatang. Dari dialog tersebut akan disarikan kesimpulannya yang akan diangkat dalam pertemuan ke-9 "Ministerial Conference" (MC9) antarmenteri di Bali pada Oktober mendatang yang kemudian akan diangkat pada pembahasan antarpemimpin negara anggota APEC. "Tapi intinya, tahun ini kami berupaya mengejarnya. Ini adalah peluang untuk memasukkan isu tersebut untuk melengkapi dalam kebijakan yang akan diambil oleh negara anggota APEC," katanya. Ia menjelaskan, mengubah cara pandang itu butuh waktu untuk sukses, makanya pihaknya akan terus berjualan. "Kami sedang merencanakan untuk membuat proposal yang cukup bagus pada SOM III di Medan agar bisa diterima oleh anggota," katanya. Beberapa pakar akan dicari guna merumuskan proposal yang akan membahas tentang perkembangan ekonomi, perdagangan dan investasi yang berkeadilan, minimal akan ada lima pakar yang akan membidanginya. (*)

Pewarta:

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013